…..17 tahun yang lalu…..
Heningnya malam kini terusik oleh derap langkah seorang wanita berselimut kain putih yang membungkus sekujur tubuhnya. Dia berlari tergesa menyusup ladang jagung yang telah menguning, dia menatap ke arah langit berawan tipis yang tampak tenang oleh terang purnama, dan langkahnya terhenti, kemudian berpaling ke belakang di mana saling bermunculan kabut hitam yang membentuk sosok berbuntalkan jubah hitam yang melangkah menembus hitamnya kabut.
“Serahkan bayi Malaikat itu, Arhesiz! Serahkan Firelia padaku!” ucap sosok hitam itu dengan segenap keangkuhannya, membuat saat itu sosok yang sebelumnya berlari semakin mendekap erat sesosok bayi perempuan dalam gendongan tangannya.
“Tidak akan, wahai Zheroich!... takkan pernah kuserahkan bayi suci ini kepada Iblis biadab layaknya dirimu!” balas Arhesiz sambil mengambil langkah mundur.
“Dasar bodoh… kau hanya pelayan Malaikat yang tak berguna. Apa hakmu menghalangiku menjemput tuan kami yang ada pada dekapanmu itu?” balas Zheroich keras sambil menunjuk bayi bercahaya yang kini didekap oleh Arhesiz.
“Dia tak akan menjadi tuanmu atau pun tuan dari kaummu. Dia akan tetap suci dalam cahaya Malaikatnya, Firelia takkan pernah menjadi seperti apa yang kalian para Iblis harapkan,” sahut Arhesiz keras sambil berpaling, dan dengan tergesa berlari meninggalkan terdiamnya Zheroich.
“Maka matilah dirimu!” ucap Zheroich sambil mengibaskan jubah hitamnya hingga deru angin yang sedemikian kencang tercipta hingga saling menggoyahkan puluhan pohon jagung pada ladang itu.
Arhesiz terus berlari dan berusaha mengabaikan deru angin yang berhembus kian kencang, hingga saat dia mampu menembus ladang dan terhenti pada setapak kecil yang terhimpit oleh dua ladang jagung, saat itulah muncul secercah cahaya api yang segera membakar seisi ladang. Berkobar sedemikian dahsyat hingga malam itu sedemikian membara oleh curahan Jahanam yang membakar ladang.
“Sial!”
Arhesiz mulai menoleh ke berbagai penjuru di mana penuh oleh api yang menjilat-jilat sedemikian dahsyat dan hanya menyisakan celah pada sepanjang setapak tempat Arhesiz berdiri. Panas dari kobaran api dahsyat itu mulai membakar sekujur tubuh Arhesiz yang kini bercucuran keringat.
“Kau hanya akan mati bila terus berlari, Arhesiz!”
Seketika suara mengerikan itu terdengar menggema, berujung pada saling bergulirnya kobaran api jauh di hadapan Arhesiz yang pada akhirnya saling membentuk sosok Zheroich yang berselimut api.
“Cepat serahkan Malaikat kecil itu!... biarkan aku merubahnya menjadi penguasa Jahanam!” bentak Zheroich keras, berakhir dengan saling menjilatnya kobaran-kobaran api ke arah Arhesiz yang saat itu hanya dapat berpaling membiarkan punggungnya terkena cambukan-cambukan panas dari api yang saling menjilat.
“Sudah kubilang bahwa Firelia akan tetap suci, Zheroich! Jadi pulanglah engkau ke Jahanam!”
“BIADAB!” sergah Zheroich sambil menjulurkan lengan berapinya hingga saat itu menghempas raga Arhesiz sedemikian keras dan tersungkur di antara celah api. “Maka kubunuh kau!”
Seketika itu curahan Neraka yang membakar seisi tempat itu secara berbondong-bondong berputar dalam arus yang sedemikian besar mengelilingi Arhesiz. Saling berputar sedemikian cepat hingga mencipta sebuah tornado api yang menekankan suhu tingginya terhadap Arhesiz, mungkin mencoba memanggangnya dalam putaran tornado Neraka tersebut.
“Tidak…” ucap Arhesiz sebelum kini jatuh berlutut menahan tekanan Neraka tersebut, namun kian erat dia mendekap bayi Malaikat dalam dadanya yang saat itu mulai menangis tiada henti. “Tuhan!... tolonglah aku!... biarkan aku menyembunyikan Firelia, Dewi dalam dekapanku ini dari kuasa jahat Zheroich!” sambungnya dengan segenap nafas yang tersisa hingga di antara keputusasaannya itu, di antara tekanan Jahanam yang sedemikian tak memberdayakannya, seketika sebuah bentang cahaya Surga terpancar dari raga si bayi Malaikat, dan terpancar sedemikian benderang hingga menghempas sirna seisi curahan Neraka, menghempas pula sosok Zheroich beberapa rentang ke belakang meski sejenak dia mampu terhenti dan bertahan menerima bentang cahaya kemilau yang terpancar dari Firelia, Malaikat kecil tak bersayap itu.
“Kurang ajar!” umpat Zheroich di antara upayanya bertahan, menahan segenap curahan Surga yang mengalir deras melalui sang Malaikat kecil dalam dekapan Arhesiz.
“Lihatlah, Zheroich!... Firelia menolakmu. Dia akan tetap suci!”
Di antara bentang cahaya yang terpancar kian terang, pekik keras Arhesiz membahana, namun saat itu pula Zheroich membahanakan tawa setannya.
“Bersenanglah kau saat ini, Arhesiz! Tapi kuyakinkan bahwa Kesucian dari Dewimu itu takkan berlangsung lama! Sucinya akan vakum pada usianya yang ketujuh belas tahun… dan saat itulah akan kutanamkan benih-benih iblisku!” bentak Zheroich dalam sisa tenaganya yang tersisa, sebelum secara perlahan wujudnya mulai terkikis oleh cahaya. “Dan pada akhirnya dia akan tetap menjadi titisan Maharaja kami… Malaikatmu itu akan berubah menjadi Setan yang akan meniadakan jejak-jejak kebaikan!”
Seketika itu bentang cahayanya kian benderang, lebih benderang lagi hingga tempat itu sangat jauh dari nuansa malam, dan saat bentang cahayanya kian terang, maka sirnalah sosok Zheroich dalam terjangan curahan Surga itu. Menyisakan kini di antara cahaya yang mulai sirna sosok Arhesiz yang terjatuh lemas mendekap erat bayi Malaikat bercahayanya itu.
***
“Zheroich telah mengucapkan kutukannya,… apa itu berarti kita harus membunuh Firelia?”
Di antara bentang cahaya syahdu yang menghiasi seisi puri-puri indah itu, sebuah suara yang nampak berasal dari sosok bercahaya terang terlantun dan menggema sedemikian indahnya.
“Yang kutakutkan bahwa kutukan itu benar-benar terjadi… dan yang lebih kutakutkan bila kutukan itu terjadi tanpa kita cegah!” sahut sosok bercahaya lain yang dengan bersahaja melangkah di antara bentang cahaya syahdu itu.
“Jadi benar, kita harus membunuhnya saat ini?”
“Tidak… saat ini jiwa suci Malaikatnya tak memungkinkan kita untuk membunuhnya. Selama cahaya Malaikatnya masih ada dalam dirinya, kita tak bisa membunuhnya,” sahut sosok bercahaya yang tiada henti melangkah perlahan menyusuri puri cahaya itu.
“Lalu kita akan membiarkannya menjadi Penguasa Jahanam?” tanya sosok bercahaya lain.
“Tidak,” balas Sang bercahaya yang sedari tadi melangkah dan kini terhenti. “Pada usia ketujuhbelasnya, saat itulah terjadi kevakuman suci dari jiwanya. Dan saat itu pula para kaum Neraka akan berupaya menguasai kevakuman itu. Saat itulah kita mempunyai kesempatan… kesempatan untuk membunuhnya.”
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar