Takdir, Bunga, dan, Fantasi
-Takdir, Bunga, dan Fantasi-
(Para tokoh yang menentukan takdir)
Oleh: K.A.Z_Violin
Waktu…
Semua ini dimulai kala alam semesta masih kosong…
Kala waktu masih enggan bergulir merubah masa…
Waktu membiarkan masa itu berlangsung begitu lama…
Membuat alam semesta yang masih berupa cahaya dan gelap saling berputar tiada henti dalam penantiannya…
Menanti adanya suatu goresan tinta dari Sang Pencipta yang akan memulai kisah…
Suatu kisah yang pada akhirnya akan membuat semuanya kembali lagi dalam kekosongan…
Karena kekosongan adalah awal…
Karena kekosongan adalah akhir…
Awal… maupun akhir… keduanya berupa kekosongan…
Itulah yang melandasi alasan mengapa dunia ini ada…
Alasan bahwa kehidupan ini merupakan sela dari kosong…
…..VLATERIIUM….
(Dunia yang terhimpit kosong)
--Goresan pertama--
(Yang menjaga Hidup)
T
empat di mana kita berada ini ialah Bumi, tempat di mana di sini peradaban telah dimulai ribuan tahun silam. Dimulai dengan goresan tinta dari Sang Pencipta yang akhirnya mengguratkan kisah hidup. Namun apakah dari goresan-Nya, hanya mengguratkan satu kisah hidup?...
Tidak…
Dari goresan-Nya pula tempat itu ada, tempat yang bisa kau temukan di ujung senja… menembus dan menyusup pada sela cakrawala yang terbatasi oleh awan virga senja, yang pada akhirnya kala kau mampu menembus dinding awannya, maka sampailah kau pada tempat itu… dunia yang menjadi titik balik dari dunia ini… dunia yang menjadi sisi lain dari bumi ini. ‘Vlateriium’ begitulah dunia itu disebut.
Jatuh dan terhenyak dari awan, tepat pada salah satu sisi Vlateriium yang berupa hamparan hijaunya pepohonan. Begitu syahdu di antara senja yang menyiratkan sinarnya. Dan kala senja berganti menjadi fajar, hijaunya hutan ini kian terasa lebih megah. Di mana hutannya merupakan sisi lereng yang begitu dalam. Menghampar pada penjuru lereng bersambut dengan mahadahsyatnya air terjun yang terjatuh di seputar rimbanya hutan. Mentari pagi yang terasa lebih lama, mampu menciptakan pelangi abadi yang saling sambung-menyambung di seputar derasnya air terjun maupun hijaunya hutan.
Menatap mahadahsyatnya hutan itu, seseorang terlihat tengah diam terpatung pada salah satu hijaunya akar pepohonan yang mencuat menembus tebing, tepat pula berada pada sela dua air terjun yang tak pernah terlihat melemah. Sosoknya yang berselimut jubah putih itu melamun dalam kekosongan matanya yang menatap entah ke mana.
“Jangan terus-terusan melamun!”
Sontak oleh teriakan itu, dia yang melamun terperanjat. Segera matanya mencari si pencetus suara yang pada akhirnya ia temukan pada jembatan curam yang terbuat oleh pintalan beberapa akar. Jembatan yang menghubungkan tempat itu pada sisi lain tebing hutan.
“Yhi-yhi, apa yang kau lakukan di sana?... sudah berapa kali kukatakan jangan melalui jembatan itu?... bukankah lewat tangga batu lebih aman?”
Keras dia yang tadinya melamun menjawab perkataan sosok gadis berambut hitam lurus panjang dengan gaun putihnya yang melambai oleh derasnya arus air terjun. Jelas saja harus berteriak oleh begitu kerasnya dentuman air terjun dengan karang-karang terjal di penghujung jurangnya.
“Jangan kerap melamun, Yaiba!” pekik Yhi-yhi. Cepat ia berlari menyusuri jembatan menuju sosok laki-laki dengan rambut hijau berlapisnya yang sebagian terjatuh lurus di sekitar keningnya.
“Hati-hati!” pekik Yaiba kala melihat langkah Yhi-yhi kian cepat
Secepat itu pula langkah Yhi-yhi mencapai ujung jembatan akar. Kian cepat langkahnya hingga ia terjatuh oleh terinjaknya sendiri gaun putih yang ia kenakan. Sigap menyadarinya, segera Yaiba menyambut terjatuhnya Yhi-yhi dengan peluknya, menyelamatkannya dari begitu terjalnya karang di seputarnya.
“Sudah kubilang jangan terlalu cepat!” hardik Yaiba seraya melepas peluknya. membiarkan kini Yhi-yhi terdiam di hadapannya menahan senyum.
“Olala… maafkan aku!”
Yhi-yhi tersenyum lebar kala mengucapkan kalimatnya, yang hanya dibalas oleh tawa pelan Yaiba.
Sesaat senyum mereka membahana di penjuru lereng. Saling beradu dengan begitu kerasnya hujaman air yang terjatuh. Namun secepat itu pula hening merasuki mereka. Memaksa mereka untuk mengalihkan tatapan mereka satu sama lain.
“Masih saja membayangkan betapa luasnya Vlateriium?”
Sesaat usai ucapan Yhi-yhi, Yaiba kian tertegun. Menatap langit biru jauh di atas mereka kemudian, sebelum kini ia menjatuhkan raganya pada posisi terduduk.
“Mengagumkan bila aku mampu mencapai ujung sabitnya… di mana bukan hanya hutan yang kan aku tatap. Ada begitu banya hal pada sabit dunia ini… Vlateriium cukup luas untuk menampung ribuan peradaban. Setidaknya itulah apa yang kakekku ceritakan padaku.”
Terpejam kini mata Yaiba membayangkan dirinya terbang begitu kencang menyusuri Vlateriium hingga ke ujung sabitnya. Sabit, memang jagad raya ini begitu besar nan megah meski wujudnya hanya bagaikan bulan sabit. Tak benar-benar bundar layaknya bumi, di mana pada satu sisi dataran cekungnya adalah kemegahan Vlateriium dengan segala bentuk peradabannya: super modern, pra modern, pedalaman, bahkan primitif ada di daratannya, sementara sisi lainnya adalah daratan bebatuan gersang yang tak pernah tergapai surya atau menurut legenda yang tersebar luas, sisi itu adalah dunia di mana kematian berada.
“Lalu kenapa tak kau menjelajahinya? Seperti hanya kakekmu dulu, bila kau mau, aku juga bersedia menemanimu menatap seluruh pelosok Vlateriium.”
Mengikuti apa yang telah dilakukan Yaiba, Yhi-yhi pun terduduk. Menatap ke segala penjuru dengan matanya yang berbinar menyiratkan hasratnya.
“Bukannya tidak mau… tapi masih ada tugas yang harus kuemban pada hutan ini… kau tahu sendiri, bahwa aku yang terpilih untuk menjadi penjaga dari Bunga Suci Kehidupan…”
Ditatapnya Yhi-yhi yang telah terlebih dahulu menatapnya. Menatap dengan senyum lembut di sudut bibirnya.
“Kau memang Sang Penjaga yang sempurna ya?”
Kian lebar senyum Yhi-yhi di ujung ucapannya, membuat untuk sesaat Yaiba tertegun. Tersirat dalam matanya suatu kegusaran yang luar biasa menekannya.
“Tidak… aku bukan penjaga yang baik… aku tak mampu sepenuhnya melindungi Bunga Suci.”
Kepalanya tertunduk begitu dalam. Membiarkan senyum Yhi-yhi sekejap sirna, tergantikan oleh herannya.
“Apa… maksudmu?—“
“Pada purnama pertama beberapa bulan silam, kala aku tengah terdiam menjaga Bunga Kehidupan, orang itu datang… orang tua berbusana putih bercahayanya yang mengklaim bahwa ialah penjaga pertama…”
Pelan Yaiba memotong ucapan Yhi-yhi, memaksa Yhi-yhi terbelalak menatap tertunduknya Yaiba. Ia hendak menanyakan pertanyaannya namun diurungkan niat itu.
“Dia mendatangiku… memperingatkanku tentang akan munculnya suatu sosok hamba kegelapan pada awal purnama lain, dia yang datang dengan kegelapannya, akan merenggut Bunga Kehidupan, menyalahgunakan Kesuciannya untuk membalikkan hidup. Merubah hidup ini menjadi suatu kehancuran yang temaram.”
Sesaat Yaiba terhenti, menengadahkan kini kepalanya ke atas kemudian seraya menghela nafas panjang yang secepat itu dibuangnya.
“Awalnya kuabaikan apa yang tercetus darinya… sebelum aku menyadari semua dari kebenarannya. Dua purnama setelah kehadiran dari Sang Penjaga Pertama, dia Sang Hamba Petang benar-benar muncul di hadapanku, memaksa agar kuserahkan Bunga Hidup padanya. Tentu aku menolak hingga pertikaian tak mampu terhindari. Dia menghajarku habis-habisan hingga lengan kiriku patah meski dengan Bunga Hidup, lenganku pulih secara cepat.”
Ucapannya itu seketika menuntun mata Yhi-yhi menatap lengan kiri Yaiba. Lekat ia menatapnya hingga meski samar mampu ia lihat bekas guratan luka darinya.
“Meski hampir mati aku berhasil melindungi Bunga Suci. Berhasil aku pukul mundur dia yang menyebut dirinya Delaev. Berhasil kuhempas ia begitu jauh dari hutan ini. Meski sesaat sebelumnya, ia berjanji untuk kembali dan membunuhku.”
Untuk kali pertamanya angin mampu berhembus dan menyusup menembus derasnya air terjun. Menyibak kencang rambut mereka berdua yang kini saling dilanda hening.
“Untuk itulah, Yhi-yhi… untuk itulah aku memintamu kemari… untuk memintamu melarikan Bunga Hidup… menjauhi hutan ini… begitu jauh dari hutan ini!”
Tajam kini Yaiba menatap Yhi-yhi yang kala itu membuka matanya begitu lebar. Menunjukkan rasa terkejut yang menekannya.
“Aku?... kenapa aku?... bukannya aku tak mau,… tapi kurasa bila kau yang melarikannya, bunga itu akan lebih aman. Aku bersedia menemanimu bila-”
“Itu tidak bisa!” sergah Yaiba keras. “Aku tak bisa di sisi Bunga Suci bila ingin melarikannya, Delaev akan dengan mudah melacak tekanan energiku yang bersatu dengan energi Bunga. Karenanya aku memintamu… hanya oleh dirimu yang tak memiliki ikatan energi dengan Bunga, tekanan energinya akan tersamarkan dari Delaev.”
Sesaat oleh ucapan itu Yhi-yhi tertegun. Mencoba mencerna apa yang diperintahkan oleh pria di hadapannya.
“Tapi aku harus ke mana?... harus ke mana aku melangkah?”
Yaiba tak segera menjawab. Membiarkan begitu derasnya debur air yang menjawab pertanyaan Yhi-yhi.
“Pergilah ke ujung!... gapailah ujungnya!... ujung Vlateriium di mana di sana terdapat suatu tempat suci. Tempat di mana berbatasan langsung dengan alam akhir. Di sana nantilah aku!... tunggu aku dengan sabarmu hingga aku menyusulmu!”
Yaiba berpaling tepat menghadap Yhi-yhi. Merenggut pundaknya erat seraya menatapnya tajam. Mencoba meyakinkan gadis di hadapannya itu.
“Bila memang itu— bila memang itu yang kau inginkan, maka biarkan aku melakukannya… akan kuemban tugas ini saat ini jua…”
Tajam Yhi-yhi membalas tatapan Yaiba. Mencerminkan harapan pada kilau mata birunya. Maka segera Yaiba melepas renggutnya dan sesaat berpaling seraya melingkupkan kedua telapak tangannya di hadapan dadanya. Terpejam matanya perlahan tatkala ia mulai berkonsentrasi. Memusatkan pikirannya hingga perlahan tepat pada lingkupannya, secercah cahaya mulai bermunculan. Berkilauan secara samar hingga secepat itu cahayanya berpendar sebelum sirna dalam munculnya suatu tangkai mawar putih yang kala itu melayang dengan cahayanya.
“Nantilah aku di sana!... sebisa mungkin gapailah tempat itu dan biarkan Bunga ini melayang ke Firdaus kala kau sampai pada kota itu. Oleh hal itu maka Vlateriium akan seterusnya seimbang tanpa adanya ancaman dari Delaev untuk merenggutnya.”
Perlahan Yaiba membuka matanya, menyerahkan kemudian mawar putih kepada Yhi-yhi. Maka dengan pelan pula bersambut keyakinannya, Yhi-yhi menerima mawar putihnya. Memancarkan cercah cahaya perak yang membentang ke penjuru lereng hutan sesaat setelah Yhi-yhi merenggut tangkainya.
“Aku akan menantimu, Yaiba… akan selalu menantimu… cepatlah menyusulku!”
Dalam bentang cahaya yang kian benderang Yhi-yhi mengucapkan permintaannya. Membuat Yaiba tersenyum hangat terhadapnya.
“Cahayanya akan membawamu pergi dari tempat ini… terjejal ke dimensi lain sebelum akhirnya kembali terhenyak ke salah satu sisi Vlateriium. Perjalananmu akan begitu panjang. Temukanlah kota di ujung dunia ini… temukan dan gapailah kota itu… Fantasia… kota itu disebut Fantasia.”
Keras Yaiba melantunkan kalimatnya. Begitu terasa tergesa oleh kian benderangnya cahaya yang terbentang. Membuat sosok Yhi-yhi tersamarkan oleh sinarnya.
“Hiduplah!... tetaplah hidup… susul aku segera!... musnahkan Delaev!”
Mengimbangi teriakan Yaiba, ia pun begitu keras berteriak, sebelum akhirnya bentang cahayanya begitu cepat terbentang lebih terang. Menyilaukan mata yang menatapnya. Maka kian terang bentang cahayanya terpancar bersambut dengan terhempasnya guncangan energi yang mahadahsyat hingga mampu menghempas Yaiba cukup jauh.
Cepat cahayanya terbentang begitu terang, namun secepat itu pula sirnalah cahayanya dan meninggalkan kekosongan dari tempat di mana tadinya Yhi-yhi berada. Membiarkan kini Yaiba yang terjatuh perlahan berdiri. Menatap kekosongan yang ditinggalkan Yhi-yhi.
“Dan kini biarkan aku yang menyambut hadirnya… menyambut dia yang menjadi hamba kegelapan.”
Terpejam kini matanya erat. Mengalirkan suatu energi ke dalam raganya yang kala itu mengguncangkan energi. Perlahan raga itu mulai terangkat. Melayang di udara dan perlahan pula terseret dalam terbangnya tepat pada sela dua lereng hutan, membiarkan jubah putihnya berkelebat oleh tenaga dalamnya.
“Lama menantiku?”
Tiba-tiba dalam diamnya Yaiba melayang, suara yang tak asing itu menyelinap di telinganya. Suara yang terdengar penuh oleh kegelapan maupun kebusukan.
Terbuka mata Yaiba perlahan. Menunjukkan ketajaman matanya dalam diamnya. Perlahan ia menoleh ke belakang di mana suara itu berasal. Menatap tajam sosok pria berjubah hitam ketat dengan wajah penuh guratan serta berambut hitam kemilau panjang yang melambai oleh tekanan energinya. Hening kini pria itu menjawab tajamnya mata Yaiba. Menghiraukan mata itu dengan tertutupnya matanya.
“Delaev!...” hardik Yaiba. Terdengar suara penuh kebencian dari caranya memanggil seraya mengepalkan erat telapak tangannya. Menegangkan otot-otot keras di sekujur tubuhnya.
“Jadi,… karena aku telah membuatmu menanti lama, maka cepat serahkan Bunga Suci Kehidupan padaku!”
Dalam terpejamnya mata, dengan enteng Delaev menjulurkan lengan kirinya, menyambut kian kuatnya tekanan tenaga dalamnya.
“Maka aku mati bila menyerahkannya…”
Pelan Yaiba merenggut sebilah pedang pada pinggang kirinya. Perlahan pula ditariknya pedang yang segera dihunus ke arah Delaev.
“Baiklah bila itu yang kau mau!”
Terbuka cepat mata Delaev. Membalas tatapan tajam Yaiba yang kala itu kian menatapnya tajam.
“Bila memang mati yang kau inginkan, akan kuberi saat ini juga.”
Keras di ujung ucapannya, Delaev berteriak, berujung dengan saling terhempasnya wujud pudaran-pudaran hitam dari tubuhnya. Saling terhempas bahu-membahu ke arah Yaiba serta dengan cepat saling mengitari raganya berupaya merenggut masuk ke dalam. Maka menjawab ancaman dari tindakan itu, Yaiba mengibaskan bilah pedangnya bersambut dengan saling terhempasnya wujud pudaran-pudaran hitam. Selanjutnya laksana kilat Yaiba terbang melesat ke arah Delaev dengan ancang-ancang menebasnya beriring dengan pekik kerasnya. Akan tetapi tatkala tebasan kuatnya hampir menerjang sosok Delaev, hujamannya sekejap terhenti oleh saling bermunculannya pudaran-pudaran hitam yang saling menahan bilah pedangnya.
“Senjata semacam ini hanya akan memperlambat pergerakanmu.”
Seketika Yaiba terhempas dalam bentang energi dari raga Delaev yang tercipta. Terbentang begitu cepat hingga menghempas raga Yaiba begitu jauh, sebelum upayanya untuk terhenti berhasil. Namun hal itu segera di sambut oleh munculnya aura jahat yang seketika terasa oleh Yaiba tepat di balik punggungnya. Maka cepat ia berpaling, terkejut sesaat namun tepat waktu untuk menahan sebuah tendangan keras dari Delaev yang kala itu tepat di hadapannya, menggunakan sisi pedangnya. Dan kala keduanya berterjangan, terbentang gelombang energi yang saat itu menghempas raga Yaiba begitu cepat dalam hancurnya bilah pedang yang berterjangan dengan tendangan Delaev. Cepat dan begitu keras raga Yaiba terhempas dan terjatuh pada sisi lereng hutan.
Mengamatinya dari udara, Delaev kini menjunjung lengan kanannya ke atas. Berujung dengan saling bermunculannya pudaran-pudaran hitam yang kala itu saling bergulir membentuk wujud bola hitam yang berpendar begitu besar tepat di atas lengan kanannya. Cepat dihempas bola jahat itu ke arah Yaiba. Melesat bagaikan mata panah hingga saling mengguncang udara yang diterjangnya. Memberikan tekanan yang begitu kuat kepada diri Yaiba yang kala itu nampak berkonsentrasi menghimpun suatu kekuatan. Maka bersambut dengan teriakannya, dihentakkan kedua lengannya ke arah datangnya bola hitam, hingga luapan energinya yang kasat mata mampu berterjangan serta menghentikan laju bola jahat tepat di atas telapak tangannya. Keduanya saling beradu kuat. Membuat bola hitam yang tak henti bergulir itu saling bergejolak. Kian keras Yaiba berteriak untuk memperkuat upayanya. Menimbulkan guncangan energinya saling bergejolak begitu kuat hingga jubah putih Yaiba berkelebat. Maka lagi dihentakkannya luapan tenaga dari raganya. Membuat sekejap wujud bola hitam di atasnya kian bergejolak hingga pada akhirnya meledak begitu keras menjadi wujud pudaran hitam yang membentang ke segela penjuru. Saling berpendar menutupi langit dari sudut pandang Yaiba.
Namun hal itu hanya berlangsung beberapa kejapan mata. Segera kala itu pula wujud pudaran hitamnya saling bahu-membahu untuk berterbangan serta merasuk paksa ke dalam raga Yaiba. Menyayat raganya dengan luka sayat yang tak terlihat dan secara paksa pula wujud hitamnya menembus keluar dan kembali merenggut masuk memberikan perihnya. Hal itu berlangsung sedemikian lama, hingga ketika wujudnya secara paksa menembus keluar, wujud hitamnya saling berpadu tepat di hadapan Yaiba yang tertunduk. Menunjukkan sosok Delaev di balik pudaran hitamnya dan segera mencekik leher Yaiba yang masih saja tertunduk. Erat ia mencekiknya seraya menghalau setiap nafas yang dihela oleh Yaiba. Mengosongkan sejenak kantung paru-paru Yaiba.
“Kau bisa berubah pikiran saat ini…”
Perlahan ia kendorkan cekikannya untuk berbaik hati agar Yaiba dapat menjawab perkataanya.
“Dan kubunuh kau,..” ucap Yaiba dalam pedih yang menguasai tenggorokannya. Membuat Delaev yang kala itu kesal, kian mengeratkan cekiknya, menghempas raga Yaiba kemudian tepat ke jurang yang ada di sela lereng. Dan kala raga Yaiba terhempas, Delaev menjulurkan lengan kirinya yang kala itu disambut dengan saling bermunculannya siluet-siluet abstrak yang secara beruntun menerjang raga Yaiba. Menyayatkan pedihnya pada Yaiba bersambut dengan jeritan terlukanya.
Maka saat itu pula Delaev menghempas luapan energi dari raganya. Terhempas begitu kuat hingga dengan deras menerjang Yaiba, bersambut pula terhempasnya Yaiba secara cepat hingga membentur sisi lereng batu tanpa adanya hutan di seputarnya dan kala itu meruntuhkan sebagian bongkahnya.
Melihat masih bertambatnya Yaiba pada lereng karang, saat itulah wujud Delaev sirna dalam sayatan-sayatan hitam yang mengikisnya, hingga secara cepat sayatan-sayatannya bermunculan tepat di hadapan Yaiba bersambut dengan munculnya sosok Delaev. Saat itu pula Yaiba terperanjat menyadari kemunculan Delaev, namun kian ia terkejut kala Delaev berupaya keras menghujamkan pukulan kelamnya. Menyadarinya, segera Yaiba menghempas raganya ke samping bersambut dengan kerasnya Delaev menerjang karang. Keras getarannya terbentang, berujung pada saling meretaknya lereng karang ke arah Yaiba yang terbang menyusuri lerengnya. Saat itulah, kala Yaiba berupaya terbang kian cepat untuk menghindari retakan, pada setiap celah retakannya saling mengeluarkan wujud pudaran hitam tipis yang berujung dengan secara serentaknya seluruh retakan lereng terhempas dalam wujud bongkah-bongkah karang, dan saling terhempas begitu cepat mengejar terbangnya Yaiba. Oleh halnya, cepat Yaiba menjauhi lereng yang kala itu saling menghempaskan bongkah-bongkah karangnya, dan terbang menuju langit lepas yang diikuti oleh saling terhempasnya wujud-wujud bongkah karang kepadanya.
Dan tatkala dirasanya ia cukup jauh dari lereng yang retak, ia terhenti. Berpaling ke arah bongkah-bongkah hitam yang kala itu hampir menerjangnya. Karena itu keras Yaiba berteriak seraya menjulurkan lengan kanannya ke arah bongkah-bongkah karang yang tinggal beberapa detik saja menerjangnya hingga terhempaslah tekanan energi dari dalam raganya yang kala itu saling menghentikan laju bongkah-bongkah hitam tepat di hadapan lengan yang terjulur. Dan cepat bersambut pekiknya Yaiba menjunjung lengan kanan yang semula ia julurkan bersambut dengan saling terhempasnya wujud bongkah-bongkah karang ke atas tubuhnya. Saling berbenturan satu dengan lain hingga mulai berpadu menjadi suatu kesatuan karang yang lebih besar. Kuat Yaiba memadukan bongkah-bongkahnya, membuat seluruh otot dalam raganya menegang keras. Maka kala dirasanya bongkah karang di atasnya telah berpadu secara sempurna, keras beriring pekiknya, dihempas bola karang yang sedemikian besar ke arah Delaev. Hingga dengan deras oleh dorongan tenaga Yaiba, bongkah raksasanya terhempas begitu cepat. Kian cepat hingga kala bongkahnya bergesekan dengan udara, maka hal itu memicu saling terbakarnya wujud batu karang yang terhempas ke arah Delaev. Berubah dari semula hanya batu karang luar biasa besar menjadi mahadahsyatnya batu api yang terbakar dan terhempas ke arah Delaev. Membuat terangnya kobaran api seolah menghilangkan sinar surya.
Tenang Delaev menatap bola apinya. Membuat mata hitamnya terlihat merah oleh api. Kuatnya tekanan energi dari bolanya, jubah beserta rambutnya berkelebat cepat, bersambut dengan diterjangkan olehnya hantaman tangan kiri pada bola apinya. Menimbulkan bentang energi yang mahadahsyat hingga mampu mengikis karang-karang terjal di seputarnya. Kuat Delaev menahan bola baranya, seolah mengabaikan tentang membaranya kobaran api yang saling menjilati raganya. Kian kuat ia menahannya. Kian pula ia tekankan energi jahatnya pada bola api, hingga membuat membaranya bola bara mulai terselubung oleh aura hitam. Namun tak melalaikan hal tersebut, Yaiba kian menekannkan bola batu apinya. Kian kuat hingga perlahan bola batu bara dalam tangan Delaev mampu menekuk lengannya yang semula tegak. Keras pula Delaev berupaya bertahan. Terpicing matanya lekat menatap bola besar dalam tanganya. Berupaya kian keras mengeluarkan luapan energinya, hingga dengan seluruh sisa tenaganya dihempaskanlah bola tersebut ke sisi lereng karang jauh di sampingnya hingga dengan keras menerjang lerengnya. Memicu dengan kerasnya ledakan yang terjadi, hancurlah lereng karang beserta luapan apinya yang begitu membara, bersambut dengan terbentangnya suatu getaran energi ke penjuru tempat.
Cepat bersambut pekiknya, Delaev terbang melesat ke arah Yaiba. Begitu cepat hingga kala itu pula ia segera tiba di hadapan Yaiba beriring dengan hujaman pukulan keras kepada Yaiba. Maka menyambut pukulannya, Yaiba menahan hujaman pukulan dengan jua pukulan kerasnya. Hingga kala keduanya saling menerjang, bentang energi mahadahsyatnya terhempas. Begitu kuat hingga menghempas keduanya begitu jauh berlawanan arah dan membuat raga Yaiba yang terpelanting berkali menerjang derasnya arus air terjun.
Namun kala itu pula, segera Delaev terhenti. Menghempas raganya kemudian ke arah Yaiba begitu cepat hingga hanya dalam hitungan detik, sosok Delaev telah berada di hadapan Yaiba yang terus terhempas. Keras Delaev berupaya menghantam Yaiba. Namun tak lalai olehnya, sekejap raga Yaiba sirna dalam sayatan-sayatan hitamnya, hingga membiarkan pukulan keras Delaev menerjang kekosongan. Cepat raga Yaiba muncul dari ketiadaan tepat di atas Delaev bersambut dengan keras ia melancarkan suatu tendangan. Namun cakap menyadarinya, cepat Delaev berpaling seraya menghindari tendangannya. Segera pula ia hujamkan pukulan kerasnya yang menerjang telak perut Yaiba. Menghempas raganya begitu cepat ke atas bersambut dengan suatu bentang energinya yang tercipta.
Menatap dengan cepatnya Yaiba terhempas, segera Delaev terbang melesat menyusul Yaiba. Begitu cepat ia melesat hingga sosoknya nampak sirna tergantikan kekosongan. Cepat raganya muncul di hadapan punggung Yaiba yang tak henti terhempas. Keras kala itu pula Delaev menerjangkan hantaman kakinya pada bahu Yaiba. Membuat raga Yaiba dengan keras terhempas ke bawah berujung jerit sakitnya. Namun saat itu pula dalam terhempasnya tubuhnya, cepat Yaiba berpaling ke arah terdiamnya Delaev. Cepat pula ia julurkan telunjuk tangannya ke arah Delaev beriring teriakan semangatnya dan mengikutinya adalah saling terpancarnya cahaya merah terang layaknya pilar cahaya dari telunjuk Yaiba dan cepat ke arah Delaev. Sadar oleh datangnya pancar cahaya, dijulurkan pula oleh Delaev lengan kirinya ke arah terpancarnya cahaya dari Yaiba. Memicu saling terpancarnya cahaya hijau terang yang menjulur cepat dari lengannya serta dengan keras menerjang pancar cahaya dari Yaiba hingga kedua cahaya saling berseteru, saling beradu kuat untuk meniadakan satu sama lain.
Keras Yaiba berupaya meniadakan pancar cahaya dari Delaev. Kian keras ia menjerit bersambut dengan kian terangnya cahaya yang terjulur dari telunjuknya. Sesaat sinarnya yang kian terang mampu mendorong pancar cahaya dari Delaev. Memaksa Delaev untuk membahanakan teriakannya yang berjung dengan kian terangnya cahaya yang ia pancarkan. Membuat kedua cahaya yang kian terang menyilaukan kembali seimbang. Maka kedua sosok sang empu dari cahaya kian memperkeras teriakan mereka, bersambut dengan kian benderangnya cahaya. Saling cahayanya kian kuat, silih berganti saling mendorong satu sama lain, sebelum keduanya sirna dalam munculnya suatu ledakan cahaya mahadahsyat yang membentangkan cercah cahaya silau yang pula menghempas raga Yaiba begitu deras. Cepat raganya terpelanting ke bawah, jatuh terhenyak ke dasar jurang dan berakhir dengan deras raganya tercebur pada aliran sungai deras di bawah jurang.
Cepat Delaev yang menatapnya, berteriak seraya menjulurkan kedua lengannya ke arah terbenamnya Yaiba. Bersambut dengan saling munculnya bola cahaya merah kecil tepat di hadapan kedua lengannya. Kian keras Delaev membahanakan pekiknya yang berujung pada kian benderangnya bola cahaya merah di ujung lengannya, dan sekejap melipatgandakan ukurannya berkali-lipat dalam sinarnya yang membara mengalahkan sinar surya kala itu. Saling berkilauan serta membendung luapan energi mahadahsyat di dalamnya. dan kala luapannya tak lagi mampu terbendung, maka terpancarlah pliar cahayanya begitu terang membara ke arah terbenamnya Yaiba.
Dan kala itulah Yaiba muncul ke permukaan air. Memburu nafas dengan begitu cepat sebelum mampu ditatapnya pancar cahaya maha besar dengan energinya yang sama maha besarnya. Terpancar begitu cepat ke arahnya. Yaiba yang terkejut lalu terbang begitu cepat meninggalkan sungai yang kala itu diterjang oleh pancar cahaya beserta luapan energinya. Maka terjadilah suatu ledakan mahadahsyat yang kala itu pula menghempas seluruh arus sungai bersambut dengan bentang cahayanya yang nampak menyerupai senja. Oleh hal tersebut, meski berhasil menghindari ledakan, oleh bentang arus ledakannya Yaiba terhempas begitu deras hingga keras ia membentur tebing karang. Membiarkan pancar cahaya dari Delaev yang tak jua usai kian kuat menekannya.
Yaiba terdiam menatap ledakan yang tak kunjung jua usai. Dalam diamnya jubah putihnya berkelebat oleh kian kuatnya bentang luapan energi. Lekat matanya menatap Delaev. Dalam diam otaknya berputar, mencari suatu asa yang akan membantunya. Maka cepat Yaiba berteriak kala ia dapatkan asa tersebut. Melesat ia dalam pekik yang kian keras ke arah Delaev. Menembus dengan deras arus air yang saling terhempas dalam ledakan ke arah Delaev. Maka mengikuti lajunya adalah saling berterbangannya wujud-wujud air yang terhempas oleh ledaka. Saling sambung-menyambung menunjukkan wujudnya yang kian menyerupai seekor ular naga air. Saling berterbangan mengiringi laju Yaiba ke arah Delaev yang tak usai memancarkan cahayanya. Meraung keras Sang naga air yang berterbangan meliuk mengiringi Yaiba. Cepat keduanya terbang melesat menyusuri pilar cahaya ke arah Delaev. Membuat Delaev yang lalai menyadarinya, tak mampu menghindari suatu terjangan pukulan yang dengan telak menghantam dagunya oleh Yaiba. Cepat oleh tenaga dalam dari pukulan Yaiba, terhempaslah Delaev beberapa rentang ke belakang. Menyambutnya adalah meraungnya Sang naga air, berterbangan meliuk kemudian ke arah Delaev. Berujung dengan saling menghujamkan wujud cairnya pada raga Delaev. Menghujamnya tiada henti hingga memaksa Delaev untuk menjeritkan pedihnya. Cepat wujud airnya saling berpadu menjadi Sang naga air tepat di belakang Delaev. Meraung kemudian sebelum kembali berupaya menghujam raga Delaev dalam wujud airnya, namun kini Delaev yang tak membiarkan hal itu kembali terulang, dengan cepat membentangkan kedua tangannya hingga memicu saling terhempasnya bongkah-bongkah karang dari tebing di seputarnya yang kala itu saling berpadu membentuk suatu dinding batu untuk mementahkan hujaman Sang naga air. Maka begitu cepat setelah upayanya berhasil, saling bermunculanlah pudaran-pudaran hitam yang menyelubungi lengan kirinya. Berujung dengan saling munculnya cakar-cakar tajam nan mengerikan pada ujung setiap jemarinya yang kala itu segera dikibaskan kepada Yaiba. Cepat menyadarinya, cepat pula Yaiba untuk bergerak mundur menghindari sabetan cakarnya. Hal itu membuat Delaev memutuskan untuk menerjangkan kaki kirinya pada raga Yaiba. Membuat Yaiba yang tak sempat menghindar, dengan telak terhantam oleh terjangannya. Terhempas begitu cepat ke arah tebing karang yang kala itu membenturnya keras. Tak terhenti di sana, cepat Delaev menyusulnya, membuat Yaiba yang terkejut kembali tak berkesempatan menghindari kesalahan fatalnya. Cepat kala itu Delaev menghujamkan cakarnya yang kala itu dengan mudah menembus dada kiri Yaiba. Mengalirkan darah segar dari celah tikamannya bersambut dengan jerit pilu Yaiba.
“Aku tahu kau menyimpan Bunga Suci Kehidupan pada jantungmu… kerena itu maaf bila kucabut jantungmu!”
Kian sadis Delaev mengoyak dada Yaiba. Mengirisnya dengan keji jantung Yaiba yang kala itu tak lagi menjeritkan pedihnya. Pasrah ia dalam cengkeraman Sang Hamba Petang.
“Maaf bila aku mengecewakanmu!”
Sesaat dengan sisa nafasnya, mampu di ucapkan kalimat itu. Membuat Delaev begitu terperanjat dalam tersenyumnya Yaiba.
“Kurang ajar!” ucap Delaev pelan di antara kian lebarnya senyum Yaiba. “Kurang ajar!”
Keras dicengkeramnya jantung dari Yaiba. Seolah tak memberi celah bagi Yaiba menjerit, dicabutlah oleh Delaev jantung itu keluar dari dada Yaiba. Membuat celah cabiknya membanjirkan darahnya ke seluruh jasad Yaiba. Keras dicengkeramnya oleh Delaev jantung segar yang masih bersimbah darah itu, membuatnya saat itu pula pecah oleh tajamnya cakar Delaev.
“Kurang ajar… di mana bocah ini menyembunyikan Bunga Hidup?”
Keras Delaev meneriakan amarahnya, bersambut dengan saling bergejolaknya arus energi dari raganya. Cepat ia terbang menjauhi terpakunya Yaiba pada lereng karang. Cepat pula ia kembali menjerit seraya menjulurkan lengan kanannya ke arah Yaiba, memicu saling bermunculannya pudaran hitam yang menyelubung lengannya. Keras dihempasnya pudaran hitam pada lengannya bersambut dengan terpancarnya bentang cahaya merah yang terjulur deras hingga menerjang raga Yaiba. Meledak mahadahsyat tatkala cahayanya saling menerjang Yaiba. Menghancurkan dengan dahsyatnya gunung hutan di balik raga Yaiba yang kala itu sirna dalam bentang cahaya.
“Di mana pun kau sembunyikan Bunga Suci… aku akan merenggutnya pada akhirnya.”
Keras Delaev menjerit hingga membahana di antara ledakan dahsyat yang tak kunjung usai. Cepat dijulurkannya lengan kirinya ke atas. Membuat terangnya surya sekejap sirna oleh saling bermunculannya gumpalan hitam yang membentang di langit. Sekejap merubah indahnya hutan itu menjadi temaram. Maka cepatlah terbentang dari raga Delaev suatu luapan jahat berupa pudaran-pudaran hitam yang kala itu dengan deras membelenggu temaramnya hutan, bersambut dengan membahananya tawa dari Sang Hamba Petang.
***
-Goresan kedua-
(Yang Berlari)
H
anya ada cercah-cercah cahaya samar yang berlalu-lalang dan kadang membentuk lorong berliku tajam yang kini ada pada ujung mata Yhi-yhi. Terhempas ia dalam heningnya menembus cercah-cercah cahaya, sebelum pudarlah keseluruhan cahaya dalam munculnya suatu tempat. Terhempas Yhi-yhi begitu cepat menuju dunia hitam kelam berkarang terjal yang menghampar ke segala penjuru. Terhempas dari kelabunya awan tepat mengarah pada terjalnya suatu karang. Ia hendak menjerit, namun tak cukup cepat tatkala sekejap dunia kelam itu melebur lenyap menjadi pudaran hitam yang bertebaran di penjuru kekosongan. Saling dengan cepat berputar dan saling membentuk lorong hitam yang kala itu menyeret raga Yhi-yhi ke dalamnya. Lagi-lagi ia terhempas menyusuri lorong-lorong panjang dan berliku tajam, meski kini lorong hitamlah yang dilaluinya.
Terhempas ia kian cepat. Dan kala raganya telah mencapai ujung lorong, segera raganya jatuh terhenyak ke suatu daratan kasar yang membuatnya menjerit di antara saling berpadunya pudaran hitam di sekitarnya menjadi wujud-wujud pepohonan. Keras Yhi-yhi terjatuh, hingga terlepas darinya Bunga Hidup. Cepat matanya menyusuri tempat itu mencari keberadaan bunga yang pada akhirnya ia temukan di antara karang-karang terjal di kanannya. Cepat ia bangkit, berlari kemudian ke arahnya dan merenggutnya. Sesaat ia terdiam, membiarkan tatapannya beralih dari Bunga Hidup. Diam ia menatap tempat yang begitu kelam itu. Menatap langit kelabu yang terpenuhi oleh awan hitam yang saling menggumpal. Sesaat ia ragu ia mengenali tempat ini, sebelum ia sadar bahwa ia masih berada pada hutan, meski telah begitu jauh dari gunung karang tempatnya pergi. Sesaat ia menoleh terkejut bersambut dengan angin kering yang mendesir menerpa raganya. Terkejut teramat sangat menatap temaramnya tempat yang dulunya begitu hijau. Tempat itu kini begitu gelap layaknya malam. Satu-satunya yang membuatnya mampu menatap dalam kegelapan hanyalah sinar dari Bunga Suci dalam dekapannya kini. Cahayanya begitu terang dalam gelap itu, sebelum muncul secercah cahaya lain darinya yang lebih terang tak cukup jauh di belakang Yhi-yhi. Hingga Yhi-yhi yang sadar oleh kemunculannya, seketika menoleh ke balik punggungnya di mana kemilau cahaya perak kian mendekatinya. Lekat Yhi-yhi menatapnya, mengamati wujud yang terlihat di antara kemilau sinarnya. Terpicing matanya menatap sosok dalam cahaya yang terus mendekatinya, sosok yang pada akhirnya mampu ia lihat dengan cukup jelas dalam kemilau cahayanya.
Sosok dalam cahaya terhenti. Hening ia menatap tertegunnya Yhi-yhi. Sebelum perlahan sosok tua berjanggut putih panjang berbusana cahaya itu menjulurkan tangan kanannya ke arah Yhi-yhi, tepatnya pada Bunga Hidup pada dekapan Yhi-yhi. Yang pada akhirnya membuat cahaya pada Bunga Suci kian terang, sebelum pada akhirnya, wujud mawar putih dalam dada Yhi-yhi perlahan terbang melayang dalam cercah cahaya yang kian terang, saling berputar begitu perlahan di hadapan Yhi-yhi.
“Bunga Hidup?... kaukah dia yang berlari?” tanya Sang Bercahaya, membahanakan suaranya yang bergetar indah.
Yhi-yhi tak segera menjawab, justru hening menatap lekat Bunga Suci, sebelum tatapannya beralih pada Sang bercahaya.
“Entahlah… aku hanya seorang gadis yang mencoba mengemban tugas dari seseorang—“
“Untuk melarikan dan membawa Bunga Suci ke Fantasia?... dan itulah yang kusebut dengan dia yang berlari.” potong Sang bercahaya yang kala itu mampu membungkam Yhi-yhi.
Diam Yhi-yhi merenung, mencerna ucapan dari Sang bercahaya. “Dan siapakah Anda?”
“Aku adalah Sang Penjaga pertama… akulah orang pertama yang mengemban tugas sebagai penjaga Mawar Suci… akulah yang mereka sebut sebagai Sang Aruah.”
Sesaat Yhi-yhi tertegun, membiarkan suara Sang bercahaya mengalun merdu bersambut angin yang menderu kian kencang. Sebelum kediamannya sekejap berubah menjadi keterkejutannya, menyadari identitas dari sosok bercahaya di hadapannya.
“Sang Penjaga pertama?... Sang Aruah?... benarkah Anda—”
“Jangan menunduk!” potong Sang Aruah kala menatap Yhi-yhi hendak menunduk. “Ada hal penting yang harus kusampaikan padamu.”
Sontak Yhi-yhi terperanjat oleh perkataan yang baru didengarnya itu, menatap penuh tanya pada Sang Aruah yang kian benderang.
“Dengarkan aku, Yhi-yhi!” Penjaga Aruah mulai berkata. “Ujung dari perjalananmu ini adalah Fantasia, tempat di mana ujung sabit berada, tempat di mana begitu dekat dengan dunia akhir, tempat di mana kau dapat menambatkan Bunga Suci…
“Tapi perjalananmu ini bukanlah semata untuk menghindarkan Bunga Suci dari renggutan Sang Hamba Petang, ada takdir lain di balik perjalananmu ini.”
Terdapat jeda sesaat sebelum Sang Aruah kembali berkata, dan pada jeda itulah Yhi-yhi menjejalkan pertanyaannya. “Takdir?”
“Benar…” Sang Aruah mengiyakan. “Ketahuilah bahwa keberhasilan dari kisahmu berpengaruh kuat pada kisah besar yang akan terjadi setelah kisahmu… akan ada suatu kisah di mana Vlateriium akan mengalami suatu takdir pelik yang melibatkan kejinya kegelapan… dan bila kisahmu gagal… maka takkan ada harapan bagi Vlateriium untuk lolos dari jerembap keji pada kisah setelahmu…”
Sesaat keheningan merenggut mereka, membiarkan deru angin saling menyusup di antara dedaunan pohon.
“Maksud Anda… meski aku berhasil membawa Bunga Hidup pada Fantasia… pada akhirnya Delaev dan kejahatannya akan tetap merajalela dan berupaya merenggut kedamaian Vlateriium?... itulah yang Anda sebut-sebut sebagai kisah pelik setelah kisahku?”
“Tak semua yang kau pikirkan itu benar…” ucap Sang Aruah pelan. “Pada akhirnya Delaev akan runtuh… itu yang pasti akan terjadi,”
“Lalu bila demikian,… siapa yang akan membawa takdir pelik beserta kegelapannya ke Vlateriium?”
Sesaat Sang Aruah terdiam, seolah memikirkan apakah ia bersedia menjawab pertanyaan Yhi-yhi atau tidak.
“Sesuatu yang lebih kejam dari Delaev… sesuatu atau seseorang yang jauh melebihi Delaev… dialah yang akan memimpin iblis untuk merenggut Vlateriium. Dan bila Delaev disebut-sebut sebagai dia Sang Hamba Kegelapan, maka dia yang akan datang setelah Delaev adalah Sang Tuan Kegelapan itu sendiri… Delaev bukanlah tokoh utama kejahatan pada drama panjang ini.”
Sesaat Yhi-yhi kian tertegun, membayangkan betapa kejamnya dia Sang Tuan Kegelapan menyadari bahwa sedemikian kejamnya Delaev.
“Tapi semua itu masih jauh untuk terjadi dalam hitungan kalian para manusia. Gapailah Fantasia sesegera mungkin!... secepat mungkin yang kau bisa… di sana kau akan bertemu dengan tokoh-tokoh utama lain yang keberhasilan mereka juga berpengaruh kuat pada kisah selanjutnya—”
“Maksud Anda… selain aku, ada orang di luar sana yang juga mengemban tugas semacamku?”
“Tidak sama persis… ketahuilah ada empat tokoh dari tiga kehidupan yang jua berupaya menggapai Fantasia… keempatnyalah yang pada akhirnya memegang kunci penting untuk membebaskan Vlateriium dari jerembap iblis pada kisah mendatang.” tutur Sang Aruah seraya kini memejamkan matanya, berkonsentrasi sesaat sebelum saling bermunculanlah lidah-lidah cahaya yang saling bergulir satu sama lain tepat di hadapan Sang Aruah. Cahayanya saling berpadu hingga mulai nampak di antara cahayanya suatu sosok mengerikan.
Tertegun Yhi-yhi menatapnya, menanti kelanjutan peristiwa mengejutkan yang akan ditatapnya. Maka sirnalah cahaya dalam munculnya sesosok naga kecil bersayap kelelawar dengan kepala dan ekornya yang begitu panjang serta penuh duri. Meraung-raung begitu keras memecah sunyi. Terkejut lalu Yhi-yhi terjatuh, matanya terbuka lebar menatap rahang Sang naga di mana terdapat dua taring panjang nan tajam layaknya taring Sabertooth.
“Jangan takut!... dialah yang akan membawamu segera sampai pada Fantasia.”
Kian terkejut kala Yhi-yhi mampu mendengar ucapan Sang Aruah. Menatapnya penuh tanya dalam upayanya bangkit.
“Apa—”
“Invuriu… tunggangilah makhluk ini hingga sampai pada Fantasia… dia akan menurutimu.”
Sesaat Yhi-yhi hendak membantah, namun yang ia lontarkan hanya desah terkejutnya. Ditatapnya lekat ekor Sang Invuriu yang mengobarkan jilatan-jilatan api yang saling berkelebat oleh angin. Tak pernah bersedia padam sekencang apa pun angin menerpanya.
“Aku harus… menaiki makhluk— maksudku… Invuriu?...”
Ragu-ragu Yhi-yhi melangkah mendekati Invuriu yang kala itu menggelengkan kepalanya tiada henti. Entah apa makna dari upayanya itu.
Sang Aruah hanya mengangguk singkat dengan senyum dan berakhir dengan ucapannya. “Dia tahu jalan tercepat menuju Fantasia.”
Yhi-yhi kembali mendekap erat Bunga Hidup. Memejamkan kedua matanya erat hingga Bunga Hidup kian bercahaya, sebelum pada akhirnya saling menembus masuk ke dalam dada Yhi-yhi, bersembunyi pada jantungnya. “Baiklah bila memang harus demikian.”
Yhi-yhi membuka matanya perlahan, menyiratkan keyakinan sebelum ia melangkah mendekati Invuriu, melompat naik pada punggungnya yang kala itu disambut dengan raungan kerasnya seraya membentangkan lebar kedua sayapnya.
“Dan sampailah segera! Vlateriium bertumpu pada keberhasilanmu…”
“Dan juga keberhasilan keempat tokoh lain?... aku mengerti.”
Yhi-yhi berteriak begitu keras bersambut dengan raungan Sang Invuriu. Sang Invuriu Kian membentangkan sayapnya bersambut dengan kian keras pula ia meraung. Berakhir dengan sebuah kibasan kedua sayapnya hingga membuatnya terbang terhempas menuju langit lepas. Meninggalkan kini Sang Aruah yang terdiam dalam sendirinya. Berpaling ia kemudian untuk selanjutnya melangkah menembus kegelapan malam dan sirna terlahap malam itu sendiri.
***
--Goresan ketiga--
(Wabah yang merenggut)
P
ergi jauh meninggalkan hiruk pikuk penduduk Vlateriium, menyusuri daratan gersang yang terpisah oleh lautan ganas dari peradaban manusia, tersembunyi di balik pegunungan gersang yang menjulang tinggi dan tempat itu sepenuhnya berupa hamparan gurun batu gersang.
Adalah suatu tempat di mana penuh oleh mayat yang mulai membusuk, adalah tempat di mana setiap orang yang sebelumnya bermukim di sana terisolasi oleh suatu wabah penyakit yang pada akhirnya membusukkan raga mereka dan meniadakan hidup mereka. Adalah di sana beberapa orang berjuang untuk hidup, bertahan dari ancaman wabah yang kian meluas… berjuang bertahan hidup sekaligus berupaya mati-matian memusnahkan wabahnya, atau lebih tepatnya berupaya memusnahkan sumber dari wabahnya. Berjuang berbulan-bulan semenjak mereka terjebak di tempat itu, berjuang untuk memperlambat perambatan wabah penyakit yang tak pernah ditemukan penawarnya, berjuang bersama untuk memusnahkan sumber dari penyakit itu yakni “Serangga Iblis”. Berjuang bersama sebelum satu per satu dari mereka tewas oleh wabahnya setelah tergigit oleh serangganya. Menyisakan kini hanya dua yang bertahan hidup.
***
Di antara kegersangan yang menghampar, tepat di tangah beberapa bongkah batu gersang saling menjulang, teriakan pedih seseorang terdengar. Memecah sunyi bersambut dengan raungan mengerikan yang membahana di penjuru kegersangan.
Seorang pria berambut cokelat berlapis tipis, terhenyak di hadapan sebuah bongkah batu dengan penuh oleh darah yang melumuri tubuhnya. Sebelah matanya tertutup menahan aliran darah dari dahinya yang mengalir deras, sedang sebelah matanya yang lain nyaris tertutupi oleh rambut berlapisnya yang sebagian jatuh ke wajah kirinya hingga hampir meraih hidungnya. Seluruh baju pelindungnya hancur, tercabik-cabik oleh semacam cakar tajam. Nafasnya naik turun tak teratur menahan pedihnya. Panik ia menyeret tubuhnya ke belakang menghindari datangnya makhluk semacam kalajengking raksasa yang terpenuhi oleh bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya. Kian ia tergesa untuk menyeret raganya mundur, namun takkan lagi kini ia mampu untuk mundur kala ia telah merapat dan terpojok pada bongkah batu di balik punggungnya.
Kian ia panik, hingga cepat ia meraih semacam senapan mesin yang tergeletak di kanannya yang segera ia arahkan kepada sosok kalajengking berbulu yang dengan cepat kian mendekatinya. Tak lagi mampu menahan, cepat ia menembakkan secara beruntun peluru-peluru baja yang menghujam tubuh kalajengking tiada henti. Kian keras dia yang terjatuh berteriak seraya tiada henti menembakkan pelurunya secara beruntun, membuat desing yang dihasilkannya membahana di penjuru kegersangan. Namun setiap pelurunya yang menghujam raga kalajengking, semuanya termentahkan. Setiap pelurunya terjatuh ke tanah gersang dalam wujudnya yang telah berubah oleh benturan dengan kulit kalajengking yang tampak begitu keras. Kian keras dia menjerit. Menjeritkan keputusasaannya kala setiap lesatan pelurunya yang datang bagai hujan hanya sesekali menggoyahkan Sang Kalajengking. Maka meraunglah makhluk itu seraya memaksa mendekati dia yang terus menghujamkan pelurunya. Merasa terpojok, dia yang terjatuh kian membabibuta, tanpa memperhatikan arah tembakannya, ia terus melesatkan ribuan pelurunya sebelum kekosonganlah yang pada akhirnya terhempas dari senapannya. Kehilangan asanya, lalu ia melempar senapannya ke arah kalajengking dan keras membentur kepalanya. Kian meraung Sang kalajengking seraya menghunus ujung ekornya tepat ke arah dia yang terjatuh. Kembali meraung sebelum dihujamnya ujung ekornya yang begitu beracun tepat pada dia yang terjatuh sebelum sebilah baja tajam berkelebat cepat serta memenggal ujung ekornya sesaat sebelum menghujam dia yang terjatuh.
Erangan kesakitan terdengar dari rahang Sang kalajengking itu seraya melangkah mundur dengan penuh sakitnya yang ia derita. Cepat dia yang terjatuh penuh darah menatap bilah kemilaunya yang masih terhunus. Menyusuri bilahnya hingga ditemukannya sosok pria di balik baju baja berambut ungu lurus tegak ke atas berlapis. Sesaat pria berambut tegak itu menatap dia yang terjatuh dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
“Kau masih terlalu muda untuk memusnahkan kalajengking jahanam itu sendirian, Revelzent,” ucap dia yang berdiri dengan pedangnya.
“Revanze!” ucap dia yang terjatuh begitu pelan menahan pedihnya.
“Terbaringlah di sana dan biarkan aku memusnahkan kalajengking ini!”
Sesaat tatapan (dipotong)
***
--Goresan keempat—
(Permintaan)
P
ada suatu malam yang dingin dan berkabut, begitu gelap oleh tiadanya cahaya dari bulan maupun gemerlap bintang, seseorang berjubah hitam dengan tudungnya berlari tergesa-gesa di antara celah karang terjal yang begitu curam. Tergesa ia berlari ke ujung celah. Nafasnya begitu kacau dalam larinya hingga oleh lalainya, ia terjatuh begitu keras pada hamparan karang di bawahnya. Seolah tak ingin membuang waktu, cepat ia bangkit seraya melanjutkan larinya hingga ia berhasil melewati celah. Berlari kian tergesa menuju ujung tempat berkarang itu. Terhenti sekejap menatap debur gelombang yang menghantam gunung karang di mana kini ia berada. Menatap ke arah karang-karang terjal yang saling muncul ke permukaan laut dan dengan gagah menahan hantaman gelombang yang datang tiada berakhir.
Diam ia menatap lautan ganas yang saling bergejolak oleh badai jauh di hadapannya. Angin berhembus begitu kencang hingga mengibarkan jubah hitamnya. Melepas pula tudung jubahnya dan memamerkan wajah tampan dengan rambut hitam lurus berlapis yang terjatuh di seputar wajahnya, bahkan hampir menutupi wajahnya.
Sesaat ia mengepalkan telapak tangannya. Matanya meruncing tajam dalam upayanya mengingat hal apa yang terjadi sebelum ia mendatangi tempat temaram ini.
***
.…….10 jam sebelumnya……..
“Kau ingin bersama lagi dengan orang yang telah mati?” tanya seseorang berjubah bertudung hitam yang duduk dengan angkuh pada sebuah kursi kusam di suatu rumah tua yang begitu jauh dari pemukiman penduduk. Seberkas sinar matahari terpancar masuk menyinari lantai kusam di hadapannya dari celah langit-langit yang retak.
“Iya… bisakah kau, Penyihir?” tanya sosok pemuda yang berlutut di hadapan sosok hitam yang disebutnya ‘Penyihir’.
Penyihir memainkan jari-jarinya yang bercakar di hadapan tudung jubahnya yang menyembunyikan seluruh wajahnya. “Bukankah dengan kau mati,.. kau bisa bertemu dengannya—”
“Aku tak mau seperti itu… aku ingin dia hidup lagi… bisakah kau?... akan kulakukan segalanya.” Pria itu memohon.
Penyihir sejenak berpikir. Mengetukkan berkali telunjuknya pada gagang kursi. “Bisa… tapi syaratnya kau tak bisa bersama dengannya… aku bisa menarik arwahnya dan mengembalikannya,… tapi sebagai gantinya kau mati—”
“Itu tidak adil!” sergah si pria. “Alasanku untuk menghidupkannya adalah untuk bersamanya… pasti ada cara lain.”
“Tidak ada…” jawab Penyihir singkat.
“Pasti ada!” bentak si pria.
“Jangan membentakku!”
Keras Penyihir membahanakan teriaknya. Menjulurkan cengkeraman tangan kanannya hingga cepat si pria terhempas ke arahnya yang segera dicengkeram oleh Penyihir.
“Ma-maaf-maafkan aku!”
“Bedebah!”
Keras Penyihir menghempas pria itu hingga dengan keras tersungkur pada lantai di hadapannya.
“Atau… ada jalan lain…” suara Penyihir kembali tenang. “Dengan jalan reinkarnasi…”
Sesaat pria yang terjatuh menatap heran ke arah Penyihir. Menanyakan pertanyaan melalui tatapannya itu.
“Pergi!... pergilah ke gunung karang di tengah laut malam ini!... terjunlah dari puncaknya…”
“Dan aku akan mati?” potong si pria.
“Ya… dan aku dapat melahirkanmu kembali ke dunia beserta gadis yang kau cintai… kau dapat hidup bersamanya…”
Lagi si Penyihir mengetukkan telunjuknya ke gagang kursi berkali-kali. Membiarkan sejenak si pria berpikir. Menatapnya tajam sebelum cepat ia bangkit. Meraih jubahnya serta dengan tergesa berlari meninggalkan kediaman Penyihir.
“Bersyukurlah aku tak meminta imbalan apa pun darimu!”
Pekik keras itu terdengar membahana di penjuru kumuhnya sekitar tempat itu.
Kian tergesa dia si pria berlari. Tergesa menuju ke arah lautan jauh di ujung matanya.
***
Pria di ujung jurang menjerit keras. Membiarkan jeritannya membahana di penjuru dataran karang hitam. Membahana lebih jauh ke lautan ganas yang tiada henti bergejolak oleh badai.
Kian pria itu mendekati ujung jurang. Hampir terpeleset oleh runtuhnya bongkah-bongkah karang namun ia berhasil menghindar dari tergelincir. Menatap ke ujung dasar di mana gelombang laut saling menjerit-jerit menerjang karang.
“Cinta memang menyebalkan, benarkan?”
Terkejut oleh datangnya suara asing itu, dia yang di ujung jurang menoleh mencari sumber suara yang pada akhirnya ditemukannya tengah terduduk di antara karang di kanannya. Pria berjubah putih dengan rambut hijaunya yang tengah terdiam membaca sebuah buku yang kadang berkelebat oleh derasnya angin yang menerjang.
“Dari kebanyakan kisah cinta yang kubaca… beberapa di antaranya berakhir tragis—”
“Siapa kau?” sergah dia yang ada di ujung jurang. Menatap penuh tanya kepada pria berambut hijau itu.
“Siapa aku?...” pria itu balik bertanya. Mengalihkan matanya dari buku dan menatap tajam sosok pria di ujung jurang dengan jubahnya yang melambai kencang oleh angin. “Kau bisa menganggapku Pencabut Nyawa bila kau mau.” Pria itu terkekeh.
“Jangan bercanda!”
Sontak hening merambah mereka usai pekik keras pria di ujung jurang. Membiarkan deru angin saling beradu dengan debur gelombang.
Pria berambut hijau menutup perlahan bukunya. “Aku… Yaiba…” ucapnya pelan. Tak dilihatnya perubahan raut dari dia yang di ujung jurang. “…apa kau yakin ingin terjun ke bawah sana?... yakinlah mati itu tidak enak… aku telah mati beberapa hari lalu, terbunuh oleh pria di balik jubah hitamnya yang kau temui sebagai Penyihir… dia adalah Delaev.”
“Apa peduliku?... dia akan melahirkanku lagi ke dunia ini bersama dengan—”
“Gadis yang kau cinta?” potong Yaiba perlahan. “Kau yakin dia akan melahirkanmu lagi?... atau… ya, anggap dia akan melahirkan kalian lagi… tapi bayangkan bila dia melahirkan kalian sebagai saudara!... dengan hubungan darah denganmu!... kau tak bisa memilikinya.”
Ucapan Yaiba mengalun merdu di antara deru angin yang kian menjadi. Membiarkan dia yang ada di ujung menunduk lemas.
“Tak ada yang tahu sebelum aku mencobanya.”
Petir menyambar laksana raungan setan di ujung langit. Membuat sejenak tempat itu begitu terang sebelum terangnya kembali sirna oleh petang.
“Ayolah Striverz!... jangan bodoh!... apa kau tak mencurigai mengapa Delaev tak memintamu imbalan?... bukankah berarti dia memang menginginkanmu mati… bukankah bila begitu hidupmu ini cukup berarti bagi kisah ini?”
“Menurutmu begitu?...” potong Striverz cepat. “Lalu apakah kau punya cara lebih baik?”
Sejenak Yaiba membiarkan deru angin yang menjawab pekik Striverz yang menuntut jawaban. Sesaat terpejam matanya seraya membuka buku dalam genggamannya.
“Ada!” jawabnya singkat seraya membuka matanya untuk menatap halaman yang ada di hadapannya.
Jawabannya sesaat membungkam Striverz. Tertegun ia membiarkan deru angin yang kian kencang menerjang raganya.
“Maksudmu—”
“Fantasia!...” potong Yaiba tatkala matanya enggan berpaling dari lembar bukunya. “Pergi dan gapailah kota Fantasia… kota yang menjadi penghujung Vlateriium… di sana kau akan menemui gadis yang begitu aku cinta… namanya Yhi-yhi… dia membawa Bunga Kehidupan yang akan menghidupkan satu nyawa yang telah mati… tanpa syarat.”
Halilintar kembali menyambar di penghujung ucapan Yaiba. Membelalakkan kedua mata Striverz.
“Tapi kenapa?.... kenapa kau memberitahuku?...” tanya Striverz seraya mengambil satu langkah ke arah Yaiba.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya… bahwa kau berarti bagi kisah ini… itu sebabnya Delaev berupaya menyesatkanmu agar kau pergi dari hidup ini. Kau dan beberapa orang lain begitu berarti pada kisah ini dan kisah setelah ini… untuk itulah kau harus tetap hidup… apa pun yang terjadi…”
Lagi Yaiba menutup bukunya. Menatap tajam ke arah Striverz menekankan keyakinan padanya yang kian tertegun. Menatapnya dalam diam.
“Aku memintamu pergi ke sana… temui Yhi-yhi dan minta ia untuk menghidupkan orang yang kau cinta, siapa pun itu…setelahnya aku hanya memintamu untuk mengikuti takdir… ikuti apa pun yang terjadi di sana!”
Kian tajam Yaiba menatap Striverz bersambut dengan kian derasnya angin menerjang raga mereka.
“Bagaimana bila aku menolak?” tanya Striverz memecah sunyi.
“Kau akan…” sejenak Yaiba terhenti. Memikirkan tentang hal apa yang akan terjadi bila Striverz menolak apa yang ia minta. “…ayolah!... setidaknya kau perlu mencobanya,… bila kau sampai pada Fantasia dan tak menemukan hasil silakan kembali dan terjun dari tempat ini!... atau cari tempat yang lebih tinggi!” pekik Yaiba keras di antara deru angin yang saling menyibak jubahnya.
Sesaat mereka kembali hening dengan tetap menjaga kontak mata mereka. Mungkin saling berkomunikasi dari tatapan mereka itu.
“Mungkin kau benar—”
“Memang…” potong Yaiba datar.
Striverz berpaling. “Tak ada salahnya aku mencoba… tapi bagaimana aku menggapai Fantasia?.”
Mendesah ia begitu pelan, membuang segala rasa lelahnya meski hal itu tak berpengaruh banyak. Hening kini ia menatap lautan ganas yang kian bergejolak. Mengabaikan entah apa yang kini dilakukan oleh Yaiba.
“Kau bisa menggunakan ini bila bersedia…”
Sontak Striverz terperanjat mendengar ucapan Yaiba. Perlahan ia menoleh ke arahnya dan cepat ia terkejut oleh apa yang ada di sebelah Yaiba. Menatap penuh tanya apa yang tadinya tak ada di sana. Matanya terbelalak begitu lebar menatap sosok naga kecil di sebelah Yaiba yang kala itu meraung keras.
“Invuriu… gunakanlah makhluk ini dengan bijak!...”
Keras layaknya amukan setan, halilintar menyambar. Begitu terang hingga nampak membelah langit yang begitu kelabu malam itu.
***
--Goresan kelima—
(Renungan dalam Senja)
P
erlahan senja mulai merambah tempat itu. Memberikan cahayanya yang temaram pada kota dengan tingkat curah hujan paling tinggi di seantero Vlateriium. Kota dengan peradaban super modern dan paling megah yang dimiliki Vlateriium. Di mana terdapat beribu pencakar langit yang megah menembus awan senja. Di mana bahkan gedung-gedung pencakarnya menjalar hampir menggapai ke ujung kegersangan Vlateriium. Kota itu berada di ujung. Ujung dari Vlateriium sekaligus ujung Dari perjalanan beberapa tokoh utama. Fantasia… itulah nama kota ini. Begitu banyak jembatan layang yang saling bertumpuk begitu tinggi. Penuh oleh kendaraan-kendaraan yang saling melayang bebasnya di udara. Hingga sampailah pada suatu bangunan termegah yang menjadi pusat Fantasia. Suatu bangunan laksana berlian yang tak pernah menyurutkan kilaunya. Begitu indah nan tinggi mengimbangi para pencakar langit.
Menatap berpulangnya surya dari puncak bangunan megah itu penuh hening. Sosok pria berjubah megahnya dengan rangkaian pangkat nan bertahtakan emas dengan rambut merah layaknya cahaya senja, terdiam menyambut deru angin yang membelai pelan rambut lurusnya yang terjatuh hingga meraih hidungnya. Perlahan ia pejamkan kedua matanya. Terlukis suatu kegusaran yang teramat sangat pada wajah tampannya.
“Ada yang Anda pikirkan, Tuan Aldino?”
Suara seorang laki-laki sesaat membuyarkan lamunan dia yang terdiam menyambut senja. Perlahan dibukanya kedua matanya. Menoleh pelan menatap sosok pria dengan jubah hitam putihnya yang melambai oleh deru angin.
“Priveat!” panggil dia yang berdiri di ujung menyambut senja.
“Anda tampak murung, Tuan?” ujar pria tua dengan sebagian rambutnya yang masih cukup hitam. “Apakah Anda mendapat mimpi lagi?” sambungnya.
“Nampaknya demikian…” jawab Aldino singkat. Perlahan ia kembali menoleh menatap senja.
“Kalau Anda tidak keberatan, Anda dapat berbagi mimpi Anda dengan saya, Tuan.”
Suara Priveat mengalun damai pada telinga Aldino bersambut dengan deru angin yang kian kencang.
“Ini tentang sesuatu yang akan terjadi setelah kisahku…” Aldino mulai bercerita. Namun matanya tetap saja berpusat pada merahnya senja. “Suatu kisah di mana Vlateriium akan terjerembap ke dalam suatu takdir yang teramat temaram… kisah di mana para Setan akan berdatangan dari Neraka… atau Neraka-lah yang mengalir pada Vlateriium… mereka berupaya merenggut kedamaian kita… dengan seseorang yang paling biadab yang memimpin mereka…” sesaat Aldino terhenti. Memberi jeda yang cukup panjang.
“Apakah ia Delaev, Tuan?” sela Priveat pada jeda itu.
“Bukan… Delaev telah runtuh kala itu… seseorang yang lebih biadab darinya akan memimpin tragedi mengerikan itu… memberikan ketakutan pada semua orang, hingga setiap yang hidup pada Vlateriium akan trauma pada kegelapan…
“Namun ada… ada sekumpulan orang yang akan bangkit dalam temaram itu… menggenggam erat suatu senjata yang bila aku tak salah adalah senjata yang dipinjamkan Malaikat… mereka bangkit untuk bahu-membahu meniadakan tragedi itu…”
Kembali sesaat Aldino terhenti. Menerawang kosong ke langit lepas yang kian merona merah.
“Namun yang kuherankan hanyalah satu…” menghela nafas begitu panjang yang segera dibuangnya. “Lebih tepatnya bukan heran namun takut… ada satu hal yang sedemikian menakutkanku.”
“Apakah hal tersebut, Tuan?”
Aldino tak segera menjawab. Membiarkan pertanyaan Priveat terjawab oleh angin yang berlalu tiada berakhir.
“Adalah suatu hal yang begitu menakutkan akan terjadi… bahwa… dia yang menjadi tuan para Setan… masih memiliki bahkan murni memiliki aliran darahku… dia adalah salah satu keturunanku… dia adalah salah satu dari Aldino…”
Maka oleh ucapan itu Priveat terperangah. Menatap penuh hening sosok Tuan dari Vlateriium yang ada di hadapannya ini… menatap dalam rasa takpercayanya bersambut dengan sirnanya surya yang masih meninggalkan secercah cahaya senjanya di ujung langit.
“Itu…tidak benar, Tuan… Anda dan seluruh keturunan Anda adalah sepenuhnya orang baik… jangan terlalu menganggap serius mimpi Anda!” ucap Priveat dengan sahajanya. Meski dalam hati kegetiran yang sama pun tergurat begitu kuat.
“Kuharap demikian…” Aldino mendesah pelan. “Yang pasti bila hal itu terjadi… aku hanya berharap mereka yang menggenggam Senjata Suci berhasil meniadakan tragedi itu… mereka yang kurasakan tengah berupaya menggapai Fantasia…”
“Siapakah mereka, Tuan?” selidik Priveat.
“Entahlah…”
Singkat Aldino menjawab. Berpaling kemudian sebelum dengan cepat berlalu meninggalkan tempat tertinggi di seluruh Fantasia itu. Meninggalkan jua berlalunya surya yang tergantikan oleh gemerlap bintang yang begitu jarang terlihat oleh kelabunya awan. Meninggalkan keheningan yang kini merambah puncak itu.
“Kadang aku berpikir kenapa kisah ini begitu pelik…”
Dalam keheningan yang tertinggal, suara itu muncul. Muncul dari sosok pria berjubah putih dengan rambut hijaunya yang kala itu terlihat dari ketiadaannya.
“Kurasa dia adalah orang baik… tapi kenapa pada akhirnya ia yang menjadi tokoh utama kejahatan?”
Bersambut desahnya, pria itu menjatuhkan diri seraya bersandar pada dinding. Menatap gemerlap bintang yang menghampar di penjuru langit.
“Aku pun tak tahu bila hal itu yang menjadi pertanyaanmu, Yaiba…”
Sesaat di antara kekosongan, pria tua berbusana cahaya muncul. Menatap penuh hening penjuru Fantasia dari titik tertinggi itu.
“Lupakan… yang jelas masih ada satu tokoh lagi yang harus kita pancing ke kota ini… menuju takdir mereka.”
Berpaling Yaiba menatap pria tua bercahaya yang berdiri menatap Fantasia di sebelahnya.
“Apakah kau mau pergi sekarang, Yaiba?...”
Kakek tua tua itu menoleh bersahaja kepada Yaiba yang tampak muram. Mencoba untuk menebak apa yang tengah dipikirkan bocah berambut hijau itu. “Ada yang kau pikirkan?”
“Entahlah…” balas Yaiba datar. “Kadang aku masih berpikir kenapa kau memilihku sebagai pendampingmu?... ada begitu banyak arwah para Penjaga Bunga lain yang lebih hebat dariku untuk mendampingimu…”
“Menurutmu demikian?...” balas kakek tua bercahaya yang tak lain adalah Penjaga pertama ‘Aruah’
“Benar…” jawab Yaiba singkat sebelum kembali hening.
“Dengar, Yaiba!... ada begitu banyak hal yang tak kau ketahui tentang dirimu dan kisah ini—”
“Bisakah beritahu salah satunya!”
Sang Aruah hanya tersenyum singkat menjawab pertanyaaan Yaiba.
“Bisakah?...” ulang Yaiba memohon.
“Bahwa kau pun pada kisah setelah ini akan turut mengambil peranan penting… kau salah satu tokohnya yang sangat berpengaruh…”
Sekejap usai ucapan itu, wujud dari Sang Aruah sirna dalam bentang cahaya semu yang muncul. Meninggalkan kesendirian Yaiba yang mencerna ucapannya. Sebelum sebuah senyum tergurat di wajahnya yang semula muram.
“Tunggu aku, Sang Aruah!”
Berdiri ia cepat. Berlari begitu tergesa dalam sirnanya raganya dalam bentang cahaya yang muncul. Meninggalkan kesendirian yang kini menjamah tempat itu.
***
--Goresan keenam—
(Yang Membawa Ramalan)
S
unyi merambah ke penjuru malam di suatu tempat di ujung lain dari Vlateriium di mana di sana akan kau dapati suatu kota yang penuh sesak oleh perumahan dengan cahaya temaram yang menjadikan tempat itu layaknya kota mati. Seluruh penduduk menutup rapat-rapat pintu dan jendela rumah mereka kala senja mulai menghampiri. Kian mempersuram sunyi itu adalah begitu derasnya langit menangis, sesekali mengusik sunyinya malam itu dengan hujannya yang tak jarang menjatuhkan Guntur. Namun sunyi itu sendiri kini pecah, bukan oleh amukan halilintar, melainkan oleh langkah seseorang berjubah bertudung putih yang begitu tergesa. Menembus derasnya hujan melalui suatu gang kumuh yang begitu suram. Sesekali di antara langkahnya yang memecah genangan air, ia menoleh gusar ke belakang. Di mana cukup jauh di belakangnya, sekumpulan berjubah hitam bertudung mereka berlari mengejarnya begitu cepat. Saling memecah genangan air mengejar dia yang berjubah putih.
“Menyerahlah, Rafstorm!” pekik salah seorang dari yang berjubah hitam. Melompat kemudian dalam jubahnya yang membentang ke arah dia sang berjubah putih.
Sadar oleh ancaman itu, Rafstorm terhenti seraya berpaling menatap dia yang melompat bagaikan terbang ke arahnya.
“Pergilah dariku!”
Segera Rafstorm melancarkan pukulan kerasnya kala dilihatnya dia yang melompat juga melancarkan pukulan. Maka tak dapat terhindarkan hantaman dari kedua pukulan mereka. Saling keduanya berterjangan hingga memicu terhempasnya bentang energi yang menghempas keduanya berlawanan arah. Membuat keduanya terpelanting jauh dan tersungkur dalam hujan. Menyambut hal itu, cepat sekumpulan berjubah hitam lain saling melompat ke arah Rafstorm layaknya terbang. Tak lalai oleh hal itu, cepat pula Rafstorm bangkit seraya melompat begitu tinggi ke suatu atap bangunan meninggalkan ancaman mereka yang berjubah hitam.
Namun segera pula sekumpulan hitam saling melompat ke atas menyusul Rafstorm yang kala itu melompat menjauh. Saling beradu cepat menembus hujan dengan melompat dari atap ke atap bersambut dengan kian derasnya hujan.
Tergesa Rafstorm melompat dari satu bangunan ke bangunan lain layaknya terbang. Kian cepat untuk meloloskan diri dari beberapa berjubah hitam yang saling melompat mengejarnya. Ada sekitar tujuh sosok berjubah hitam yang mengejar Rafstorm. Saat itulah ketujuh berjubah hitam saling melompat menyebar. Saling melompat menembus hujan mencoba mengepung Rafstorm. Maka sadar oleh adanya ancaman itu, kian Rafstorm memperkencang lajunya. Melompati 2-3 atap bangunan dalam sekali lompatan. Namun tak hanya ia yang bertambah cepat. Ketujuh jubah hitam yang mengejarnya dari berbagai penjuru pun kian kencang. Hingga mampu disadarinya bahwa tiga di antara ketujuh berjubah hitam sirna dalam pengejaran itu. Seketika pkiran-pikiran tentang kemungkinan yang akan terjadi bermunculan pada otaknya. Namun sebelum otaknya mampu berputar cepat, terlebih dahulu tiga sosok yang semula menghilang dalam pengejaran sekejap muncul oleh lompatan mereka tepat dari balik suatu gedung tinggi di hadapannya. Cepat ketiganya terhempas ke arah Rafstorm yang kala itu pun melompat begitu cepat ke arah ketiganya. Mengepalkan telapak tangannya serta dengan cepat ia menghindari ancaman dari ketiga berjubah hitam seraya menghujamkan pukulannya terhadap ketiganya satu per satu hingga membuat ketiganya terhempas oleh luapan energi dari hantaman Rafstorm. Terhempas kini Rafstorm serta bertambat pada bangunan tinggi di hadapannya tempat di mana sebelumnya menjadi titik di mana ketiga sosok hitam muncul. Cepat ia merambat naik bangunan itu dengan kesepuluh jemari tangannya menyadari bahwa ketujuh berjubah hitam masih saja berupaya mengejar dengan merambati gedung itu dengan kesepuluh jari tangan mereka. Saling berkejaran menyusuri dinding di antara derasnya hujan yang kala itu jua menjatuhkan halilintarnya. Membuat gelapnya kala itu sirna oleh cahaya petir sebelum cahayanya kembali sirna oleh petang.
Kian cepat Rafstorm memanjat dinding itu tatkala dilihatnya ketujuh berjubah hitam semakin mendekatinya. Cepat ia mengayunkan kedua tangannya pada dinding untuk sesegera mungkin mencapai puncak. Melesat begitu cepat melewati jendela-jendela yang ada pada dinding itu menembus terjangan hujan. Hingga kala ia hampir mencapai puncaknya, cepat ia melompat ke atas meninggalkan dinding. Berpijak pada atapnya sesaat sebelum dengan begitu cepat ia melompat ke arah gedung-gedung yang lebih rendah. Begitu jauh kali ini jangkauannya oleh karena titik yang lebih tinggi tempatnya melompat. Jubahnya membentang serta terhempas ia begitu cepat. Namun kala itu pula salah seorang dari berjubah hitam muncul oleh lompatannya dari gedung yang sama tempat Rafstorm melompat. Melompat dalam jubahnya yang membentang seraya mengibaskan lengan kanannya yang kala itu menghempas sehelai bulu unggas hitam yang terhempas melesat bak mata panah ke arah Rafstorm yang masih jua di udara. Begitu cepat hingga segera menghujam kaki kiri Rafstorm. Mencuatkan darah merahnya yang kala itu segera menghitam oleh racun dari bulunya. Membuat Rafstorm menunjukkan wajahnya yang kesakitan sebelum terjatuh pada suatu atap. Namun seolah enggan tersungkur, kala raganya membentur atap, cepat ia berguling serta berupaya berdiri. Mengabaikan sakit yang mulai merambahnya, cepat ia melompat dari atap gedung itu ke atap lain meski kini kala ia mendarat pada atapnya, cepat ia tersungkur begitu keras. Cepat ia berupaya bediri dengan begitu pedih oleh racunnya yang mulai menjalar. Dalam pedih yang tergurat di wajahnya ia menatap ke arah sosok-sosok hitam yang kian mendekatinya. Karenanya, cepat ia menghempas raganya dari tempat itu. Melompat dari atap ke atap dengan pedih yang menekannya, dan hal itu membuat lajunya begitu lambat.
“Tidak menyerah juga?...” pekik sosok hitam yang menghujamkan bulu unggasnya tadi. Melompat lebih jauh dan kian cepat menyusul Rafstorm yang kian melambat. Dalam keadaan ini mudah baginya untuk menyusulnya. Cepat ia kini berada dalam jarak satu lompatan di belakang Rafstorm. Cepat ia melompat dalam bentang jubahnya hingga kala itu pula ia tepat berada di sebelah Rafstorm yang kala itu tengah berada di udara.
“Musnahlah wahai penyusup!”
Sekejap usai ucapan itu, tepat di ujung kelima jemari tangan kanannya saling mencuatkan cakar-cakar hitam yang nampak begitu tajam. Cepat pula dalam lompatannya dikibaskan cakar itu pada pundak Rafstorm hingga dengan telak mencabik pundaknya, menebas dagingnya serta mengucurkan darahnya dalam terhempasnya Rafstorm begitu cepat serta dengan deras terpelanting jatuh ke suatu atap beriring jerit pilunya.
Saat itulah keenam sosok berjubah hitam lain saling dengan cepat melompat ke arah tersungkurnya Rafstorm. Begitu cepat hingga dalam hitungan detik kini mereka telah sampai dan mendarat mengepung sosok berjubah putih berlumuran darah yang berupaya berdiri. Kala itulah sosok hitam bercakar yang membuat Rafstorm sedemikian terluka terhenyak tepat di hadapannya serta kembali berupaya menghujamkan cakarnya. Namun secepat itu Rafstorm mencengkeram pergelangan tangan dari cakar yang hampir menikamnya. Erat ia mencengkeramnya berupaya keras menahan tikaman itu.
“Serahkan apa yang kau curi!” pekik si jubah hitam.
“Aku mencuri apa yang bukan menjadi milikmu. Hamba Delaev…” balas Rafstorm seraya menghempas tangan dari si jubah hitam ke atas. Menerjangkan sebuah tendangan yang dengan telak menerjang perut si jubah hitam kemudian yang menghempas wujud hitamnya ke belakang.
Hal itu bersambut dengan saling melompatnya keenam berjubah hitam ke arah Rafstorm berupaya menyerangnya. Maka dengan menahan lukanya yang kian pedih, cepat Rafstorm melompat ke udara seraya menepis segala pukulan maupun tendangan yang dilancarkan sosok hitam, berujung dengan sebuah tendangan yang ia terjangkan di akhir upayanya menepis serangan dari keenam sosok hitam yang membuat keenamnya terhempas ke segala arah bersambut dengan terjatuhnya Rafstorm. Namun kala itu pula, cepat sebuah tikaman cakar nyaris menghujamnya sebelum terlebih dahulu ia melakukan gerakan kayang untuk menghindari laju cakar. Segera ia memutar tubuhnya hingga oleh jubahnya yang berkelebat, sosok hitam dengan cakarnya itu terhempas beberapa langkah. Cepat Rafstorm berdiri. Menatap tajam sosok hitam yang jua berupaya berdiri.
“Sebaiknya pergi dariku!... sebelum kuhabisi kalian semua…”
Sesaat oleh ucapan Rafstorm, sosok di balik jubah hitamnya terkekeh. “Kau pikir bisa melakukannya?... dengan racun di tubuhmu?...”
Halilintar menyambar di penghujung ucapan sosok hitam di hadapan Rafstorm sementara keenam sosok lainnya saling dengan tenang berdiri di segala penjuru berbeda dengan membiarkan raga mereka kian basah oleh terjangan hujan.
“Sebaiknya segera serahkan lembar ramalan yang kau curi dari kami… dan kubiarkan kau mati tanpa tersiksa…”
“Tidak akan…” sergah Rafstorm. “Aku akan menunjukkan ramalan tentang kehancuran tuan kalian pada seisi Vlateriium… agar mereka tidak lagi terhantui oleh ancaman-ancaman tuan kalian…”
“Kalau begitu aku akan membunuhmu sa—“
“Jangan bermimpi!” potong Rafstorm. “meski oleh racun ini aku akan terhambat, paling tidak aku akan bertahan hingga kuhabisi kalian semua… dan pada akhirnya meski aku mati setelahnya… lembar ramalan akan ditemukan serta dunia akan tahu tentang kehancuran Delaev telah dekat…”
Lagi-lagi malam itu terlihat bagai siang oleh dengan kerasnya halilintar menyambar. Begitu keras membahana di penjuru malam.
“Maka matilah!” pekik Sang berjubah hitam keras. Memicu saling berdatangannya keenam berjubah hitam lain ke arah Rafstorm berupaya menyerangnya. Maka Rafstorm berteriak begitu keras hingga membahana dalam hujan.
Cepat Rafstorm melompat ke arah sosok-sosok hitam itu berupaya membalas ancaman mereka. Saling bertarung di antara lompatan-lompatan mereka bersambut dengan kian derasnya hujan menerjang. Membiarkan jeritan-jeritan mereka saling mengusik sunyi berdampingan dengan begitu kerasnya petir menyambar membelah langit.
Keras Rafstorm menerjangkan pukulannya yang dengan telak menghantam dada seorang dari berjubah hitam. Namun kala itu pula sebuah tendangan mampu dengan deras menerjangnya hingga membuatnya terhempas menembus hujan dan tersungkur di suatu atap. Cepat ia berdiri serta cepat pula ia melompat ke arah sosok-sosok hitam yang jua melompat ke arahnya. Saling mereka beradu hantam di udara beriring dengan teriakan-teriakan mereka. Bertarung di antara hujan yang lebih deras lagi menerjang dari begitu suramnya awan kelabu yang menggantung di penjuru langit.
***
Langit kian deras menangis kala itu. Mengikutinya adalah begitu kerasnya halilintar mengamuk. Sementara di bawah sana, air hujan yang dengan deras terjatuh mulai berganti warna menjadi merah oleh darah yang mengucur dari mayat-mayat hitam yang saling tersungkur di berbagai penjuru. Sebagian dari mereka bahkan kehilangan bagian tubuh mereka seperti lengan, kepala maupun kaki. Namun kebanyakan dari mereka kehilangan lengan mereka. Dan ketika petir menyambar begitu kerasnya, terang cahayanya sesaat mampu menunjukkan suatu kejadian di mana sosok berjubah putih berlumur darah dengan brutal mematahkan kepala dari sosok hitam yang sedemikian memberinya luka. Mencabut nyawanya dengan bersambut teriaknya. Namun kala itu pula, raganya roboh bersebelahan dengan mayat sosok hitam yang baru saja dibunuhnya. Terjatuh bersimbah darah menatap langit yang tiada henti menangis. Membiarkan raganya yang sedemikian pedih (sebagian besar oleh racun dalam raganya yang kian menyebar) menerima hantaman derasnya hujan. Menatap kelabunya langit yang tak jarang menjatuhkan petir yang tak lagi mampu dibendungnya.
“Sampai di sini…. Semua upayaku sampai di sini….” ucapnya begitu terbata dalam darah yang kian menyimbahnya melalui sayatan-sayatan yang pula mencabik jubah putihnya. Membiarkan wajahnya terlihat dalam sirnanya tudung jubah yang sedari dulu menyembunyikan wajahnya. Membiarkan rambut hitamnya jatuh pada keningnya oleh hujan yang membuatnya begitu basah.
Perlahan ia mencoba mengangkat tangan kanannya. Berupaya dengan tertatih untuk menyisir rambut pada keningnya dengan jemarinya yang begitu berdarah menyingkir dari dahinya, membiarkan wajah tampannya yang tak jua luput dari aliran darah menyambut derasnya hujan.
“Kuharap kau tak berniat mati di sini!”
Tiba-tiba dalam heningnya hujan, alunan suara itu terdengar oleh Rafstorm. Berujung dengan mampu ditatapnya sosok pria berambut hijaunya yang berdiri tegak dari atas kepalanya. Heran ia menatap sosok yang tiba-tiba muncul itu. Membiarkan kini tanda tanya menari-nari di otaknya kala pria berambut hijau itu membalas tatapannya.
“Siapa—“
“…aku?” potong si pria berambut hijau seraya melanjutkan ucapan Rafstorm. “Sudah sering aku menerima pertanyaan itu…. Dan sering pula aku bercanda dengan mengatakan bahwa aku ini Malaikat Maut.” Pria itu terkekeh serta perlahan terduduk di sebelah Rafstorm yang bersimbah darah. “Aku Yaiba…”
Seketika mata Rafstorm terpicing menatap pria itu. Mencari sesuatu yang berkelebat dalam otaknya kala mendengar namanya. Sebelum sesuatu itu ditemukannya dan membuatnya sedemikian terperangah.
“Sang Penjaga Bunga Suci Kehidupan?”
“Ah… ada juga yang tahu siapa aku…” balas Yaiba beriring seutas senyum yang tergurat di wajahnya. “Tapi tidak lagi… aku bukan lagi Penjaga…” senyum itu seketika sirna.
“Apa maksudmu?” sela Rafstorm dengan segenap nafas yang tersisa. “Apa maksud dari ucapan itu?”
“Dengar!... aku di sini bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu yang menuntut itu… yakinlah aku kemari hanya untuk memintamu!”
Sejenak Rafstorm tertegun. Menanti keterlanjutan dari ucapan Yaiba yang akan menjelaskan perkataannya, namun kala ucapan yang ia tunggu-tunggu tak kunjung terdengar, ia mengajukan suatu pertanyaan yang mungkin tak diinginkan oleh Yaiba. “Permintaan apa?... apa yang kau minta?.... apa aku mampu?”
“Itulah sebabnya aku memintamu untuk jangan bertanya… jangan membuang tenagamu hanya untuk memberiku pertanyaan yang nantinya juga aku jelaskan…” jawab Yaiba seraya menepuk dahi Rafstorm. “Aku memintamu… aku memintamu, Rafstorm… untuk pergi ke ujung Vlateriium yang lain… di mana di sana terdapat suatu kota yang kuyakin kau tahu namanya—“
“Fantasia!” potong Rafstorm.
“Benar…” jawab Yaiba. “Pergi dan sampaikan berita ramalan yang kau curi kepada segenap jiwa yang ada di sana—“
“Tapi racun di tubuhku tak memberiku kesempatan untuk itu…” potong Rafstorm seraya menahan perih dari setiap lukanya.
“Karena itu aku akan mengobatimu…” balas Yaiba yang kini meraih dahi Rafstorm. Hingga sekejap cahaya hijau cemerlang mulai merambah raga Rafstorm. Menyinarinya begitu terang hingga tempat itu begitu benderang layaknya siang. Dan kala cahayanya perlahan sirna, maka terlihatlah raga Rafstorm yang terbebas dari segenap luka maupun racun yang sebelumnya menyiksanya. Semua kesakitannya sirna dan hanya meningganlkan jubahnya yang begitu tercabik serta berlumuran darah.
“Aku akan meminjamkanmu makhluk yang bila tak salah disebut Invuriu… yang akan menghantarmu sampai pada Fantasia… gunakan dengan bijak serta sesegera mungkin sampaikan berita ramalan itu pada Fantasia, dengan begitu kabar tentang ramalannya akan menyebar cepat ke penjuru Vlateriium.”
Ucapan Yaiba berakhir dengan munculnya sosok Invuriu dari ketiadaan di sebelahnya. Membuat sejenak Rafstorm menatapnya dengan terkejut.
“Baiklah… akan aku laksanakan…”
Seketika malam itu kembali terlihat bagaikan siang kala dengan begitu cepat halilintar menyambar. Membiarkan gunturnya sekejap mensirnakan sunyi yang mendominasi malam.
***
Yaiba kini terdiam di antara hujan yang kian lebat. Menatap kepergian Rafstorm yang kian samar dalam gelapnya malam. Menatapnya dengan tersenyum kala menyadari bahwa keseluruhan dari tokoh yang akan menjadi kunci keberhasilan kisah setelah ini tengah dalam perjalanan menuju Fantasia. Hingga seketika heningnya malam itu kembali terusik oleh sesuatu yang muncul di balik punggung Yaiba.
“Jangan berpikir ini sudah selesai!”
Sekejap oleh suara yang tak begitu asing itu Yaiba terperanjat. Berpaling kemudian ia mencari sumber suara hingga seketika kedua matanya bagaikan ditampar oleh rasa terkejutnya tatkala mampu ditatapnya jubah hitam yang kala itu berkelebat begitu deras oleh arus tenaga dalam sosok di balik jubah itu. Terkejut Yaiba kala menatap punggung sosok berjubah hitam yang muncul di antara ketiadaan itu.
“Kau pasti berpikir bahwa semuanya telah selesai… tapi sadarlah bahwa aku belum memulai apapun…” ujar sosok berjubah itu dengan segala keangkuhannya. Berpaling perlahan kemudian ke arah Yaiba hingga kala itu pula rambut hitam panjangnya berkelebat tersibak oleh tenaganya. Menatap tajam sosok Yaiba yang kala itu tertegun membisu.
“De-Delaev…”
“Sudah mati saja masih mengusikku!” bentak Delaev dalam kian kencangnya rambut beserta jubahnya berkelebat. “Apa kau mau aku membunuhmu sekali lagi?”
Keras layaknya amukan setan petir menyambar di ujung bentak Delaev. Menyambar dan tampak membelah langit hitam di balik sosok Delaev yang kian mempertajam tatapannya.
Namun kala itulah Yaiba terkekeh disertai kepalanya yang tertunduk. “Itulah perkataan seorang Hamba Kegelapan yang akan segera runtuh…” lagi dengan keras halilintar menyambar. Kali ini nampak membelah kekosongan pada langit di balik punggung Yaiba yang kini membahanakan tawanya.
“Bedebah!”
Keras Delaev membentak seraya menjulurkan kedua tangannya ke arah Yaiba. Hingga dengan cepat suatu diagram sihir merah menyala tercipta. Kian membesar di hadapan kedua tangan Delaev hingga menutup sosok Delaev. Kian pula cahaya dari diagramnya benderang. Membuatnya yang tak lagi membendung luapan cahayanya menjulurkan kobaran-kobaran api yang saling menjilat ke arah Yaiba. Memberikan terang bagi malam itu. Maka menyambut datangnya kobaran api yang mahadahsyatnya Yaiba memicingkan kedua matanya. Lekat menatap kobaran api yang kian mendekat hingga bersambut pekiknya ia menjulurkan lengan kanannya. Memicu saling terpancarnya sinar sabit yang dengan cepat terhempas menerjang mahadahsyatnya kobaran api. Menembus serta membelah kobaran api ke arah Sang Hamba Petang membiarkan kobaran api yang telah terlaluinya saling terhempas ke penjuru hujan sebelum sirna pada akhirnya. Dan sadar oleh laju dari sinar sabit yang menujunya, Delaev berpaling menghindari terjangannya. Membiarkan cahayanya menerjang kekosongan tepat di hadapan raganya.
“Baiklah… kita lihat seperti apa akhir cerita ini… apakah sama dengan apa yang kau harapkan?”
Tajam Yaiba menatap Delaev usai mendengar ucapan penuh angkuh tersebut. Menatap sosok Delaev yang kala itu sirna menjadi pudaran hitam yang saling berkelebat dan sirna terhisap petang.
“Berharaplah Hamba Kegelapan!... tapi kupastikan akhir kisah ini akan begitu senada dengan apa yang kami harapkan!”
Dalam derasnya hujan, keras halilintar kembali menyambar. Memberikan terangnya yang membahana ke penjuru malam, hingga kala terangnya sirna oleh waktu, maka sirna pula sosok Yaiba tertelan malam. Menyisakan kekosongan yang kini menjamah ke penjuru hujan.
***
--Goresan ketujuh—
(Pertemuan)
D
i antara gelapnya malam yang begitu dingin, tepat berada di dalam sebuah gedung tua yang tak lagi berpenghuni serta gelap gulita tanpa adanya nyala dari seberkas cahaya pun, tepat pada suatu ruang hitam yang penuh oleh puing sisa-sisa reruntuhan bangunan itu, puluhan sosok berjubah bertudung hitamnya saling berkumpul mengelilingi suatu lingkaran merah yang nampak tercipta dari darah dengan diameter cukup lebar. Saling dengan hening mereka tertunduk, hingga perlahan dari garis lingkaran darahnya saling menjilatkan luapan apinya. Saling merambat menyusuri garis darah hingga terciptalah sebuah lingkaran api yang kala itu berkobar begitu besar. Saling menjilat-jilat mahadahsyat memberi terang layaknya senja bagi ruang kelam itu. Bersambut dengan saling berkobarnya jilatan-jilatan api pada ujung beberapa obor yang terpancang di setiap dinding ruangan.
Hingga dari membaranya tempat itu, salinglah bermunculan wujud pudaran-pudaran hitam yang kala itu berterbangan berputar tepat pada pusat lingkaran mahadahsyatnya api. Saling berputar kian cepat hingga mengikutsertakan kobaran api di seputarnya dalam arus putarnya. Hingga pada akhirnya, keseluruhan pudaran hitam yang tiada henti berputar itu mulai berpadu satu-sama-lain menampakkan sosok berjubah bertudung hitam yang kala itu membentangkan kedua tangannya seraya menengadahkan kepalanya ke atas menyambut saling menjilatnya kobaran-kobaran api pada raganya yang terselimuti jubah.
Seketika keseluruhan dari sosok berjubah hitam pada seisi tempat itu tertunduk dalam menyambut kehadiran Sang Hamba Kegelapan.
“Hormat kami, Wahai Tuan Delaev!”
Serentak ucapan itu terlantun dari setiap mulut yang tertunduk. Sekejap oleh hormat dari para hambanya, Delaev membahanakan tawanya. Membuat tawa itu saling bergema di penjuru ruangan untuk mempersuramnya.
“Kita akan segera bergerak…. Kita akan segera merenggut Vlateriium…”
Keras Delaev menjeritkan ucapan itu. Dihempasnya kobaran-kobaran api yang menjilatinya ke segala penjuru bersambut dengan tawanya yang kembali membahana.
“Tapi, Tuan… bagaimana kita dapat merenggut Vlateriium bila… kita tak menggenggam mawar putih pengendali hidup?” sela seorang hamba yang kala itu mengusaikan tawa Delaev. Membuat Delaev dengan tajam menatapnya.
“Karena itu yang harus kita lakukan adalah merebutnya… kita buru dia yang melarikan Bunga Suci… kita sebarkan seluruh balatentara jahanam ke penjuru Vlateriium untuk memburunya, dan setelah Bunga Hidup kita kuasai…. Takkan lagi ada siang bagi Vlateriium…”
Keras di ujung teriak Delaev, kembali ia membahanakan tawanya. Membuat tawa itu sendiri lagi-lagi menggema di penjuru membaranya ruang iblisnya.
***
…………Lima pekan setelahnya………….
Purnama tengah tinggi-tingginya di langit tak berawan pada suatu tempat nan jauh di tengah suatu hutan berkabut. Membuat malam itu tampak benderang di antara tipisnya kabut pada hutan itu.
Perlahan angin menderu… saling menyusup di antara dedaunan pohon yang tampak gagah dalam terang bulan. Membiarkan sejenak sunyi mendekap begitu erat hutan itu. Hingga sampailah pada suatu tempat di tengah hutan di mana di sana, tepat di bawah sebuah pohon raksasa, seseorang berjubah hitam terduduk bersandar penuh hening menyambut datangnya hembusan angin. Membuat tudung jubahnya tersibak oleh terpaan angin hingga memperlihatkan wajah tampannya yang terdiam dalam tertutupnya mata. Kian deras angin berhembus, hingga melambaikan rambut hitam berlapisnya. Melambai perlahan hingga hal itu membuat si pria membuka kedua matanya.
Masih jauhkah perjalananku untuk menggapai Fantasia?...
Sesaat angin bersedia untuk tenang. Membiarkan kala itu kian sunyi tanpa adanya deru angin. Membuat rambut hitam si pria perlahan terjatuh ke seputar wajahnya hingga nyaris menyentuh hidung. Diam pria itu menatap kosong, membiarkan hening kian mendekap raganya yang mungkin telah sedemikian lelah oleh perjalanannya yang bermula dari gunung karang tempatnya ingin mengakhiri hidup.
Sesaat matanya yang kosong mulai menatap suatu titik tepat di mana wujud bulan nampak tertutup dedaunan pohon di kanannya.
Berapa lama lagi aku harus melaju?... nampaknya Fantasia masih begitu jauh…. Pikir pria yang tak lain adalah Striverz seraya memalingkan pandangannya dan kembali menatap kosong. Hingga perlahan angin kembali menderu. Menyibak lagi rambut berlapisnya dan membiarkan kedua matanya dengan jelas terlihat.
Namun seketika diamnya Striverz pecah… terusik kala dari mata hitamnya mampu merefleksikan suatu warna merah menyala nan jauh dari balik pepohonan yang secepat itu pula warnanya sirna. Sontak hal itu membuatnya terperanjat. Terlebih ketika nyala berwarna merah itu kembali terlihat.
Seketika hal itu membuatnya berdiri. Sejenak berpikir entah apa, sebelum cepat ia berlari menuju cahaya menyala yang kadang terlihat begitu lama. Tergesa ia berlari di antara deru angin yang kian lama kian kencang. Berlari tergesa menyusup di antara pepohonan yang kian berdesak. Sebelum kobaran cahaya merah itu kembali terlihat dan menyala cukup lama sebelum kembali sirna.
Apa itu?...
Kian ia memaksa langkahnya menyusup menembus pepohonan. Hingga seketika itu pula langkahnya terhenti. Terhenti oleh dapat ditangkap oleh telinganya suara meraung yang begitu mengerikan dari pusat cahaya. Terkejut ia teramat sangat. Namun hal itu justru memaksanya berlari kian cepat ke arahnya. Namun kembali langkahnya terhenti beserta rasa terkejutnya kala secara tak terduga, tepat cukup jauh dari balik semak di hadapannya muncul seseorang berjubah putih yang berlari tergesa menjauh dari apa yang dituju Striverz. Cepat pria berjubah putih yang penuh oleh sayatan itu berlari. Melewati pepohonan begitu cepat menuju Striverz. Hingga kala tepat ia berada di sebelah Striverz, tanpa berpaling ia mencoba menyampaikan sesuatu padanya.
“Jika ingin hidup larilah!”
Sekita oleh ucapan itu, Striverz kian terperanjat dalam berlalunya pria berjubah putih dengan rambut hitamnya yang tegak berdiri itu. Hingga secara mengejutkan tepat dari arah datangnya pria berjubah putih itu munculah sebuah rahang raksasa yang terbuka begitu lebar memamerkan taring-taring tajamnya dari balik pepohonan, bersambut dengan terlihatnya tubuh makhluk yang begitu besar mencoba menembus pepohonan yang menghambat raganya.
“Naga?” ucap Striverz nyaris berbisik. Namun cepat ia berpaling menatap punggung pria berjubah putih yang kian jauh. Hingga sosok naga hitam bersayap kelelawar itu meraung begitu mengerikan. Membahana ke penjuru hutan dan hal itu membuat Striverz berlari menjauh dari sosok mengerikan yang secara paksa menembus pepohonan begitu lambat.
Tergesa Striverz berlari menjauhi sosok naga yang nampaknya telah menatapnya. Berpaling ia menatap monster yang masih terhambat pepohonan. Hingga rasa terkejut itu kembali menamparnya tatkala sosok naga itu memutuskan untuk mengejarnya. Meraung begitu keras hingga membahana di penjuru malam. Memaksa langkah Striverz kian tergesa menyusuri pepohonan menghindari amukan sosok mengerikan di belakangnya. Tak lagi ia pedulikan tentang rasa letih yang kian menjalar di raganya. Namun begitu tergesanya ia berlari, oleh sebuah akar pepohonan yang mencuat ke permukaan tanah Striverz terjatuh begitu keras. Membuang waktu cukup lama untuk berupaya berdiri dan berpaling ke arah sosok naga yang terhenti cukup jauh darinya. Meraung begitu keras sebelum naga itu membuka kedua rahangnya begitu lebar. Menghimpun suatu luapan panas di sela rahangnya yang segera dilepasnya dalam wujud kobaran-kobaran api yang mahadahsyat ke arah Striverz yang kini justru tertegun oleh terkejutnya. Namun sesaat sebelum membaranya api mampu menyentuh Striverz, cepat sosok pria berjubah putih muncul dan menabrakkan raganya pada Striverz untuk menghindarkannya dari jilatan api yang kini membakar kekosongan. Terhempas dan tersungkur cukup jauh kedua berjubah itu dari sang naga yang kian mengobarkan apinya. Membuat terangnya bulan kalah oleh membaranya api. Sekejap luapan panas dari kobarannya menjalar pada pepohonan. Membuat dengan cepat pepohonan yang terjamah panas seketika terbakar. Saling mengobarkan apinya yang memperterang malam.
Dengan segera kedua berjubah berdiri dan tanpa membuang waktu berlari menjauhi sosok naga yang masih asyik dengan mahadahsyatnya api yang ia kobarkan hingga membakar hampir sebagian hutan. Sebelum kembali naga itu meraung keras. Mengusaikan hembusan panasnya yang mengobarkan api, dan berlari menembus terbakarnya pepohonan mengejar kedua berjubah.
“Apa yang terjadi?... kenapa bisa naga itu muncul?” sela Striverz di tengah langkahnya yang kian tergesa.
“Jangan dulu bertanya!.... kita harus tetap berlari bila—“
Seketika ucapan itu terpenggal oleh meraungnya Sang naga yang dengan cepat berlari mengejar mereka. Saling menembus pepohonan yang menghambat raganya ke arah kedua berjubah.
“Baiklah tapi… siapa… katakan siapa kau!”
Lagi-lagi di antara langkah yang kian tergesa Striverz mengucapkan pertanyaannya. Membuat sesaat langkahnya sedikit tertinggal untuk menyelakan pertanyaan.
“Rafstorm!” balas pria berjubah putih itu.
Keduanya kian tergesa. Berlari ke arah pepohonan yang lebih sesak untuk menghambat langkah Sang naga. Namun upaya mereka hanya sedikit berpengaruh bagi Sang naga yang tiada henti meneriakkan raung kerasnya. Tetap saja Sang naga mampu menembus paksa ke dalam pepohonan hingga tak jarang mematahkan batangnya.
Kian keras Sang naga meraung. Membahanakan teriakannya ke segala penjuru hutan. Kembali pula dihimpunnya suatu luapan panas yang pada akhirnya ia hembuskan dalam kobaran-kobaran apinya ke arah kedua berjubah. Sadar oleh datangnya luapan api, cepat keduanya menghempas menjauh dan tersungkur membiarkan kobaran dari Sang naga membakar pepohonan. Membiarkan terang pada tempat itu. Dan kala itu pulalah Sang naga kian meraung. Berupaya menembus pepohonan yang kian membara terbakar oleh luapan api ke arah mereka yang terjatuh.
Perlahan Rafstorm berupaya berdiri sembari membantu Striverz. Namun sekejap upaya mereka terhenti kala mampu terdengarnya raung keras Sang naga yang berada tepat di hadapan keduanya. Kembali meraung sedemikian mengerikan sembari berupaya menerkam keduanya. Namun tak membiarkan hal itu terjadi begitu saja, sigap Rafstorm merenggut lengan Striverz seraya melompat mundur membiarkan terkaman Sang naga menemui kehampaan. Cepat Rafstorm menoleh ke sekeliling mencoba mencari suatu asa. Namun tak cukup cepat dari Sang naga yang kian berlari mendekat. Memaksa kedua berjubah untuk berlari menjauhi sosok mengerikan itu. Berlari begitu tergesa melewati dua pohon raksasa yang nyaris berhimpit. Cepat keduanya berlari melewati celahnya berharap Sang naga tak mampu melewatinya. Namun kala itulah raung Sang naga terdengar kian keras beriring dengan disemburkannya luapan api yang kini membakar hangus dua pohon yang menjadi harapan kedua berjubah. Dan dengan mudahnya Sang naga menembus hancur terbakarnya dua pohon itu. Berada tepat kini di belakang punggung kedua berjubah yang kini terjatuh oleh keterkejutan mereka. Jatuh tersungkur mentap betapa mengerikannya taring-taring Sang naga yang siap mengoyak raga keduanya. Kembali naga itu meraung keras sembari upayanya untuk menerkam keduanya yang terjatuh. Namun di antara suara raung Sang naga yang memenuhi telinga Rafstorm, mampu didengarnya suara lain. Suara derap langkah kaki yang begitu cepat mendekatinya. Terkejut ia oleh hadirnya suara itu, namun lebih terkejut lagi kala tepat sebelum taring-taring tajam naga itu menerkamnya, munculah sosok pria berbaju baja tepat di hadapannya dan menahan terkaman dari Sang naga dengan sebilah pedang besarnya. Terkejut Rafstorm maupun Striverz menatap pria yang kini saling adu dorong dengan Sang naga. Pria yang terlihat memiliki rambut tegak meski warna rambutnya tak terlalu jelas di antara cahaya api yang membakar penjuru hutan.
“Revelzent,… aku memberimu pedang untuk membantuku…” ucap pria yang tiada henti menahan berontak dari Sang naga.
Hingga munculah sosok pria lain dengan rambut berlapisnya yang jatuh ke sebagian wajah kirinya. Berlari menembus petang yang tersisa ke arah dia yang membendung amukan naga yang kini menggeram.
“Aku tak bisa membantumu bila larimu begitu cepat, Revanze!” balas pria yang kini berlari menembus api seraya menghunus sebilah pedang kemilaunya.
Cepat ia berlari ke arah Revanze yang nampak mulai kualahan. Terhenti ia di sebelah Revanze seraya menghantamkan tebasan pedangnya terhadap bilah pedang Revanze yang tiada henti membendung amukan Sang naga, hingga kala keduanya saling berterjangan, gelombang energi terbentang begitu kuat hingga menghempas sesaat kepala Sang naga dari pedang Revanze bersambut dengan terjatuhnya Revelzent.
Kembali naga itu meraung. Menyiratkan suatu cahaya api dari sela rahangnya yang segera disemburkan dalam kobaran-kobaran api kepada Revanze. Namun cepat Revanze menahan luapan kobaran api yang mahadahsyat itu dengan sisi pedangnya. Membuat kobaran api yang menerjang bilahnya saling terhempas ke segala penjuru kecuali penjuru di balik punggung Revanze tentunya. Kian Sang naga mengobarkan luapan apinya. Mencoba untuk menembus pertahanan kuat dari Revanze. Namun sekuat apa pun upaya Sang naga, kobaran apinya yang merah membara hanya akan terhempas kala menerjang bilah pedang Revanze. Hingga kobaran apinya yang terhempas mampu melumat pepohonan di sekitarnya yang sebelumnya luput oleh api. Menambah malam pada hutan itu semakin membara dalam terangnya jilatan api.
Kala itulah Revanze terlihat menghimpun suatu tenagannya. Menggeram untuk beberapa saat sebelum dikibaskan bilah pedangnya hingga membuat semburan api terbelah ke arah sang naga tersendiri. Dan menyusulnya, cepat Revelzent melompat dalam teriakan kerasnya melewati celah api ke arah kepala sang naga. Terhempas begitu cepat hingga kala wujud dari rahang Sang naga terlihat di balik membaranya api, cepat ia tebas rahangnya ke atas. Hingga oleh hal tersebut Sang naga menjerit keras seraya mengibaskan kepalanya ke atas, sementara Revelzent jatuh ke tanah. Dan cepat pula ia kembali melompat begitu tinggai ke arah kepala dari Sang naga. Keras ia kini menyayat dagu Sang naga dalam terhempasnya raganya ke atas. Membuat seketika itu Sang naga yang usai menjeritkan pedihnya mencari keberadaan Ravelzent yang masih terhempas ke udara. Namun matanya tak cukup cepat menemukan sosok Revelzent hingga kala itu pula saat dengan keras Revelzent terjatuh ke arah kepalanya, tak mampu ia hindari datangnya tikaman pedang yang menembus masuk ke dalam kepalanya. Mengucurkan darah begitu deras dari celah cabiknya.
Maka meraung Sang naga menjeritkan pedihnya. Meronta-ronta dengan begitu mengerikan dalam upaya Revelzent kian menikamkan pedangnya. Kian pula Sang naga meraung menjeritkan pedihnya kala baja tajam itu mengoyak kepalanya. Hal itu memaksanya untuk tiada henti mengibaskan kapalanya ke segala arah, mencoba menyingkirkan sosok Revelzent yang kini menggenggam erat gagang pedangnya berupaya bertahan. Terombang-ambing dalam upayanya kian menikamkan bilah pedangnya. Menjerit keras untuk memberinya semangat. Membahanakan jerit itu hingga saling beradu dengan jerit raung Sang naga. Hingga deras naga itu mengibaskan kepalanya ke atas. Mencoba menghempas Revelzent yang tetap bertahan. Kembali dikibaskan kepalanya ke segala penjuru. Berkali ia kibaskan hingga tak jarang membentur bahkan menghancurkan pepohonan. Dan kala itulah upaya Revelzent sirna oleh begitu derasnya Sang naga mengguncang kepalanya. Tak lagi mampu ia menggenggam gagang pedangnya dan hal itu membuatnya terhempas begitu keras ke tanah. Jatuh tersungkur di antara tiga pohon raksasa yang terbakar hebat oleh luapan api. Merintih ia sesaat sebelum berupaya perlahan untuk bangkit.
Keras naga itu kembali meraung. Mencoba menerkam dengan taringnya sosok Revanze di hadapannya. Namun sigap Revanze melompat menghindar seraya mencoba menyusuri kobaran api mencari keberadaan Revelzent. Kembali Sang naga berupaya mencabiknya. Namun kembali pula Revanze mampu menghindar.
“Sudah berapakali kubilang padamu jangan pernah melepaskan gagang pedang?”
Cepat Revanze melangkah mundur menghindari terkaman Sang naga seraya mencabikkan tebasannya terhadap kepala Sang naga. Membuat naga itu menggeram dan mengangkat kepalanya.
“Teori memang mudah!...” ucap sosok Revelzent yang terlihat di antara membaranya api.
Lagi Sang naga menggeram berupaya mencabik Revanze yang kini menatap Revelzent. Terkejut Ravenze berpaling ke arah rahang Sang naga yang telah sedemikian dekat. Tak lagi berkesempatan untuk menahan maupun beranjak dari tempat itu. Sesaat ia berpikir ia akan tercabik oleh taring-taring tajam dari Sang naga sebelum secara tiba-tiba sosok Striverz menabrakkan dirinya terhadap Revanze dan menghempas mereka berdua menjauh dari terkaman Sang naga yang kini menghantam tanah. Menggeram begitu kesal dalam nyala api yang tersirat di antara rahangnya. Namun kini erat Rafstorm mengepalkan telapak tangan kanannya. Menghimpun suatu tenaga yang dikiranya mampu untuk menghajar naga itu hingga membuat kepalan tangannya menegang keras. Cepat ia berlari menuju Sang naga yang masih menggeram. Terhenti sesaat di hadapan rahangnya seraya mengambil ancang-ancang untuk menghantam dengan kuat. Nafasnya kian tertahan untuk menghimpun kekuatan yang akan ia gunakan untuk mendorong terjangannya. Maka cepat bersambut teriaknya, cepat ia terjangkan pukulan keras yang dengan telak menyambar rahang Sang naga bersambut dengan bentang energi yang tercipta. Menghempas kepala dari Sang naga hingga terhempas membentur pepohonan yang dilanda api.
Dan kala Revelzent mampu menatap kesempatan itu, cepat ia berlari ke arahnya. Melompat kemudian ke satu pohon ke pohon lain yang tak luput dari amarah api untuk mempercepat lajunya. Terhenti ia beberapa saat pada suatu pohon yang nyaris hangus oleh api tepat di sebelah kepala Sang naga yang kala itu menggeram. Cepat ia melompat ke arahnya dan cepat pula ia raih gagang pedangnya yang masih tertikam. Bersambut pekiknya, kian ia koyak kepala dari Sang naga. Mambuat naga itu meraung keras seraya mengangkat kepalanya ke atas. Membuat Revelzent nyaris tergelincir ke bawah. Namun memanfaatkan keadaan itu, cepat Revelzent menarik raganya ke bawah menyusuri leher dari Sang naga yang membuat tikaman pedangnya menyayat leher belakang Sang naga. Memaksa naga itu kian keras menjeritkan pedihnya. Maka oleh hal tersebut cepat Sang naga mengibaskan kepalanya ke segala arah hingga tercabutlah pedang Revelzent dari daging Sang naga. Membuatnya tergelincir ke bawah dan terhenti tepat pada pangkal kepala Sang naga yang kian keras meraung.
“Cabik nadinya!”
Teriakan Revanze itu terdengar oleh Revelzent di antara kerasnya raungan Sang naga. Membuatnya cepat mencabik-cabikkan tebasannya pada leher naga itu. Membuat darahnya mengalir deras beriring dengan ronta dari Sang naga. Kian sadis Revelzent berupaya mencabik nadi Sang naga. Namun sebelum upayanya berhasil, terlebih dahulu Sang naga mengibaskan kepalanya ke bawah. Membuat cepat Revelzent tergelincir menuju kepala dari Sang naga. Dan begitu cepat naga itu mengibaskan kepalanya ke atas kala raga Revelzent nyaris menyentuh kepalanya. Membuat dengan cepat raga Revelzent terhempas deras menuju langit. Terhempas begitu tinggi meninggalkan daratan bersambut dengan raungan Sang naga yang menghimpun cahaya apinya yang kala itu pula disemburkan begitu dahsyat ke arah Revelzent yang tiada henti terhempas ke udara.
Menyadari tak mungkinnya menghindar dari jilatan-jilatan api yang mulai memberinya panas atau pun membelah api layaknya Revanze, cepat ia junjung lengan kanannya dan mengalihkan bilah pedang pada tangan kirinya.
“Invuriu!”
Pekik keras itu segera disambut oleh munculnya naga bersayap kelelawar yang kala itu terlihat dari ketiadaan. Terbang dengan cepat Sang Invuriu menghampiri Revelzent. Membawanya terbang menyingkir sesaat sebelum raga Revelzent hangus oleh mahadahsyatnya kobaran api.
Cepat Revelzent beserta Invuriunya terbang menyusuri semburan api yang memperterang langit ke arah Sang naga bersambut dengan raung keras Sang Invuriu. Terbang melesat bagaikan mata panah menyusuri semburan api ke arah Sang naga. Dan kala itulah perlahan Revelzent berdiri dari Invuriunya. Membiarkan udara dengan deras menabraknya seraya membentangkan bilah pedang pada genggaman tangan kirinya. Matanya meruncing tajam pada kecepatan itu menatap ujung rahang kanan Sang naga yang ia tuju. Rambutnya berkelebat begitu kencang dan tampak merah oleh mahadahsyatnya kobaran api yang disemburkan Sang naga.
Hingga cepat ia sampai di hadapan rahang kanan Sang naga. Seolah enggan memperlambat lajunya, ia berteriak seraya menikamkan dalam-dalam ujung bilah pedangnya terhadap ujung dari rahang kanan Sang naga. Mencuatkan darah dari celah cabiknya. Namun oleh kencangnya Sang Invuriu melaju, tikaman itu kini berubah menjadi sayatan dalam yang menjalar menyusuri leher kanannya di antara laju Revelzent yang kian kencang.
Darah mengalir deras dalam raungan Sang naga bersambut dengan usainya semburan api. Membuat kian Revelzent memperdalam sayatannya yang menjalar ke pangkal leher Sang naga. Membuat naga itu meraung keras menjeritkan pedih yang dideritanya. Hingga kala sayatan itu telah mencapai pangkal dari leher kanan Sang naga, cepat Revelzent mencabut pedangnya. Cepat pula ia terbang melesat ke sisi kiri dari pangkal leher Sang naga. Keras bersambut teriaknya, dihujamnya ujung pedang terhadap pangkal leher kiri Sang naga. Mencabiknya dengan brutal sebelum kembali ia melaju perlahan ke ujung kepala Sang naga berupaya menyayatnya kembali dari sisi yang lain. Hingga lajunya yang semula pelan kini berubah menjadi kencang. Kian kencang lagi hingga dengan sadis bilah pedang Revelzent mengoyak lehernya. Menyiksa Sang naga dalam sayatan tajam yang sedemikian membanjirkan darah berdampingan dengan menjeritnya Sang naga.
Cepat Revelzent terbang menuju kepala Sang naga di antara sayatan kejam yang ia lancarkan. Hingga kala sayatannya mampu mengoyak ujung kepala Sang naga, bersambut jerit sakitnya, cepat Sang naga menghantamkan kepalanya terhadap raga Revelzent yang berupaya terbang menjauhi Sang naga. Membuat kala dengan keras raga Revelzent terhantam kepala Sang naga, ia terhempas terpelanting jatuh terpisah dari Invuriunya. Terpelanting begitu cepat ke bawah menuju hamparan pepohonan yang terbakar.
Sadar oleh hal itu, cepat Revanze melompat ke arah satu pohon serta melompat ke pohon lain sebelum pada akhirnya ia melompat ke arah Revelzent yang terjatuh. Alih-alih untuk menangkapnya, ia justru merebut pedang dalam genggaman Revelzent. Terhempas Revanze ke salah satu terbakarnya pohon membiarkan kini dengan keras Revelzent tersungkur.
“Maaf!”
Cepat Revanze melompat ke arah Invuriu yang semula ditunggangi Revelzent dan tanpa membuang waktu, cepat ia terbang ke arah Sang naga yang telah sedemikian tercabik. Berdiri Revanze pada punggung Invuriu seraya membentangkan kedua pedang dalam genggaman kedua tangannya. Berteriak sedemikian keras kala Sang naga membuka lebar rahangnya yang berdarah.
“Musnahlah!”
Keras jeritan itu membahana. Bersambut dengan raga Revanze beserta Invuriu terbang masuk di antara kedua rahang Sang naga. Terbang lebih jauh ke dalam melalui kerongkongan Sang naga sembari menghujamkan kedua pedangnya mencabik rahang samping Sang naga dari dalam. Meneruskan apa yang telah dimulai oleh Revelzent, Revanze menyayat kedua sisi leher Sang naga dari dalam hingga ujung bilah pedangnya menyembul keluar bersambut dengan ronta Sang naga. Cepat Revanze terbang menyusuri kerongkongan Sang naga sembari membelahnya. Mengucurkan darah yang kini membanjiri tanah.
Keras Sang naga meraung. Membahana di penjuru terbakarnya hutan sebelum raungan itu sendiri sirna. Terjatuh raganya begitu keras dalam tiadanya kehidupan pada jasadnya kini. Darah sisa dari cabikan membanjiri tanah. Menyisakan keheningan di penjuru malam itu, sebelum secara mengejutkan, sebuah cabikan yang merobek leher atas Sang naga terlihat. Berakhir dengan menembus keluarnya sosok Revanze yang berlumur darah beserta Invuriunya. Terbang dengan perlahan ke arah tiga orang yang menatapnya dengan hening. Terjatuh Revanze begitu perlahan dari Invuriunya. Perlahan pula ia bangkit dan membiarkan hening sesaat mendekap mereka dalam adu kontak mata mereka. Membiarkan mahadahsyatnya api kian membara membakar hutan. menjadikan malam itu begitu membara.
“Jadi… kalian, juga dalam perjalanan menuju Fantasia?...” sela Rafstorm dalam hening itu. Membuat sesaat Revelzent dan Revanze saling melempar tatapan.
“Darimana… kau tahu?” balas Revelzent di antara tatapannya yang kembali tertuju pada Rafstorm.
“Invuriu… aku juga memilikinya. Makhluk itulah yang membawaku sampai di tempat ini. Terlepas dari upayaku yang juga dalam perjalanan menuju Fantasia.”
Rafstorm mengalihkan tatapannya. Lekat kini menatap sosok Invuriu yang perlahan terbang menjauh.
“Kalau demikian, berarti kita semua berada pada jalan yang sama… kita semua berada pada tujuan yang sama yakni menuju Fantasia…” sela Striverz dalam hening yang sebelumnya mendekapnya erat. Membuat semua mata kini menatapnya.
“Lebih tepatnya berada pada takdir yang serupa…”
Tiba-tiba dalam hening yang merambah penjuru malam, suara yang cukup asing bagi sebagian dari mereka itu muncul. Membuat semua mata secara serentak mencoba mencari sumber suara yang pada akhirnya ditemukan nan jauh di antara mahadahsyatnya api membakar hutan.
“Tidak… tidak mungkin ia yang mengucapkan perkataan itu… ia begitu jauh.”
Terpicing mata Striverz lekat menatap sosok yang masih terlihat dalam siluetnya yang secara perlahan berjalan di antara terbakarnya pepohonan.
“Tapi itu memang dia… dia yang mengucapkan kalimat itu… dia adalah orang tua yang menemuiku dan menyelamatkanku dari maut… Sang Aruah…” ucap Revanze dalam matanya yang lekat menatap kian dekatnya sosok itu. Kian dekat hingga dengan jelas wujudnya terlihat. Terus berjalan mendekat sebelum terhenti beberapa rentang dari empat yang menuju Fantasia.
“Kau benar, Revanze… ini aku…”
Seketika usai ucapan dari kakek tua bercahaya itu, seluruh mahadahsyatnya api yang membakar seisi hutan padam. Sesaat menyisakan kehangusan sebelum secara mengejutkan hangusnya sirna. Tergantikan oleh gagahnya pepohonan yang kembali berdiri tegak seolah tak terjadi apapun. Menyisakan kini keterkejutan dari keempat yang menuju Fantasia.
“Dengarkan aku… perjalanan kalian mungkin masih begitu jauh… meski kalian memiliki alasan masing-masing menuju Fantasia namun takdir kalian sama…” sesaat Sang Aruah terhenti. Menatap satu demi satu wajah dari para pria di hadapannya.
“Takdir?... apa maksud dari takdir yang serupa?...” sela Revanze pada jeda itu.
“Alasan kalian menuju Fantasia adalah untuk menemui dia yang memiliki Bunga Suci Kehidupan kecuali kau, Rafstorm.” Sang Aruah menatap dalam sahaja ke arah Rafstorm. “Dari Bunganya kalian dapat menawarkan wabah penyakit seperti yang menjadi tujuan Revelzent maupun Revanze. Atau untuk menghidupkan satu nyawa yang telah mati seperti yang Striverz upayakan… namun ketahuilah tujuanku membawa kalian pada satu tempat yang sama adalah untuk membawa kalian pada takdir yang serupa… yakni untuk meruntuhkan Sang Hamba Petang.”
“Delaev?... meruntuhkan?” sela Rafstorm. “Bukankah ia memang tengah berada di ambang kehancuran? Setidaknya itu yang teramalkan…”
“Delaev memang akan runtuh… tapi keruntuhannya tidak akan semata begitu saja muncul… akan ada begitu banyak pertumpahan darah… akan ada begitu banyak jiwa yang menjadi korban…”
“Lalu apa gunanya bila hal itu terjadi?... apa gunanya Sang Hamba Petang runtuh bila setelahnya dunia pun akan temaram?” potong Striverz keras. Matanya meruncing tajam ke arah Sang yang dengan sahaja menyambut tatapan tajamnya.
“Karena itulah Bunga Suci Kehidupan harus dilindungi dari renggutan Delaev… bila Delaev runtuh dan Bunga Suci kehidupan telah tertambat pada Firdaus… dengan sendirinya damai akan kembali datang…sinarnya yang bagaikan surya akan mengembalikan hidup… akan mengembalikan damai usai Hamba Petang telah sirna…”
“Tapi bagaimana agar Bunga Suci tertambat pada Firdaus?...”
Menanggapi pertanyaan Rafstorm, Sang Aruah hanya tersenyum. Menatap dalam sahajanya mereka berempat.
“Itu bukan tugas kalian… ada orang lain yang mengemban tugas tersebut… ada orang selain kalian yang kini dalam upayanya menambatkan Bunga Suci ke Firdaus…”
“Baiklah anggap saja begitu… tapi apa yang dapat kami lakukan?... untuk meruntuhkan Delaev?... kami tak cukup memiliki kemampuan untuknya… untuk melawan bahkan menang dari Delaev…” Revelzent memotong ucapan Sang Aruah.
“Kalian mempunyainya.” Sang Aruah manatap kembali satu demi satu dari mereka. “Ada dalam diri kalian dan memaksa ingin keluar… sesuatu yang disebut dengan Kesucian…”
Perlahan Sang Aruah menjulurkan lengan kanannya ke atas. Menghening sesaat sebelum saling bermunculanlah butir-butir cahaya yang saling terjatuh entah dari mana dan menerpa raga keempat yang menuju Fantasia. Membuat raga mereka perlahan bercahaya di antara raut terkejut mereka. Cahayanya membuat malam kian terang. Membentang ke penjuru malam sebelum Sang Aruah mengibaskan lengan kanannya ke arah keempat bercahaya yang seketika itu membuyarkan sinarnya. Berpendar sesaat sebelum sirna tergantikan jubah putih dengan kerah hitamnya yang kala itu berkelebat menyelimuti keempat yang menuju Fantasia. Mengguratkan rasa terkejut dari keempatnya yang kini berjubah putih dengan garis-garis hitamnya.
“Mulai saat ini berjuanglah!... berjuang dalam tim… renggut kuasa jahat dari Delaev sebisa mungkin… bersihkan dunia dari ancaman jahatnya…”
Seketika angin menderu begitu kencang. Menyusup di antara pepohonan dan mengibarkan jubah putih mereka.
“Tunggu!...” sela Striverz dalam hening itu. “Aku tidak mengatakan aku bersedia—“
“Tapi kau juga tidak mengatakan tidak…” potong Sang Aruah. “Kalian dituntut untuk melakukannya terlepas dari kesediaan kalian maupun tidak… mulai saat ini, kelangsungan kisah Vlateriium tertambat pada pundak kalian… mulai saat ini berjuanglah dengan maksimal… mulai dari saat ini kalian adalah apa yang aku sebut dengan Fantasy.”
“Fantasy?...” sela Revelzent. Menatap penuh tanya kepada sosok bercahaya di hadapannya.
“Ya…” jawab Sang Aruah membenarkan. “Kalian adalah penentu dari kisah-kisah yang akan terjadi setelah kalian… keberhasilan kalian telah dituntut… bila tidak… pada awalnya mungkin tidak akan cukup berdampak namun pada akhirnya akan menjadi suatu musibah yang merenggut Vlateriium… pada akhirnya kalianlah yang harus menyelamatkan Vlateriium.”
Sesaat hening mendekap mereka. Membiarkan deru angin kian kencang mengibarkan jubah putih mereka.
“Aku bersedia… menerima takdir ini…” sela Revanze mengusik sunyi. Mengguratkan sebuah senyum pada sudut bibirnya.
“Pada malam itu… saat dia yang menunjukkanku tentang kemampuan Bunga Hidup dapat menghidupkan satu nyawa yang kuinginkan… aku berjanji atas pintanya untuk mengikuti apa pun alur cerita yang muncul dalam upayaku ini… jadi aku bersedia!” Striverz tersenyum dan lekat menatap Revanze.
“Tujuan utamaku dari awal memang untuk meniadakan Delaev… jadi jelas aku bersedia…” tukas Rafstorm dalam senyumnya. Mengguratkan keyakinan pada matanya dan menyisakan kini Revelzent yang tertunduk membisu.
“Revelzent!”
Suara panggilan dari Sang Aruah yang bersahaja itu diabaikan oleh Revelzent. Kian ia tertunduk mencari sesuatu dalam benaknya yang kini begitu kacau.
“Aku… hanya ingin wabah iblis itu sirna…” ucapnya nyaris berbisik. “Namun untuk menerima takdir ini… aku ragu aku bersedia… lebih tepatnya aku takut…”
Terjatuh kini Revelzent begitu lemas. Mencengkeram erat rambut cokelatnya itu.
“Dengarkan aku baik-baik, Revelzent! Apa yang membuat kegusaran atau ketakutan itu muncul adalah sesuatu yang kadang disebut dengan ketidak percayaan terhadap diri sendiri… kau ragu kau bisa padahal bisa itu sendiri dapat kau gapai begitu sempurna… kau mempunyai kelebihan yang sebenarnya begitu luar biasa dalam dirimu…”
“Tapi itu tidak membantu…” potong Revelzent datar.
“Pada awalnya mungkin tak begitu membantu… tapi pada akhirnya hal itu akan membantumu teramat sangat… keberhasilan mereka bertiga tak lepas dari keberhasilanmu…” balas Sang Aruah. Menekankan keyakinan terhadap pria berambut cokelat itu.
Revelzent kian hening. Mencoba mencerna ucapan dari Sang Aruah yang entah mengapa membuat keyakinan itu muncul pada dirinya.
“Kaulah yang utama, Revelzent… dari semuanya kaulah yang terpenting setidaknya pada kisah dahsyat yang melibatkan Neraka setelah kisah ini…”
Seketika suara yang bergema itu terdengar pada benak Revelzent. Suara yang diyakininya adalah suara dari Sang Aruah. Membuatnya berpikir keras tentang kebenaran dari perkataan itu.
“Banar… apa yang ada dalam pikiranmu itu benar…”
Sesaat ucapan dari Sang Aruah itu membuyarkan heningnya Revelzent. Tajam Revelzent kini menatap Sang Aruah.
“Bersediakah kau menerima takdir ini?... bersediakah kau menerima takdirmu, Revelzent?”
Menanggapi ucapan Sang Aruah, Revelzent hanya membisu. Membiarkan deru angin yang kini menjawab pertanyaan Sang Aruah.
“Bisakah?” ulang Sang Aruah. Sesaat tetap saja hening yang menjawabnya. Sebelum dengan perlahan Revelzent mengangguk singkat.
“Andai hal itu adalah benar seperti yang kudengar dalam benakku… tak ada alasan aku menolak takdir itu.”
Perlahan Revelzent bangkit. Menatap sosok bulan yang begitu benderang di langit sana. Membiarkan kala itu angin saling menderu dengan kencang dan menyibak jubah putih mereka.
“Lalu aku masih tak paham tentang bagaimana kami bisa menghadapi Delaev…” sela Revanze mengusik sunyi.
“Kesucian dari diri kalianlah yang pada akhirnya akan menjawabnya… hanya oleh waktu kesucian kalian akan benar-benar sempurna…”
“Lalu sebelum hal itu?” potong Rafstorm.
Sang Aruah tak segera menjawab. Melainkan justru berpaling membiarkan keempat Fantasy menatap punggung bercahayanya.
“Apa yang bisa kami lakukan bila dalam perjalanan menuju Fantasia, Delaev atau pun hambanya menghadang kami?” tukas Rafstorm keras.
“Meski kesucian kalian belum sempurna, bukan berarti kesucian itu belum ada pada kalian… jika bersama kesucian kalian akan cukup untuk menghadapi balatentara Jahanam Delaev… sekarang lanjutkan perjalanan kalian!”
Seketika usai ucapan itu, raga Sang Aruah kian benderang. Bercahaya begitu terang sebelum membentangkan cahayanya dan sirna. Namun tak sampai di sana, hanya sela beberapa jeda dari sirnanya Sang Aruah, sekejap tempat di mana keempat Jubah Putih berdiri, melebur dalam suatu putaran dimensi yang membuat tempat di mana kini para Jubah Putih berada menjadi suatu dimensi di mana cahaya dan kegelapan saling bergulir. Berbenturan satu-sama-lain layaknya teraduk dalam mesin cuci Sang Malaikat. Karenanya dalam saling bergejolaknya bentang cahaya dengan kegelapan yang tiada henti dan justru terkesan kian cepat, para Jubah Putih saling melepaskan teriakan mereka. Saling keempatnya terhempas terombang-ambing mengikuti arus gulir cahaya dan kegelapan yang tak pernah menentu. Membuat kadang tempat itu begitu terang namun kadang pula begitu gelap. Juga kadang keduanya saling beradu. Peristiwa itu berlangsung cukup lama hingga keempat Fantasy saling terhempas dan berbenturan punggung. Terjatuh ke bawah di mana mendadak di antara tak menentunya arus cahaya dan kegelapan membentuk empat sosok Invuriu. Keempat Fantasy seketika jatuh tertunduk pada tiap-tiap punggung Invuriu bersambut jerit mereka. Dan kala itulah luapan cahaya dan kegelapan yang saling berbenturan dalam gulir mereka saling berputar membentuk suatu lorong cahaya dan kegelapan yang berputar tiada henti tepat di bawah keempat Fantasy beserta Invuriu mereka. Membuat sekejap raga keempatnya terhisap ke dalam lorong cahaya dan gelap itu beserta jerit mereka. Saling keempatnya mendekap erat leher Sang Invuriu kala secara paksa raga mereka terhempas terombang-ambing menyusuri lorong berliku yang masih enggan menampakkan ujung. Terhempas begitu cepat hingga tak jarang antara keempat Invuriu saling terhempas bertabrakan. Membuat jeritan mereka kian keras. Kian cepat mereka terhempas. Begitu cepat laksana kilatan petir hingga di ujung pandang mereka yang terhempas hanya ada cahaya dan gelap yang berputar tiada henti begitu samar.
Hingga secara mengejutkan ujung lorong tergapai. Menghempas raga keempatnya melewati lorong dan terpelanting jatuh begitu cepat dari kelabu awan yang kala itu pula menjatuhkan halilintarnya.
Cepat mereka terjatuh, sebelum keempat dari Invuriu mereka mampu menstabilkan terbangnya. Dari sebelumnya mereka menukik tajam tak terkendali, kini mampu terbang melengkung menuju keadaan rata-rata air. Dan kala keadaan tersebut tercapai, cepat keempatnya terbang melesat laksana mata panah menyusuri langit menuju tempat yang akan menjadi akhir perjalanan mereka.
“Sial… apa itu tadi?” pekik Striverz pada sela lajunya yang kian cepat menyusuri langit tepat berada di sebelah Rafstorm. Membiarkan Revanze dan Revelzent berada di hadapan mereka.
“Itu pelemparan… di mana Sang Aruah memindahkan ruang dimensi kita dari hutan ke langit ini…” balas Rafstorm dengan juga memekik keras. Meski demikian suaranya tetap terdengar lemah oleh Striverz.
“Lalu bila ia dapat melakukan hal semacam itu… kenapa tak ia lempar kita menuju Fantasia?”
“Itu tak diizinkan!” sambar Rafstorm dalam lajunya menembus awan. “Pelemparan hanya dapat dilakukan untuk sesaat mempermudah suatu perjalanan yang mempunyai tujuan besar seperti kita sekarang… tak diperbolehkan bila langsung menghantar sampai tujuan… atau lebih tepatnya ia tidak bisa melempar kita untuk segera sampai pada Fantasia… lagi pula bukankah dalam perjalanan ini juga terdapat berbagai hal yang menakjupkan?... sayang bila kita tak mengalami hal ini.”
Kian kencang Rafstorm melaju. Membiarkan kini Striverz tertinggal cukup jauh sebelum pada akhirnya Striverz mampu kembali mengejar menyusulnya.
“Kenapa kau begitu tahu tentang hal ini?... dan, kau juga belum mengatakan bagaimana naga itu muncul.” pekik Striverz mencoba mengalahkan kerasnya suara angin yang berkelebat pada telinganya.
“Semua itu adalah dongeng dari tempatku berasal… tentang cahaya dan kegelapan, tentang Bunga Suci, Sang Penjaga, dan semuanya… lalu naga itu—“
“Itu ulah Delaev.” potong Revanze melanjutkan ucapan Rafstorm. Membuat setiap mata kini tertuju padanya. “Kurasa mungkin Delaev telah mengerahkan pasukan Jahanamnya untuk memburu kita atau… memburu Sang Pembawa Bunga Suci.” sambungnya.
“Tepat… itulah apa yang aku pikirkan.” sahut Rafstorm.
Keempatnya terbang melesat menembus malam yang mungkin akan segera sirna. Terbang melesat bagai kilat menuju Fantasia yang masih begitu jauh dari jangkauan mereka.
***
--Goresan kedelapan—
(Hamba Delaev)
“N
ampaknya empat orang itu telah dipilih oleh Sang Penjaga Bunga Hidup untuk sesuatu yang ia rencanakan, Yang Mulia…” ucap seseorang pada sebuah ruangan dengan cahaya temaram, berdebu dan penuh oleh reruntuhan tiang.
“Begitukah menurutmu?... jadi kenapa tak kau habisi keempatnya?” balas seseorang berjubah bertudung hitam dengan segenap keangkuhannya yang terduduk pada sebuah kursi hitam megah yang ada pada sebuah altar.
“Bila itu keinginan Anda, Tuan Delaev.” sahut sosok berjubah hitam yang tertunduk di hadapan Sang Hamba Kegelapan. Perlahan ia berdiri sebelum berpaling dari Delaev seraya menyibak jubahnya yang kala itu membentang bersambut langkahnya beranjak dari tempat itu, menyisakan kini Delaev dalam renungan gelapnya.
***
“Terdapat empat unsur dalam setiap kelopak Mawar Kehidupan.”
Di tempat penuh oleh bentang cahaya suara itu terdengar. Suatu tempat di antara hutan pinus yang penuh oleh bentang cahaya syahdu yang menghampar tak berhingga.
“Arneith, Emerysh, Azhallean, dan—“
“Jangan sebutkan yang keempat!” sergah sosok penuh oleh bentang cahaya teduh yang membuatnya tampak begitu gagah. “Aku tahu oleh keempatnya yang tertambat pada Firdaus… Delaev beserta Jahanam yang dipinjamkan oleh Sang Tuan Kegelapan takkan lagi mampu untuk merenggut dunia di bawah sana…” sambung sosok yang jua bersayapkan cahaya tersebut.
“Lalu aku pun tahu bahwa keempat unsur dalam Bunga Suci merupakan perlambangan dari empat di antara kesebelas Senjata Sucimu, Ezhen… itu berarti kau harus turut ambil dalam kisah ini!” ucap sosok bercahaya lain di hadapan Ezhen yang nampak kian benderang.
“Aku memang tengah mempertimbangkan hal itu… tapi apa yang dapat aku lakukan?... lebih tepatnya apa yang pantas aku lakukan?” balas Ezhen dengan suaranya yang mengalun bersahaja dalam bentang cahaya yang menghiasi seisi tempat itu. Perlahan ia beranjak. Berjalan dengan wibawa ke arah sebuah singgasana yang tiba-tiba muncul di antara bentang cahaya. Perlahan direnggutnya dari sela sayap bercahayanya tiga pasang pedang kembar sebelum perlahan ia terduduk pada singgasana cahaya.
“Kau harus mengambil keputusan secara cepat, Ezhen!”
Sejenak Ezhen terdiam dalam bentang cahaya yang saling mengalir di udara memenuhi seisi pandang mata. Menunduk Ezhen dalam-dalam. Mencari suatu asa dalam benaknya.
“Sang Ezhen!”
“Aku akan menemui Sang Tuan Kegelapan pada akhir kisah ini… atau pada awal kisah setelah ini… aku tahu pasti apa rencana dari Sang Tuan Petang dan tak kuizinkan dia melakukannya dengan mudah.”
Seketika mata Ezhen menajam. Menatap penuh keyakinan pada sosok bercahaya yang terdiam di hadapannya.
“Itu mungkin terjadi bila yang melakukannya adalah salah satu dari sepuluh yang suci selain dirimu… untuk menembus Neraka kesucianmu masih terlalu tak terkendali… kau tak dapat berbuat banyak di rumah Sang Tuan Kegelapan,”
Seketika Ezhen tertunduk. Mencari sesuatu dalam benaknya untuk menemukan pemecahan dari masalah ini. Matanya menajam namun nampak menatap kosong. Hingga suatu asa berkelebat di benaknya. Membuat seketika raut wajahnya berunah.
“Sang Ezhen?”
“Aku dapat meminjam raga salah satu di antara mereka…”
“Siapa?... siapa yang kau maksud?”
“Salah satu di antara keempat yang menjadi penentu kisah setelah ini… satu di antara mereka yang ditakdirkan meruntuhkan Delaev.” Ezhen mengeratkan genggamannya terhadap ketiga pasang gagang pedangnya. “Tapi siapa?...”
Dijunjung olehnya ketiga pasang pedang kembar itu tepat di hadapannya. Pedang yang kala itu saling memancarkan bentang cahaya kemilaunya. Mengobarkan jilatan-jilatan api pada salah satu bilahnya.
“Siapa di antara mereka yang mampu menahan luapan kesucian dari D—” ucapan Ezhen tak terpotong. Bibirnya masih bergerak menyebutkan nama dari Senjata Suci yang kini ia junjung. Hanya saja kala itu luapan cahaya dari Senjata Sucinya yang terhempas membentang membisukan ucapannya. Membentangkan luapan cahaya begitu benderang ke penjuru tempat yang kini berubah menjadi suatu istana bercahaya teduh.
***
Di ufuk barat sana, tepat pada garis cakrawala yang membentang ke penjuru Vlateriium, seberkas sinar teduh terpancar. Perlahan memberikan terang terhadap petang yang sebelumnya membentang menyelimuti suatu tempat pada pegunungan tinggi nan jauh di ujung suatu gurun batu yang sedemikian gersang. Dan di antara bentang cahaya mentari pagi yang mulai merambah, secara samar dari arah munculnya mentari sebuah titik hitam tampak begitu kecil menghalau sinar surya. Sebelum pada akhirnya sebuah titik hitam tersebut perlahan tampak menjadi dua titik hitam, sebelum kemudian kembali terpisah dan terlihat menjadi empat titik hitam yang kian membesar. Keempatnya kian membesar. nampak berkali lebih besar dari sebelumnya namun sosoknya masih samar di antara benderangnya surya. Tampak kian membesar dan mulai jelas terlihat. Hingga waktu mampu menunjukkan wujud dari keempatnya. Empat yang berjubah putih. Empat yang terbang melesat laksana petir menepis tekanan angin menggunakan empat yang mereka tunggangi.
Para Jubah Putih kian melesat. Menyusuri sisa-sisa malam yang masih jelas tertinggal pada tempat itu. Melesat menembus uraian awan yang memantulkan sinar surya. Terbang begitu cepat dalam diam yang sejak tadi menemani mereka. Terbang penuh keyakinan tanpa ada satu pun suara yang terlontar dari mulut keempatnya. Membiarkan suara tamparan udara yang mereka terjang menjadi satu-satunya suara yang diperizinkan masuk ke dalam rongga telinga mereka. Hingga seketika itu pula semuanya terusik. Kala dengan begitu mengejutkan suatu luapan jahat mampu terasakan oleh mereka. Kian dekat dan terasa kian kuat menekan raga mereka. Kian terasa lebih dekat lagi dan memaksa mereka untuk berwaspada. Hingga pada suatu kesempatan, kala secara tak disengaja Striverz menoleh ke belakang, dari sudut pandang matanya mampu ia tatap suatu wujud di balik uraian awan yang nampak kian mendekat.
“Apa itu?” sela Striverz kala dengan lekat menatap sesuatu yang nampaknya menjadi pusat luapan jahat yang dirasa mereka.
Seketika ketiga yang lainnya berpaling menatap apa yang kini ditatap oleh Striverz sebelum begitu cepat peristiwa itu terjadi. Memaksa keempat berjubah putih yang tengah mencoba menyadari tentang peristiwa yang tengah terjadi mengusaikan pikiran mereka. Cepat keempatnya berterbangan menjauh kala suatu lesatan pudaran hitam yang terjulur dari suatu tempat di arah surya muncul. Membuat keempatnya yang meski mampu menghindari hembusan pudaran hitam tersebut saling terhempas tak terkendali oleh luapan energi dari pudarannya yang kini sirna di ujung pandang. Namun tak perlu waktu lama untuk membuat keempat Fantasy menstabilkan laju terbang mereka. Dengan saling mengguratkan tanya pada wajah mereka, kian kencang mereka melaju. Tetap berwaspada kala merasakan luapan energi jahat itu belumlah sirna.
“Bagus… nampaknya salah satu Hamba Delaev menemukan kita…” pekik Revanze keras sembari lekat menatap gumpalan awan nan jauh di hadapan mereka tempat di mana wujud pudaran hitam sirna.
“Itu Eiden… jelas tadi itu pudaran Eiden…” sela Rafstorm. Membuat kala itu setiap mata tertuju padanya kecuali mungkin Revelzent yang tengah lekat menatap apa yang tadinya ditatap Revanze.
“Eiden?...” tanya Striverz. “Bisa beritahu apa itu!”
“Apa pun itu… yang jelas ia kembali…” potong Revelzent seraya merenggut gagang pedangnya. Membuat seketika semua mata menatap hadirnya lesatan pudaran hitam yang tertuju kepada mereka dari balik awan nan jauh di hadapan mereka. “Aku tak tahu apakah ia berbahaya atau tidak… tapi kurasa kita harus meniadakannya!”
Cepat Revelzent melesat menyambut datangnya hembusan pudaran hitam. Erat ia menggenggam pedangnya yang segera ia hujamkan kepada luapan pudaran hitam yang nyaris menerjangnya. Membuat seketika oleh luapan tenaga Revelzent yang tersalurkan oleh hujaman pedangnya menghempas wujud hitam itu ke segala arah. Saling berputar tiada henti mengitari keempat Jubah Putih dalam bisikan-bisikan jahat yang terlantun dari setiap pudaran hitamnya. Dan kala itulah secara cepat keseluruhan dari wujud pudaran Eiden terhempas menjauh. Saling dengan cepat berterbangan menyusup ke dalam suatu gumpalan awan sebelum pada akhirnya hal itu memicu terhadap saling mendekatnya gumpalan-gumpalan awan kelabu yang sebelumnya tiada. Saling dengan cepat kelabunya awan berbondong-bondong untuk mengepung keempat Jubah Putih yang kini terselubung oleh keterkejutan mereka. Hingga kala keterkejutan itu belumlah sirna, secara mengejutkan dari balik setiap kelabunya awan saling menghempas wujud pudaran-pudaran Eiden yang kala itu berterbangan silih berganti mencoba merenggut ke raga para Jubah Putih. Karenanya sigap oleh hal itu, cepat keempatnya saling berkelit. Secara cepat berupaya menghindari terjangan wujud Eiden yang tak jarang menjeritkan bisikan jahatnya.
“Jadi kau bisa menjelaskan apa itu Eiden sekarang!”
Keras Striverz menghantamkan pukulannya terhadap sosok Eiden yang berupaya merenggut raganya. Membuat seketika itu sosok Eidennya melebur terhempas. Namun kala itu cepat sosok Eiden lain saling dengan cepat berterbangan ke arahnya. Berupaya merasuki raga Striverz yang nampak belum siap akan kedatangannya. Namun hal itu segera membuat Invuriu yang ditungganginya berpaling dengan cepat sembari menghantamkan ekor berapinya terhadap wujud Eiden tersebut. Membuat Eidennya terhempas menjauh dalam sosoknya yang melebur sirna.
“Perlukah sekarang?” balas Rafstorm di tengah upayanya untuk terbang dengan cepat menghindari saling mengejarnya wujud-wujud Eiden. Terbang menuju langit yang lebih tinggi untuk kemudian berpaling menatap wujud-wujud Eiden yang kala itu segera berterbangan ke arahnya. Dan kala itulah Invuriu yang ia tunggangi meraung sedemikian kerasnya. Mengibaskan ujung ekor berapinya kemudian tepat ke hadapan rahangnya yang kala itu menyemburkan luapan energinya. Membuat kala luapan energinya berpadu dengan nyala api pada ujung ekornya, berkobarlah mahadahsyatnya api ke arah wujud-wujud Eiden yang menyusulnya dari bawah. Berkobar begitu besar yang kala itu menerjang wujud Eiden. Berkobar lebih dahsyat lagi kala Rafstorm berteriak keras. Membuat luapan panas dari mahadahsyatnya kobaran api dari Invuriu mampu menekan ketiga Jubah Putih lain. Membuat jubah putih mereka berkelebat begitu kencang. Membuat saat itu pula semua mata terpicing menatap penuh heran kobaran membara yang begitu dahsyatnya. Namun kala itulah secara tak terduga, wujud-wujud Eiden yang sebelumnya sirna dalam membaranya luapan api saling bermunculan menembus keluar apinya. Saling berterbangan mengitari dahsyatnya semburan api ke arah Rafstorm.
“Sial…” ucap Rafstorm kecewa. Menyiratkan suatu keterkejutan kala secara cepat wujud-wujud Eidennya saling berterbangan berputar mengitarinya. Mengusaikan mahadahsyatnya semburan api dari Sang Invuriu.
“Sepertinya dia dalam masalah.”
Cepat usai ucapan itu, Striverz yang semula tertegun terbang melesat ke arah Rafstorm yang tiada henti teritari oleh wujud-wujud hitam yang saling membisikkan ancaman jahat mereka. Namun belum sempat lajunya menggapai Rafstorm, sesosok Eiden lain berkelebat begitu cepat menembus gumpalan awan menujunya. Begitu cepat berterbangan menyusul Striverz yang kala itu terhenti kala merasakan kedatangannya. Cepat ia berpaling ke arah datangnya wujud itu. Tak punya cukup waktu untuk menerjangkan pukulannya namun cukup punya waktu untuk berkelit menghindari terjangan wujud Eidennya yang kala itu justru terbang berputar menuju sisi di mana punggung Striverz menghadap berupaya menerjangnya dari belakang. Membuat Striverz yang kembali mampu merasakannya, tanpa bersedia berpaling menatap sosok itu segera melesat ke samping kala sosok Eiden nyaris merenggut masuk tubuhnya.
Terlepas dari Striverz, kian Rafstorm tertekan. Menatap penuh waspada wujud-wujud yang saling berputar menyelubunginya. Membisikkan ancaman-ancaman mereka sebelum ancaman itu benar-benar terlaksanakan. Wujud-wujudnya saling terhempas begitu kencang mencoba merenggut raga Rafstorm. Membuat Rafstorm cepat berkelit menghindarinya. Hal itu berujung dengan saling berhembusnya wujud-wujud Eiden yang sebelumnya mengitari Rafstorm. Berhembus silih berganti berupaya merenggut raga Rafstorm yang tiada henti pula berupaya menepis setiap terjangan yang tertuju padanya. Namun kian lama hal itu berlangsung, kian pula upaya Rafstorm terhambat oleh lelah yang mulai menderanya. Namun tak dirasanya sama sekali wujud-wujud Eiden yang saling berbisik mengancam itu kian lambat. Kala itulah sesosok wujud Eiden berkelebat di hadapannya. Membuatnya yang mampu dengan cepat menyadarinya menghujamkan pukulan kerasnya yang kala itu meleburkan wujud hitamnya. Namun kala itu pulalah sosok lain saling berkelebat menujunya yang nampak lengah. Membuat Rafstorm yang telah dipenuhi oleh keringat hanya dapat menahan nafas kala wujud-wujud mereka kian dekat. Berharap munculnya suatu bantuan dari apa pun itu yang dapat meloloskannya dari ancaman itu. Dan bantuan itu pun muncul. Seketika sesaat sebelum wujud-wujud hitamnya merenggut paksa ke dalam raga Rafstorm, tiga sosok kawannya sekejap muncul dari bawah serta menepis segenap ancaman yang berhembus dari wujud-wujud jahat. Membiarkan kini Rafstorm bersandar lemah pada Invuriunya.
“Jadi bisa jelaskan apa sebenarnya mereka ini!”
Keras Revanze menebas sosok Eiden yang berkelebat di hadapannya. Menghujamkan tikamannya kemudian terhadap wujud Eiden yang kembali berupaya mendekat.
“Eiden… mereka adalah perwujudan dari mereka yang telah menjadi—“
Seketika ucapan Rafstorm terhenti kala mampu ditatapnya sekelebatan Eiden yang mampu menyusup menembus pertahanan ketiga kawannya. Tertuju cepat ke arahnya namun sekejap mata bilah pedang Revelzent terayun menebas wujud Eiden.
“Lanjutkan!... aku mulai penasaran dengan mereka…” sela Revelzent di antara tebasan-tebasan yang ia hujamkan pada sosok-sosok Eiden.
“Adalah perwujudan dari mereka yang telah menjadi abdi iblis… untuk mampu meleburkan raga mereka menjadi semacam pudaran-pudaran asap hitam seperti ini… dalam wujud ini, kala mereka mampu merenggut masuk raga seseorang, dengan mudah kehidupan dalam orang itu akan tersobek—“
“Maksudmu mati?” potong Striverz. Tercengang ia mendengar ucapan Rafstorm. Membuatnya kini menerjangkan pukulan terhadap sosok-sosok Eiden dengan kekhawatirannya.
“Aku belum selesai!” sergah Rafstorm. “Dalam Eiden mereka mampu merobek nyawa seseorang terkecuali terhadap orang-orang yang mampu menggunakan kesucian seperti kita.”
“Tapi apa kau lupa bahwa kesucian kita belum sempurna muncul?”
Striverz berpaling cepat untuk menghindari berkelebatnya sosok Eiden. Terbang menuju sosok Eiden yang menghampiri Rafstorm kemudian untuk meniadakan sosok Eidennya.
“Tapi bukan berarti kesucian itu tidak ada.”
Rafstorm mulai mencoba untuk ikut ambil dalam menepis ancaman-ancaman yang tiada henti saling berkelebat. Menerjangkan pukulan-pukulan kerasnya hingga meleburkan sosok-sosok Eiden.
“Aku tak mau ambil resiko untuk terasuki sosok mereka…”
Revelzent mengibaskan bilah pedangnya hingga menebas sirna wujud Eiden yang mendekat. Memalangkan kemudian bilah pedangnya untuk menahan terjangan kencang dari sosok Eiden sebelum dihempasnya sosok-sosok itu.
“Apakah berarti bahwa sosok-sosok ini berwujud manusia sebelumnya?”
Seketika usai ucapan Revanze tersebut ancaman dari wujud-wujud Eidennya terhenti. Menahan segenap serangan mereka dan membiarkan keterkejutan menyelubung keempat Fantasy.
“Manusia, naga, atau yang lainnya… bisa saja wujud aslinya bukanlah seperti apa yang kita harapkan…” balas rafstorm dalam siaganya. Keempatnya saling waspada, menanti hal-hal mengejutkan yang mungkin akan terjadi. Menanti ancaman dari wujud-wujud Eiden yang kini saling berpendar dalam terpakunya mereka.
“Jadi apa yang mereka lakukan saat ini?”
Seolah menjawab pertanyaan Revanze, seketika itu wujud-wujud Eidennya mulai kembali membisikkan ancaman mereka. Saling berterbangan kemudian menuju satu titik jauh di hadapan para Fantasy. Wujud-wujud Eidennya saling dengan cepat berhembus menuju satu titik di mana pada titik itu kini wujud Eiden yang telah terkumpul mulai saling berputar. Bergulir tiada henti membentuk gumpalan bola hitam yang berpendar. Kian membesar kala hembusan Eiden lain saling menggapai bolanya. Bergulir cukup lama sebelum secara mengejutkan bola hitamnya terhempas menjauh dalam jejak hitam berpendarnya yang tertinggal.
“Kejar bolanya!”
Kala Striverz meneriakkan ucapan itu terlebih dahulu ketiga Jubah Putih lain terbang menembus kelabu awan mengejar wujud bola jahat yang terhempas memudarkan warna hitamnya. Menyisakan kini Striverz yang tertinggal dan menyusul mereka.
“Ia akan menjelma!” sela Rafstorm dalam lajunya yang kian kencang menembus gumpalan awan mengikuti bola hitamnya.
“Menjadi wujud aslinya?” tanya Revelzent. Menyusul Rafstorm kemudian hingga keduanya berdampingan dalam terbang mereka yang kian kencang.
Menjawab pertanyaan itu Rafstorm hanya mengangguk. Membiarkan kini mata Revelzent memicing lekat menatap wujud gumpalan pudaran hitam yang terhempas kian jauh di hadapan mereka. Terhempas melesat laksana kilat menembus gumpalan-gumpalan awan yang menghadang. Memaksa laju keempat Jubah Putih kian kencang mengejarnya. Saling mengejar menembus gumpalan awan sekaligus tekanan udara yang terasa kian menekan mereka. Hingga kala itulah setelah sedemikian lama mereka saling berkejaran, secara mengejutkan wujud bola Eiden yang tiada henti terbang melesat saat itu pula saling memudar. Merelakan sebagian dari wujudnya saling melebur secara perlahan dalam lajunya yang kian kencang. Memaksa keempat Jubah Putih untuk memperkencang lajunya. Dan kala itulah, saat di mana wujud hitamnya menyusup di antara awan seketika seluruh luapan jahat dalam Eidennya terhempas ke segala penjuru. Menghempas pula gerombolan awan kelabu di sekitarnya dalam munculnya sosok pria berjubah hitam penuh sayatan dari inti Eiden yang kala itu terbang melesat menjauhi keempat Fantasy dengan wajahnya yang menhadap kepada para Fantasy. Membuat seketika itu keterkejutan menyusup menyelubungi raga keempatnya.
“Diakah sosok sebenarnya?”
Lekat Striverz menatap sosok yang terbang melesat dengan berhadapan wajah dengan mereka. Membiarkan jubah hitamnya yang penuh oleh sayatan tersibak oleh kerasnya tubrukan dengan udara.
Seketika itu Sang Hamba Delaev terkekeh. Menatap sombong keempat Fantasy dengan matanya yang sepenuhnya berwarna hitam. “Jadi kalian… empat yang direncanakan oleh Sang Penjaga Bunga Suci?” ucap pria itu di antara jeritan udara yang sedemikian keras memenuhi rongga telinga. Memaksa para Fantasy untuk memperkuat pendengaran mereka agar suara dari pria itu terdengar oleh mereka.
“Apa salahnya bila aku mengatakan iya?”
Cepat laksana kilat usai ucapan itu Revanze terbang menuju Sang Hamba Delaev. Membuat lajunya yang sedemikian cepat segera sampai tepat di hadapan pria itu bersambut dengan tebasan keras yang dimaksudkan untuk Sang Hamba Delaev. Namun tebasan yang sedemikian kuat itu termentahkan oleh munculnya suatu pudaran hitam yang menahan terjangan pedang Revanze tepat di hadapan si pria. Memaksa Revanze saling adu dorong dengan pria itu dalam terbang mereka yang sedemikian cepat menembus udara.
“Kau pikir tebasanmu ini cukup kuat?” cemooh si pria. Membuat kala itu Revanze menggeram kesal. Cepat sang Hamba Delaev menyibakkan lengan kanannya. Berujung dengan luapan energinya yang muncul serta menghempas raga Revanze beserta Invuriunya jauh ke samping. Membuat sejenak Revanze terpelanting tak terkendali sebelum terbang Sang Invuriu stabil. Membuatnya bergegas untuk kembali terbang melesat menuju Sang Hamba Delaev dengan ancang-ancang untuk kembali berupaya menebasnya. Lebih kuat.
“Yang kumaksud adalah bahwa tebasanku begitu kuat!...”
Bersambut pekik keras itu, cepat Revanze menghujamkan tebasannya kepada Sang Hamba Delaev yang begitu kuat hingga kala tebasan pedangnya menerjang pudaran hitam yang kala itu muncul dan melindungi Sang Hamba Delaev, sebuah dentuman laksana Guntur tercipta. Menggetarkan suatu luapan energi yang cukup kuat ke penjuru langit dalam adu dorong mereka yang kembali berlangsung.
“Memang terasa lebih kuat…” sahut si pria meski nada mencemooh masih lekat dalam ucapannya. Hingga kala adu dorong dalam laju terbang mereka belumlah usai, matanya menatap kepada hadirnya sosok Striverz yang terbang melesat menujunya dengan segenap tenaga yang terhimpun dalam kepalan tangannya. Membuat kala itu Sang Hamba Delaev tersenyum mendengar pekik keras Striverz. “Lemah… huh.”
Dikibaskan oleh Sang Hamba Delaev lengan kanannya. Membuat seketika itu suatu pudaran hitam muncul dan menyelubungi Revanze. Menyeret raga Revanze kemudian agar terhempas begitu kencang serta menerjang Striverz. Membuat keduanya terpelanting jauh dalam jeritan mereka. Terhempas begitu cepat menjauh dari Sang Hamba Delaev. Namun hal itu segera disambut dengan terbang cepat Revelzent menuju Sang Hamba Delaev. Melaju begitu cepat dengan segenap tenaganya yang tersalurkan oleh hujaman keras pedangnya kepada Sang Hamba Delaev. Namun hujaman itu seketika termentahkan oleh wujud pudaran hitam yang saling menahan bilah pedangnya tepat di hadapan Sang Hamba Delev. “Berharap tikamanmu cukup kuat?” cemooh si pria. “Bahkan seranganmu lebih lemah dari sahabatmu itu—“
“Persetan!” sergah Revelzent keras. Mulai mencoba untuk beradu dorong dengan pria itu dalam terbang mereka yang kian cepat.
“Kupikir apakah Sang Penjaga Bunga Hidup tidak salah memilih orang?... kenapa kalian begitu lemah?” olok Sang Hamba Delaev seraya menghempas raga raga Revelzent beserta Invuriunya yang kala itu terselubung pudaran hitam jauh ke belakangnya. Membuatnya segera menyadari hadirnya sosok Rafstorm dengan segenap ancamannya. “Sama saja…” dijulurkan olehnya lengan kanannya ke arah Rafstorm. Membuat seketika itu raga Revelzent beserta Invuriunya terhempas menuju Rafstorm melalui udara di atas kepalanya. Terpelanting tak terkendali dan deras menuju Rafstorm yang kala itu memicingkan mata.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Reve!” pekik Rafstorm seraya berdiri cepat pada punggung Invuriunya dalam laju cepatnya. Membuat kala Revelzent mampu mencerna ucapan Rafstorm segera menghempaskan dirinya dari Invuriu yang terus terhempas ke arah Rafstorm. Memberikan kesempatan bagi Rafstorm untuk melompat sedemikian cepat menuju Invuriu yang ditinggalkan Revelzent membiarkan Invuriu yang ia tinggalkan untuk terbang menyambut Revelzent.
Cepat Rafstorm memeluk leher Invuriu yang ditinggalkan Revelzent. Menstabilkan terbangnya serta dengan begitu cepat laksana petir terbang menuju Sang Hamba Delaev dengan segenap kekuatannya yang ia wakilkan pada hujaman keras pukulannya.
“Curang…”
Sekejap mata sebelum pukulan keras Rafstorm menerjang Hamba Delaev, wujud Dari Sang Hamba melebur menjadi pudaran-pudaran Eiden yang saling berputar merenggut masuk ke dalam raga Rafstorm. Memberikan luka terhadap Rafstorm tanpa terlihat. Saling Eidennya bergejolak dalam raga Rafstorm. Menyayat tubuhnya dalam bekas sayatan yang tak tertinggal. Memaksa untuk Rafstorm menjeritkan pedih yang menderanya dalam tubuhnya yang kini memudarkan wujud-wujud hitam.
“Rafstorm!” panggil Revelzent kala secara mengejutkan wujud Eiden dalam raga Rafstorm memaksa keluar. Membuat kala itu Rafstorm kian keras menjerit sebelum jatuh lemas pada Invuriunya. Namun keterkejutan Revelzent tak semata sampai di sana. Saat itulah secara sedemikian cepat wujud Eidennya saling bersatu tepat di hadapan Revelzent menampakkan wujud dari dia Sang Hamba Delaev.
“Terkejut?” tanya pria itu kala menatap pupil mata Revelzent seketika membesar. Sebelum dihantamkannya sebuah tendangan terhadap Revelzent. Membuat dengan deras Revelzent terpelanting jauh dalam jeritnya yang membahana. Terhempas tak terkendali menembus gumpalan awan yang berarak mendekat.(Dipotong)
“Jangan terlalu senang!”
Seketika mata Sang Hamba Delaev mampu menatap hadirnya sosok Revanze serta Striverz dari dua arah yang berbeda usai ia mendengar pekik itu. Menatap dengan tenang hadirnya dua sosok berlawanan arah yang saling menghimpun tenaga mereka.
“Lalu apa saat ini kalian senang?” tanya Sang Hamba sebelum seketika itu raganya melebur dalam wujud Eidennya. Saling berputar begitu cepat serta saling terhempas ke segala penjuru. Membuat seketika Revanze maupun Striverz terperangah sesaat sebelum sosok Eiden yang terhempas ke segala arah mampu menerjang raga keduanya. Merenggut paksa raga mereka untuk memberikan sakit yang telah diderita Revelzent maupun Rafstorm. Membuat sekejap mata raga keduanya terhempas terpelanting begitu jauh.
“Revanze, Striverz!”
Segera Rafstorm terbang melesat menghampiri Revanze membiarkan Revelzent terbang melesat menghampiri Striverz. Terbang begitu cepat menembus awan untuk memastikan keadaan sahabat mereka. Membiarkan kini wujud Eiden dari Sang Hamba Delaev berputar tiada henti nan jauh dari keempatnya.
“Kau baik?” tanya Revelzent seraya menghampiri Striverz.
“Kurasa demikian…” balas Striverz seraya kini menatap ke arah di mana Rafstorm dan Revanze berada.
“Kita ke sana!”
Menanggapi ucapan Revelzent, Striverz mengangguk. Saling terbang begitu cepat kemudian untuk menuju dua sahabat mereka yang jua terbang melesat ke arah mereka.
“Dia terlalu kuat… terlalu kuat untuk kita!” pekik Striverz dalam terbangnya. Lekat matanya menatap wujud Eiden yang terus berputar tiada henti.
“Itu karena kita belum menggunakan Kesucian kita!” balas Rafstorm kala mampu mendengar pekik itu sebelum lajunya terhenti untuk menyambut sahabatnya yang jua terhenti di hadapannya.
“Lebih buruk lagi… kita bahkan tak tahu cara menggunakan Kesucian…” sahut Revanze lemas. Matanya kini lekat menatap sosok Eiden yang kini saling berpadu membentuk sosok Sang Hamba Delaev.
Sesaat hening mendekap mereka. Memberikan kesempatan untuk keempatnya saling melempar tatapan kebencian terhadap Sang Hamba yang dengan tenangnya menerima tajamnya tatapan mereka. Membiarkan sesaat angin saling menderu dengan kencangnya menyibak jubah putih mereka. Sebelum secara mengejutkan sesuatu berkelebat di benak Revanze. Membuat seketika raut wajahnya berganti. “Kalian ingat ucapan Sang Aruah?” sela Revanze mengusaikan sunyi. Membuat seketika semua mata tertuju padanya.
“Maksudmu?”
“Kesucian kita akan cukup kuat untuk menghadapi Sang Hamba asalkan kita bersama… Kesucian kita akan terpancar bila kita berpadu untuk menyerangnya.”
Tajam Revanze melempar tatapan pada setiap sahabatnya. Menekankan harapan dari tatapannya itu.
“Lalu bagaimana caranya?” sela Striverz. Membalas tatapan tajam Revanze dengan tatapan penuh ketidakmengertiannya.
Sesaat mata Revanze beralih dari ketiga sahabatnya dan terpicing menatap Sang Hamba yang dengan tenang menanti mereka. “Revelzent!... eratkan genggamanmu terhadap pedangmu… jangan pernah melepasnya!... kita tebas Sang Hamba bersama. Setelahnya biarkan Rafstorm dan Striverz menghajarnya bila ia mampu menahan tebasan kita!” kian erat Revanze menggenggam pedangnya. Menjunjungnya kemudian tepat di hadapan wajahnya.
“Mengerti!” balas Revelzent seraya juga mengeratkan genggaman terhadap pedangnya. Sesaat ia berpaling menatap ke arah Rafstorm dan Striverz yang kala itu mengangguk yakin.
“Baiklah… kita mulai!”
Teriakan Revanze seketika membahana dalam matanya yang sedemikian menajam menunjukkan keyakinannya. Sebelum cepat laksana kilat, Revanze serta Revelzent terbang melesat menembus awan menuju Sang Hamba.
“Serang dari arah yang berlawanan!”
Revanze membentangkan pedangnya saraya terbang melesat ke kanan membiarkan Revelzent terbang melesat ke kiri. Saling keduanya terbang melesat menuju Sang Hamba yang kala itu menajamkan matanya. Menatap dua sosok berjubah putih yang kini terbang menujunya dari dua arah yang berlawanan. Menatap tajam ke arah Revanze sebelum mengalihkan tatapannya kepada Revelzent.
“Mungkin yang ini menarik!”
Sang Hamba menaikkan kedua lengannya tepat di hadapan wajahnya. Memejamkan matanya sesaat untuk merasakan luapan energi yang terhimpun oleh kedua Jubah Putih yang tiada henti melesat menujunya.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Reve!” pekik Revanze keras seraya kian menajamkan matanya meminta suatu keberhasilan dari apa yang kini mereka upayakan.
“Aku paham!” balas Revelzent keras. Menjunjung bilah pedangnya kemudian untuk memantapkan keyakinannya. Sebelum perlahan dalam lajunya yang begitu cepat itu ia mencoba berdiri pada punggung Invuriunya. Menahan terjangan angin yang begitu deras untuk terus berupaya berdiri. Membiarkan jubah putihnya berkelebat sedemikian cepat sebelum kini ia berteriak begitu keras dalam berdirinya. Mengibaskan pedangnya kemudian untuk segera melangkahkan kakinya dengan begitu cepat ke arah kepala Sang Invuriu yang kala itu segera mengibaskan kepalanya ke arah Sang Hamba beriring raungnya. Menghempas raga Revelzent sedemikian kencang ke arah Hamba Delaev dalam pedangnya yang terbentang menghimpun luapan tenaganya.
“Tunggu aku!”
Seketika usai teriakan itu Revanze menghempas raganya dari Sang Invuriu untuk membiarkan kala itu Invuriunya mencengkeram erat raganya serta terbang kian kencang sebelum akhirnya menghempas raga Revanze begitu kencang ke arah Sang Hamba. Terhempas begitu cepat menembus guncangan udara yang sedemikian membisingkan telinganya.
Sedemikian kencang kedua Jubah Putih saling terhempas menuju Sang Hamba Delaev dengan segenap luapan tenaga mereka yang tertahan dalam bilah pedang mereka. Terhempas seolah terbang melesat dalam teriakan mereka yang membahana sebelum secara cepat dikibaskanlah oleh keduanya luapan tenaga yang terbendung dalam bilah pedang mereka.
“Jangan berharap!”
Keras Sang Hamba meneriakkan kalimat itu seraya menciptakan perisai hitam yang kala itu berterjangan begitu keras dengan tebasan dari kedua pedang Sang Jubah Putih. Memaksa luapan energi dari kedua pedangnya yang menerjang perisai hitam tumpah dalam mahadahsyatnya ledakan menggelegar bagaikan Guntur yang membentangkan getaran kuatnya. Menghempas pula gerombolan awan yang semula berarak di seputar mereka dalam adu dorong yang terjadi oleh ketiganya
“Ternyata lebih kuat!” ucap Sang Hamba dalam upaya kerasnya membendung luapan energi kedua Jubah Putih yang terasa kian kuat. Lebih kuat lagi kala keduanya berteriak hingga perlahan kedua tangannya yang semula terbentang kini mulai menekuk.
“Untuk Vlateriium… kuhabisi kau!”
Dalam adu dorong yang kian sengit itu teriakan Revanze membahana. Memberikan sebuah tenaga tambahan bagi kedua Jubah Putih untuk kian memberontak mencoba menembus pertahanan hitam Sang Hamba Delaev. Menimbulkan gejolak energi kian terhempas dari bilah pedang mereka yang kian mendorong pertahanan Hamba Delaev yang kini mulai tampak tertekan.
“Untuk Vlateriium… matilah!”
Seketika oleh pekik itu Sang Hamba Terperangah. Teriakan itu bukan berasal dari Revanze terlebih Revelzent. Memaksa matanya untuk tertampar rasa terkejut kala secara cepat sosok Rafstorm terbang melesat ke arahnya nan jauh di hadapannya dengan segenap luapan tenaganya. “Kurang ajar!” umpatnya kala ditatapnya Rafstorm menghempas raganya dari Sang Invuriu dan melesat ke arahnya dengan membawa suatu bendungan energi yang segera dilepasnya dalam sebuah hujaman pukulannya tertuju kepada Sang Hamba yang kini berteriak keras untuk mendatangkan luapan pudaran hitam yang kala itu segera menahan luapan tenaga Rafstorm tepat sebelum pukulan Rafstorm menerjang raganya. Membuat suatu ledakan kembali menggelegar.
“Kau takkan lagi bertahan Hamba!” ucap Rafstorm dalam keikutsertaannya terhadap adu dorong yang kian sengit. Memaksa Sang Hamba untuk dengan keras menjerit menahan luapan mahadahsyat energi yang menekannya.
“Kau pikir hanya sampai di sana?”
Seketika pekik itu membahana di penjuru langit. Membuat Sang Hamba menatap sosok Striverz yang dengan deras terhempas dari Invuriunya dengan segenap ancaman yang segera dilepasnya dalam sebuah pukulan dahsyat yang menerjang pudaran hitam tepat di sebelah ancaman Rafstorm. Memaksa sebuah ledakan kembali menggelegar berdampingan dengan jerit ketidakberdayaan Sang Hamba.
“Bersama, kami tak tertandingi!” pekik Rafstorm sembari memperkuat berontaknya memaksa untuk menembus pelindung Sang Hamba.
“Bersama, kami luar biasa…” sambung Revanze melanjutkan pekik Rafstorm seraya kian menekankan ancamannya.
“Bersama, kami akan melindungi Vlateriium!” pekik Striverz untuk kian menambah tenaga bagi mereka menekan Sang Hamba yang kini nampak begitu tak berdaya. Menyisakan kini Ravelzent yang membisu dalam tekanan yang ia lancarkan.
“Bersama… kami ciptakan KESUCIAN!”
Untuk kali pertamanya Revelzent meneriakkan kalimat pemberi semangatnya. Memicu kian kuatnya tekanan yang ia ancamkan. Membuat kini Sang Hamba kian terpojok menahan luapan tenaga yang memberontaknya. Sebelum secara mengejutkan suatu ledakan cahaya yang mahadahsyat terangnya tercipta dari keempat Jubah Putih. Terpancar begitu terang sebelum pancar cahaya peraknya terbantang membahana ke penjuru langit dalam sebuah gelegar yang terdengar begitu keras. Membuat jeritan Sang Hamba tenggelam dalam gelegar mahadahsyat itu. Sebelum secara cepat raga Sang Hamba terhempas terpelanting jauh dalam bentang cahaya terang yang kian meluas. Terhempas begitu cepat dalam jeritnya yang membahana dalam gelegar yang perlahan sirna seiring kian sirnanya pula cahaya. Menyisakan kini hanya ada empat yang bercahaya terang. Empat yang kini terbang menunggangi Invuriu mereka untuk melanjutkan serangan terhadap Sang Hamba.
“Atas nama Vlateriium… kembalilah kau dalam kegelapanmu!” pekik Revanze begitu keras dalam semangatnya yang berkobar sedemikian besar. Melesat lebih cepat menuju Hamba Delaev memimpin ketiga sahabatnya dengan bentang pedangnya yang begitu terang oleh kemilau cahaya yang terpancar dari bilah pedangnya. Terbang lebih cepat lagi untuk segera menerjangkan Kesuciannya.
“Jangan banyak mulut!” balas Hamba Delaev seraya berupaya menjulurkan lengannya ke depan. Berujung pada saling munculnya pudaran hitam yang kala itu dengan deras menahan terjangan dari bilah pedang Revanze. Membuat kala itu Kesucian Revanze memberontak keluar hingga dalam terjangan itu terpancarlah suatu bentang cahaya kemilau yang seketika menghempaskan raga Sang Hamba jauh terpelanting ke belakang. Menyusulnya adalah Striverz yang terbang melesat menuju punggung Hamba Delaev. Begitu cepat ia melesat hingga hanya beberapa jeda ia telah bersiap menghujamkan pukulan kerasnya terhadap Sang Hamba. Membuat seketika itu Sang Hamba yang mampu menyadarinya segera berpaling menghadap Striverz sebelum cepat raganya melebur dalam Eiden yang kini berupaya merenggut masuk ke dalam raga Striverz.
“Jangan lagi berharap!”
Keras Striverz membahanakan teriakan itu seraya menghentakkan luapan Kesucian dari dalam raganya yang kala itu mampu menghempas wujud-wujud Eiden sesaat sebelum wujud Eidennya merasuk paksa ke dalam raganya. Membuat seketika itu dengan cepat sosok Eidennya saling berputar dan berpadu membentuk raga Sang Hamba tepat di balik punggung Striverz. Sadar oleh hal itu, cepat Striverz bersalto ke belakang. Cukup tinggi untuk melompati raga Sang Hamba sebelum secara cepat, pukulan keras yang sebelumnya gagal ia lancarkan kini dengan telak menghantam punggung Sang Hamba. Meluapkan Kesuciannya yang tak lagi terbendung hingga menghempas raga Sang Hamba begitu deras ke depan di mana di sana Revelzent telah menantinya dengan sebuah tebasannya yang meski Sang Hamba mampu menepisnya, hal itu tetap membuatnya terhempas begitu cepat ke bawah.
“Jangan terlalu senang!”
Sekejap saat Sang Hamba terpelanting deras menembus uraian awan tipis ia terhenti. Berteriak kemudian untuk segera terbang melesat menuju Revelzent yang kala itu juga terbang melesat ke arahnya. “Matilah!”
Seketika Sang Hamba terhenti. Menjulurkan lengan kanannya kemudian ke arah Revelzent yang kian dekat. Memicu saling berhembusnya suatu pudaran hitam dari lengannya ke arah Revelzent. Berhembus tiada henti hingga oleh luapan energinya yang begitu kuat, uraian awan yang ada di seputarnya perlahan menjauh.
“Takkan lagi berhasil!”
Menyambut lesatan pudaran hitam tersebut, Revelzent menghujamkan tebasan pedangnya terhadap pudaran hitamnya. Berujung pada saling meleburnya hembusan pudaran hitam yang mampu ia tebas. Menebasnya berkali-kali dalam lajunya yang tak terhenti menuju Sang Hamba. Memaksa Sang Hamba untuk kian memperkuat ancamannya hingga pudaran-pudaran hitam yang tiada henti ia hembuskan kini bertambah pekat. Terhempas lebih deras ke arah Revelzent yang kian dekat dan hal itu memaksa setiap tebasan dalam terbang Revanze kian kuat. Meleburkan setiap pudaran hitam yang berhasil ia tebas.
“Untuk Vlateriium!” pekik Revelzent seraya menghujamkan tikamannya terhadap pudaran hitam yang nyaris menerjangnya. Membuat seketika itu wujud hitam yang ia tikam melebur dan berpendar di seputarnya. Dan kala itulah ia melompat dari Invuriunya yang segera disambut oleh Sang Invuriu yang menghempas raga Revelzent dengan kepalanya ke arah Sang Hamba. Melesat bagai mata panah dalam upayanya terus menebas seluruh pudaran hitam yang berhembus ke arahnya. Hingga kala itulah raga Revelzent berada tepat di atas Sang Hamba yang membuatnya segera melancarkan tebasannya teruntuk Hamba Delaev. Memaksa Sang Hamba untuk segera terbang ke belakang menghindari tebasan yang kala itu menyayat jubah hitamnya.
“Kurang ajar!”
Sang Hamba Delaev menjulurkan tangan kanannya ke arah Revelzent yang kala itu jatuh deras ke bawah. Namun sebelum ia mampu melancarkan serangannya, cepat ia menyadari datangnya ancaman dari Rafstormn yang kala itu terbang melesat ke arahnya. Memaksanya untuk segera menepis serangan itu. Membiarkan Rafstorm yang gagal menghantamnya terbang melesat ke belakangnya namun hal itu segera disambut oleh ancaman Striverz yang jua disusul oleh Revanze, kemudian oleh Revelzent secara bergantian. Membuat kala itu Sang Hamba harus dengan cermat menepis setiap ancaman yang bergantian menderanya.
“Pulanglah kepada tuanmu!” teriak Striverz sembari berupaya menerjangkan pukulannya terhadap Sang Hamba. Namun kala itulah dengan cakap Hamba Delaev mencengkeram pukulan itu. Menekan kepalan tangan Striverz dengan cengkeraman kuatnya yang bahkan memudarkan warna hitamnya. Menahannya sesaat untuk segera ia kibaskan hingga menghempas Striverz menjauhinya.
“Kalian pikir dapat mengalahkanku sedemikian mudahnya?”
Seketika luapan energi hitam dari raga Sang Hamba terhempas dari tubuhnya. Menghempas dengan cepat Revanze serta Rafstorm. Terhempas begitu jauh terpelanting menembus tekanan udara dalam ketinggian itu. Menyisakan kini Revelzent yang kala itu segera menerjangkan tebasan kuatnya terhadap Sang Hamba. Namun tebasan yang sedemikian kuat itu seketika terebendung oleh perisai hitam yang tercipta di hadapan Sang Hamba. Membendung ancaman Revelzent yang kala itu berupaya meniadakan perisai tersebut. Namun seolah enggan meladeni adu dorong itu, cepat Sang Hamba menghempaskan luapan jahatnya yang kala itu menghempas pula Revelzent beserta Invuriunya jauh ke atas. Menyusulnya adalah meleburnya Sang Hamba dalam Eiden yang kala itu berterbangan begitu cepat ke arah terpelantingnya Revelzent serta sesaat menyelubung raga Revelzent sebelum bersatulah membentuk Sang Hamba tepat di balik punggung Revelzent. Karenanya cepat Revelzent berpaling ke arah Sang Hamba. Namun seketika itu pula ia terpaksa harus dengan cepat menyambut hantaman keras dari Hamba Delaev dengan tebasan yang ia lancarkan yang kala itu segera berterjangan dengan pukulan keras Hamba Delaev. Dan hal itu seketika membuatnya terhempas terpelanting jatuh ke bawah begitu deras. Jatuh tak terkendali di antara membahanannya teriakan Sang Hamba yang kala itu membentangkan kedua lengannya.
“Matilah kalian!” pekik Hamba Delaev seraya menghempaskan suatu luapan tenaganya yang kala itu memicu terhadap saling bergulungnya gumpalan awan di seputarnya. Bergulir dengan gemuruh petirnya yang memberontak ingin terlepas dari awan tersebut. Dan kala itulah Sang Hamba menjulurkan lengannya tertuju kepada Revelzent yang kian jauh terpelanting ke bawah. Memicu agar gumpalan awan yang kala itu menghitam saling bergulung begitu cepat menyusul Revelzent. Bergemuruh kemudian menunjukkan adanya luapan petir dalam wujud kelabunya. Sebelum secara cepat wujud kelabunya awan yang saling bergulung menuju Revelzent mulai nampak saling berpudar di antara terlihatnya suatu sosok yang terbang meliuk menuju Revelzent. Sosoknya terlihat lebih jelas lagi kala secara perlahan pudaran awan itu mulai saling berpadu. Menunjukkan secara cukup jelas sesosok ular naga kelabu yang terbang meliuk dalam raunganya ke arah Revelzent yang mulai berupaya menstabilkan terbangnya.
“Kurang ajar!”
Revelzent menjunjung bilah pedang bercahayanya tepat di hadapan matanya yang kala itu terpejam erat. Mencoba mendapatkan suatu asa di antara celah konsentrasinya tersebut. Namun seketika konsentrasinya pecah… terusik oleh raungan Sang naga yang kala itu berupaya menerkamnya. Oleh hal itu cepat Revelzent terbang berpaling menghindari terkaman Sang naga. Terbang menjauhi Sang naga kemudian dalam konsentrasi yang ia lanjutkan. Mencoba untuk mengabaikan wujud ular naga yang kini terbang meliuk menyusulnya.
“Untuk Vlateriium!”
Seketika dalam matanya yang terpejam erat, sebuah semangat membara yang mendadak muncul dalam nuraninya mampu meningkatkan gejolak Kesuciannya. Memaksanya untuk membuka kedua matanya dan segera ia dapati cahaya dalam bilah pedang di hadapan matanya kian benderang. Karenanya cepat ia terhenti. Berpaling kemudian menghadap sosok ular kelabu yang kian mendekatinya. Cepat kemudian ia terbang menyambut Sang naga dengan segenap Kesucian yang menekan bilah pedangnya. Melesat begitu cepat seraya menjunjung pedangnya ke atas untuk mengambil ancang-ancang menebas Sang naga yang kala itu meraung keras.
“Sirnalah dalam ancamanku!”
Sekejap bilah pedangnya yang terjunjung menahan luapan Kesucian itu membentangkan cahaya kemilaunya. Begitu terang serta diiringi oleh getaran energi yang muncul dari bilahnya yang kini sedemikian terang. Bersambut dengan Revelzent yang mengibaskan pedangnya tertuju pada Sang Ular. Mengujung terhadap terciptanya suatu sabit cahaya dari jejak lengkung kibasan Revelzent. Bercahaya sedemikian benderang sebelum sabit cahayanya terhempas laksana kilat menerjang Sang Ular. Meleburkan wujud ularnya menjadi pudaran-pudaran hitam yang segera sirna oleh terangnya cahaya sabit. Deras luapan Kesucian dalam wujud bentang cahaya sabit tersebut terhempas menuju Sang Hamba yang kala itu terperangah. Terhempas seolah terbang dalam ancaman besar yang dibawanya. Memaksa kala itu Sang Hamba menjerit keras seraya menjulurkan lengannya tertuju pada bentang cahaya sabit yang kian deras menujunya. Berakhir dengan munculnya luapan jahat yang seketika berterjangan keras dengan luapan cahaya Kesucian. Menimbulkan suatu ledakan menggelegar dalam adu dorong yang kini berlangsung.
Tiada henti Kesuciannya memberontak hingga sesekali mampu menggoyahkan Sang Hamba Delaev yang telah tampak sedemikian tertekan.
“O… oh… kau tahu apa yang harus kita lakukan, Striverz!” ucap Rafstorm seraya terbang melengkung sedemikian cepat menuju bentang cahaya Kesucian yang tiada henti beradu dengan Sang Hamba. Terbang lebih cepat menuju bentang cahaya dengan membawa suatu tenaga Kesucian yang segera ia hantamkan terhadap bentang cahayanya. Memicu terhadap kian terangnya cahaya sabit yang memberontak Hamba Delaev. Saling berhadapan dengan Hamba Delaev hanya berbataskan oleh cahaya sabit yang kian terang. Menyusulnya adalah Striverz yang terbang menuju bentang cahaya dengan luapan Kesucian yang juga segera ia terjangkan teruntuk cahaya sabit di atas Rafstorm. Memberikan Kesuciannya terhadap bentang cahaya yang kian terang. Memaksa untuk Sang Hamba menjerit keras, mencoba untuk bertahan dari bencana yang akan terjadi bila Kesucian yang sedemikian menyilaukan itu menerjangnya.
Dan sadar apa yang harus ia lakukan, cepat Revanze terbang melesat membumbung tinggi nan jauh ke atas Sang Hamba. Membiarkan guncangan energi dari adu kekuatan di bawahnya saling menyibak jubahnya begitu kencang. Lalu seolah menangkap maksud dari Revanze, cepat Revelzent terbang melesat menuju adu kekuatan yang tengah berlangsung. Terbang begitu kencang dan lebih kencang lagi untuk segera menebaskan bilah pedangnya terhadap luapan cahaya Kesucian yang saling memberontak Sang Hamba. Berujung pada tersalurnya gejolak Kesucian dari pedangnya kepada bentang cahaya. Membuat guncangan energinya yang tercipta sedemikian menekan mereka terutama menekan Sang Hamba.
“Sial!...” umpat Sang Hamba di antara ketidakberdayaannya yang menahan berontak dari ketiga Jubah Putih di hadapannya. Memaksanya untuk kian menekankan kegelapan dalam tubuhnya terhadap perisai hitamnya. Mencurahkan seluruh energinya yang tersisa untuk mengambil alih bentang cahaya itu yang segera dihempasnya begitu jauh ke atasnya. Membuat bentang cahayanya terpancar melesat menjauhinya. Namun satu yang dilupakan olehnya. Yaitu bahwa di atas sana Revanze telah bersiap menyambut bentang cahaya Kesucian yang terhempas begitu deras. Baru ia sadari ketika ditatapnya ketiga Jubah Putih lain saling berterbangan menjauh. Memaksanya untuk berpaling ke atas dan seketika itu mata hitam pekatnya seolah ditampar oleh rasa keterkejutannya.
“Demi Vlateriium… kumanfaatkan Kesucian ini!”
Dalam membahananya teriakan itu, suatu luapan Kesucian yang telah terbendung dalam bilah pedang Revanze dihujamnya dalam sebuah tebasan yang kala itu dengan deras menerjang bentang Kesucian yang terhempas oleh Sang Hamba. Berakhir dengan saling bergejolaknya kedua Kesucian tersebut dalam terbentangnya luapan cahaya ke segala penjuru. Terpancar begitu menyilaukan hingga seolah mengalahkan terangnya surya. Berujung pula pada terpancarnya suatu pilar cahaya yang sedemikian terang dari pusat bentang cahaya dan tertuju begitu cepat kepada Sang Hamba yang kini memicingkan matanya. Merasakan suatu luapan energi mahadahsyat dari pilar cahaya yang kian dekat itu. Jubah hitam penuh sayatannya itu bahkan berkelebat begitu kencangnya oleh tekanan pilar cahaya yang melesat kepadanya.
“Biadab!”
Cepat Sang Hamba menjulurkan lengannya menyambut terjangan pancar cahayanya hingga kala keduanya saling berterjangan, suatu getaran dahsyat berupa perpaduan gelap dan terang membentang dalam kerasnya gelegar yang bahkan terdengar lebih keras dari Guntur. Memicu terhadap kembali berlangsungnya adu kekuatan antara cahaya dan kegelapan. Berselisih begitu sengit di antara teriakan keduanya. Di antara pula tekanan energi yang sedemikian menghimpit keduanya.
“Matilah dalam gelapmu!”
Keras Revanze meneriakan kaliamatnya. Berupaya memunculkan suatu asa tambahan dari teriakannya itu. Dan asa itu pun muncul. Seketika luapan Kesuciannya yang terjulur bagai pilar yang saling berselisih dengan Hamba Delaev kian terang. Membludakkan bentang cahaya yang tak lagi ditahannya. Hingga kala itu pula suatu ledakan dahsyat tercipta. Menggelegar sedemikian kerasnya bagai amukan setan dalam kobaran-kobaran api yang terbentang dari ledakannya. Menghempas pula Sang Hamba begitu deras ke bawah. Terpelanting tak terkendali beriring jerit pilunya. Namun semua itu tak berakhir di sana. Saat itulah, kala dengan deras Hamba Delaev jatuh terpelanting tak terkendali, dari celah kobaran api sisa-sisa mahadahsyatnya ledakan, tiga titik cahaya muncul. Terbang melesat ke arahnya sebelum tiga titik cahaya itu terlihat jelas dan merupakan tiga Jubah Putih selain Revanze. Saling terbang begitu cepat membawa Kesucian mereka yang segera dilepas teruntuk Sang Hamba yang hanya dapat berkelit mungkin. Diawali oleh Striverz yang melesatkan hantaman kerasnya yang dengan telak menerjang Sang Hamba. Membuat kala itu bendungan Kesuciannya tumpah dalam getaran kuat yang terbentang beriring dengan jerit pilu Sang Hamba. Membuat seketika itu Sang Hamba kian deras terpelanting ke bawah. Dan memanfaatkan hal itu, cepat Rafstorm terbang melengkung ke arah Sang Hamba dan segera ia hempaskan hantaman Kesuciannya terhadap terpelantingnya Sang Hamba. Memicu dari telaknya hantaman, sebuah bentang kesuciannya tercipta serta menghempas Sang Hamba nan jauh ke samping sana. Hal itu segera membuat Revelzent terbang begitu cepat secara membusur berupaya mendapati punggung Sang Hamba. Terbang lebih cepat lagi dalam pedang bercahayanya yang terbentang. Hingga cepat kini Revelzent berada tepat pada jalur terpelantingnya Sang Hamba.
“Untuk Vlateriium!”
Kembali Revelzent menjunjung bilah pedangnya tepat di hadapan kedua matanya yang kini menajam. Sebelum cepat beriring teriaknya, ia melesat begitu kencang menyambut terpelantingnya Sang Hamba. Membentangkan bilah pedangnya kemudian untuk mengambil suatu ancang-ancang bersambut dengan terlepasnya teriakannya yang sedemikian keras. Berteriak lebih keras lagi kala dalam lajunya yang tak terhenti ia menyayatkan bilah pedang bercahayanya itu terhadap raga Sang Hamba yang kini terhempas berlawanan arah darinya. Seketika teriakan Revelzent beradu dengan jerit pilu Sang Hamba yang tiada henti terhempas. Hingga saat itulah Revelzent terhenti serta segera berpaling menatap sosok Hamba Delaev yang kini jua terhenti dalam rintihnya.
“Kurang ajar!” teriak Sang Hamba begitu keras dalam upayanya berpaling menatap Revelzent dengan segenap amarahnya yang kala itu tersalurkan dalam jeritan kerasnya. Membahana di penjuru langit sebelum secara cepat wujudnya melebur dalam Eiden. Begitu pekat serta dengan deras berterbangan ke arah Revelzent dalam raungan mengerikan yang kini terdengar di antara berterbangannya wujud Eiden begitu cepat ke arah Revelzent yang kala itu pun membalas raungan Sang Eiden dengan teriakannya.
“VLATERIIUM!”
Pekik keras itu membahana dalam sebuah tebasan pedang yang dilancarkan Revelzent terhadap wujud Eidennya. Memicu sebuah bentang Kesucian terpancar begitu terang serta membelah wujud Eidennya. Menghempas wujud Eidennya yang kembali berpadu membentuk Sang Hamba Delaev ke belakang dalam rontaan pilunya. Dan kala itulah ketiga Jubah Putih lain saling berterbangan menuju Sang Hamba yang kini terhenti pada tempatnya.
“Kurang ajar!”ucap Sang Hamba nyaris berbisik di antara rintihnya. Darah hitamnya mengucur deras dari luka sayatan pedang Revelzent yang mampu mengoyak perutnya. Namun kini tak ada waktu baginya untuk memperhatikan luka itu. Matanya kini lekat menatap saling berdatangannya para Jubah Putih dengan segenap Kesucian mereka. Berterbangan begitu kencang menembus awan ke arahnya sebelum kini keempatnya terhenti di empat penjuru berbeda melingkari Sang Hamba.
“Kami habisi kau!”
Seolah tak memberikan jeda, segera setelah teriakan Revanze tersebut masing-masing dari keempatnya saling melompat dari Invuriu mereka menuju terdiamnya Sang Hamba. Saling melompat menuju Invuriu lain dengan serangan-serangan teruntuk Sang Hamba Delaev yang sebisa mungkin berupaya menepis setiap serangan yang datang secara bertubi tiada berakhir. Begitu kencang keempatnya saling melompat di antara membahananya teriakan mereka yang berpadu dengan jerit ronta Sang Hamba
Hingga kala hal itu telah berlangsung sedemikian lama, cepat keempatnya menerjangkan ancaman mereka. Berujung pada Sang Hamba yang menjerit pilu menahan siksaan itu. Namun semuanya tak semata itu berakhir. Cepat keempat Jubah Putih terhempas dan berdiri pada punggung tiap-tiap Invuriu yang kala itu meraung keras. Berakhir pada teriakan keempat Jubah Putih untuk melakukan serangan terakhir. Menyambutnya adalah saling meraungnya keempat Invuriu. Mengibaskan kemudian ujung ekor berapi mereka tepat ke hadapan rahang mereka yang kala itu menyemburkan suatu luapan tenaganya. Berujung pada saling berkobarnya mahadahsyat api yang seolah disemburkan dari keempat Invuriu dari empat penjuru berbeda teruntuk satu tujuan. Berkobar sedemikian membara dan seketika meronakan awan-awan putih di seputarnya. Maka menyambut datangnya mahadahsyat api, Sang Hamba menjeritkan upaya terakhirnya dalam tangannya yang terbentang. Berujung pada munculnya dari dalam raganya suatu luapan hitam yang kala itu segera membungkusnya. Menciptakan sebuah perisai hitam untuk menahan amukan gelombang api yang saling bergulung menerjangnya. Berkobar lebih dahsyat lagi hingga teriakan mereka semua tenggelam dalam mahadahsyatnya api yang tiada henti menerjang pelindung terakhir Sang Hamba. Membuat seketika tempat itu sedemikian membara. Memberikan nuansa senja pada waktu yang sebenarnya masih disebut pagi. Membuat mahadasyatnya luapan api membenamkan wujud Hamba Delaev dalam amukannya. Membuat mahadahsyatnya Kesucian para Invuriu berubah layaknya curahan Neraka yang dihujamkan teruntuk seorang hamba dari Sang Hamba Neraka. Membuat tempat itu sedemikian membara. Sedemikian membaranya hingga sinar menatari seolah terkalahkan.
Perlahan di antara mahadahsyat curahan Neraka yang dipinjam oleh para Invuriu, Rafstorm berupaya berdiri pada punggung Invuriunya. Menahan segala macam tenaga dahsyat yang menekan raganya. Terus berupaya berdiri dalam jubah putihnya yang berkelebat begitu cepat. Dalam jubah putihnya yang kini justru berwarna merah oleh api. Hingga di antara berdirinya, di antara pula matanya yang terpicing oleh mahadahsyatnya lautan api yang memenuhi matanya, ia memalingkan kepalanya. Berupaya menemukan setidaknya satu dari ketiga sahabatnya yang terhalau oleh gelombang api yang sedemikian dahsyat. Hingga hanya tampak begitu samar, di antara celah kobaran api, ditemukannya dua sosok sahabatnya. Striverz dan Revelzent yang mungkin juga tengah mencari keberadaannya. Sedangkan Revanze yang berada pada sudut yang berlawanan dengannya tak mampu ia tatap keberadaannya.
“Kita habisi dia sekarang!” teriak Revelzent begitu keras. Mungkin berniat dengan kerasnya teriakan yang ia lontarkan, ketiga sahabatnya mampu dengan jelas mendengarnya. Namun teriakannya tak cukup keras di antara amukan curahan Neraka itu hingga teriakannya hanya sayup-sayup terdengar.
“Berikan Kesucian kita untuk mematahkan perisai terakhir Sang Hamba!”
Seketika itu Revanze menjunjung pedangnya. Berteriak kemudian untuk mencurahkan suatu cahaya benderang dari raganya. Maka mengikuti hal itu, ketiga Jubah Putih lain pun meneriakkan curahan Kesucian mereka. Berakhir dengan terhadap saling terpancarnya suatu bentang cahaya begitu terang hingga kini sinar surya benar-benar terkalahkan.
Cahaya Kesucian mereka kian benderang. Membentang begitu menyilaukan untuk sesaat tertahan pada tubuh keempatnya, hingga kala itulah teriakan pengobar semangat dari keempatnya membahana. Sedikit lebih keras dari sebelumnya dan hal tersebut berujung terhadap tersalurkannya benderang cahaya dari keempatnya merasuk mengalir ke dalam raga para Invuriu. Membuat raga para Invuriu seketika bercahaya semu. Terbendung dalam raga mereka dan terlepas dalam teriakan keras para Invuriu. Mengakibatkan suatu gejolak energi maha tinggi tercurahkan dan berpadu terhadap curahan Jahanam hingga kian mendahsyatkan gumpalan api berkali-kali lipat dari sebelumnya yang kala itu terhempas berkobar begitu dahsyat kepada Sang Hamba. Membuat kala keempat dari mahadahsyatnya lautan api yang berkali-kali lipat lebih dahsyat saling berterjangan, terciptalah suatu amukan Setan yang tercurah dalam ledakan dahsyat yang menggemparkan langit. Membentangkan suatu ledakan menggelegar yang jua oleh ledakan mahadahsyatnya mampu menghempas keempat Fantasy begitu jauh terpelanting tak terkendali ke bawah dalam suara gelegar dan luapan api yang berkali lipat dari sebelumnya yang jua telah berkali-kali lipat dari curahan api sebelumnya. Ledakannya begitu dahsyat bagaikan ledakan nuklir yang paling dahsyat meski oleh ledakannya tak menimbulkan radioaktif yang saling terhempas ke penjuru Vlateriium. Namun bentang apinya yang tercipta bersambut ledakan cukup menipu mata bahwa kala itu belumlah senja.
Deras Rafstorm terpelanting tak terkendali ke bawah. Dalam matanya yang masih setengah sadar hanya ada warna senja yang tercipta oleh api. Dalam telinganya yang terdengar hanyalah gelegar Sang Penguasa Jahanam yang tiada henti membahana memekakkan telinga. Terhempas Rafstorm begitu cepat menjauhi ledakan dahsyat yang tiada henti membahana. Terpelanting begitu deras dan tak lagi ia rasakan ia berada pada punggung Invuriunya. Atau lebih parah dari itu. Tak ada lagi rasa yang mampu dengan jelas ia pahami kala itu. Hingga seketika suara selain ledakan dahsyat itu mampu tertangkap oleh telinganya. Suara yang tercipta oleh punggungnya yang begitu deras membentur suatu permukaan yang begitu kasar sebelum cepat kegelapan menyelimuti matanya. Mengabaikan segala sesuatu yang kini tengah terjadi di seputarnya.
***
Di antara terik matahari, di antara debur ombak yang menerjang pantai, sesesorang yang tampak jatuh tersungkur di antara wilayah pasir pantai yang mampu terjamah oleh laut, perlahan berusaha untuk bangkit. Sedemikian tertatih hingga oleh tubuhnya yang begitu lemah, kala angin laut mampu mengutus ombaknya, seseorang itu kembali terjatuh dalam arus ombak. Membuat gaun putihnya kini sedemikian basah.
Perlahan gadis itu kembali berupaya berdiri. Menatap penuh ketidakmengertian di sekitar tempat yang sunyi sepi itu dengan mata birunya. Hanya ada hamparan pasir putih yang menghampar bila ia menoleh ke seputarnya. Namun jauh di ujung garis pantai sana mampu ia tatap hamparan bebatuan karang besar yang begitu gagahnya memecah debur ombak. Dan kala ia menatap jauh ke atas, hanya ada langit suram yang seolah siap menangis. Hingga tatapan ketidak mengertiannya itu sekejap sirna tergantikan oleh tatapan gusarnya kala mampu ia dapati sebagian suramnya awan di atas sana saling berpudar dan berterbangan begitu deras ke bawah menujunya. Berterbangan lebih cepat lagi kala wujudnya seketika saling berpadu di udara dan memunculkan sesosok berjubah hitam yang kala itu terhenti di udara menatapnya.
“Sudah lelah berkejaran denganku?” hardik dia yang terhenti di udara penuh keangkuhan. Seketika angin laut berhembus kencang. Sedemikian kencang hingga menyibak jubah hitam dari dia yang tak lain adalah satu di antara Hamba Delaev. “Jadi apakah kau bersedia menyerahkan Bunga Suci Kehidupan saat ini, Yhi-yhi?” sambungnya serta menatap tajam Yhi-yhi yang kala itu mulai tampak gusar.
“Jangan berharap!”
Seketika oleh teriakan Yhi-yhi itu tubuh dari Sang Hamba melebur dalam Eidennya yang saling berterbangan menuju Yhi-yhi dengan segenap kegelapannya. Memaksa agar kala itu Yhi-yhi berpaling untuk segera berlari menyusuri garis pantai begitu cepat. Lebih cepat lagi kala wujud-wujud Eiden saling berterbangan menyusuri garis pantai tepat di belakang Yhi-yhi. Menjeritkan ancaman-ancaman jahatnya dalam terbangnya yang kian cepat.
“Maka matilah!”
Bisikan mengerikan itu terdengar oleh Yhi-yhi dari arah wujud Eiden yang kian cepat menyusulnya. Memaksanya untuk berlari lebih cepat menembus datangnya Sang ombak. Matanya menajam ke depan. Terus berlari dan samasekali tak berniat menoleh ke belakang. Namun kala itulah sosok-sosok Eidennya saling menerjang menyusup di antara pasir. Terus mengejar Yhi-yhi di antara pasir-pasir yang ia terjang hingga mampu mengehmpaskan pasir-pasir basah ke segala arah. Kian kencang mengejar Yhi-yhi dalam lajunya yang tiada henti menerjang pasir. Meninggalkan jejak paritnya yang cukup luas dan dalam. Dan kala itulah Yhi-yhi bersedia menoleh ke belakang. Begitu tercengang kala menatap sosok yang mengejarnya adalah pasir-pasir yang terhempas menyingkir begitu besar. Lebih tercengang lagi kala dengan cepat wujud Eidennya bergerak lebih cepat membusur ke arah perairan dan mengguncangkan airnya yang kala itu terhempas menerjang raga Yhi-yhi. Tak sampai di sana, saat itu pula wujud Eidennya saling berputar mengitari terjatuhnya Yhi-yhi di antara luapan air dan hal itu membuat luapan airnya saling berputar teraduk dalam lingkaran Eiden yang jua tiada henti berputar. Mengguncang raga Yhi-yhi yang terbenam di antara arus putaran air. Sedemikian lama hingga pada akhirnya sosok Eidennya menghempas segalanya termasuk Yhi-yhi. Menghempas Yhi-yhi sedemikian jauh hingga terpelanting membentur hamparan karang di belakangnya. Dan seolah tak mengizinkan untuk Yhi-yhi bernafas, segera wujud Eidennya berpadu membentuk Sang Hamba tepat di hadapan Yhi-yhi dan segera mencengkeram erat lehernya. Memaksa Yhi-yhi untuk melakukan perlawanan tak berarti dalam kekosongan yang mulai menjamah kantung paru-parunya.
“Saatnya kau bilang iya!” ucap Sang Hamba seraya kian mencekik tenggorokan Yhi-yhi. Kian pula ia himpitkan Yhi-yhi terhadap karang di balik bahunya.
Dan dengan segenap upayanya yang tersisa, menahan sakit yang teramat sangat pada paru-parunya, sebuah kata mampu terucap dari mulut Yhi-yhi. “Tidak!”
Mendengar tolakan itu Sang Hamba geram. Kian ia cengkeram leher Yhi-yhi untuk mungkin mematahkannya. “Keras kepala!” namun alih-alih untuk mencengkeramnya lebih kuat, justru ia hempas tubuh Yhi-yhi hingga terpelanting dan terjatuh di antara karang. Membuat kala itu dengan segera Yhi-yhi memburu udara sedemikian banyak untuk mengisi rasa hampa pada paru-parunya.
“Sial!”
Perlahan Yhi-yhi berupaya bangkit dengan tertatih. Berupaya menatap ke sekeliling yang hanya ada bongkah-bongkah karang terjal. Hingga kala itu pula sekejap sosok-sosok Eiden saling bermunculan dan berpadu tepat di hadapannya. Membuat seketika itu Yhi-yhi mengambil langkah mundur.
“Tahukah kau bahwa kau begitu membosankan?” olok Sang Hamba seraya mengibaskan jubah hitamnya teruntuk menghempaskan luapan jahatnya yang dengan deras menerjang Yhi-yhi. Menghempas raganya hingga kembali terpelanting ke belakang. Dan secepat itu pula raga dari Sang Hamba sirna dari tempatnya dan sekejap muncul tepat di belakang Yhi-yhi yang masih terhempas. Dan secepat itu pula ia menjulurkan lengan kirinya menyambut Yhi-yhi. Berujung dengan saling meluapnya wujud-wujud hitam dari lengan Sang Hamba dan merengkuh raga Yhi-yhi. Membenamkan raga Yhi-yhi dalam pudaran-pudaran hitamnya yang lagi-lagi mencekat tenggorokan Yhi-yhi. Menghalau segenap nafas yang coba dihela oleh Yhi-yhi. “Maka matilah!”
Saat itulah Sang Hamba mengibaskan lengan kirinya teruntuk mengguncang pudaran-pudaran iblis yang merengkuh Yhi-yhi. Berujung dengan terhempasnya Yhi-yhi dan dengan keras membentur suatu karang terjal bersambut rintihnya. Dan kala itulah raga Sang hamba muncul dari ketiadaan tepat di hadapan Yhi-yhi yang segera melancarkan sebuah tendangannya yang dimaksudkan untuk Yhi-yhi. Namun kali ini segera Yhi-yhi menyilangkan kedua lengannya teruntuk membendung derasnya tendangan Sang Hamba. Dan beriring dengan terjangan yang terjadi dari keduanya, saat itu pula sebuah curahan laut yang terhempas oleh Sang angin muncul dalam wujud gelombangnya yang kala itu dengan deras menerjang wilayah karang di mana kini Yhi-yhi dan Sang Hamba saling beradu kekuatan. Memecah gelombangnya dalam sebuah deburan keras yang membahana di penjuru pantai.
“Jangan pernah berharap untuk merebut Bunga Suci dariku!”
Segera sebuah luapan Kesucian dari dalam raga Yhi-yhi bergejolak. Kian kuat yang pada akhirnya tersalurkan dalam sebuah hempasan cahaya yang kala itu mampu menghempas Sang Hamba hingga terpelanting dan tersungkur di antara karang. Karenanya cepat Yhi-yhi melompat dari karang ke karang dan melaju ke arah Sang Hamba yang kala itu berupaya berdiri. Melompati karang-karang terjal lebih cepat lagi sebelum tepat di atas Sang Hamba, dilancarkan olehnya sebuah pukulan keras teruntuk Sang Hamba Delaev yang kala itu tersenyum sinis.
“Menyedihkan!”
Cakap Sang Hamba menyambut pukulan keras Yhi-yhi dengan sebuah cengkeraman erat yang membendung pukulan Yhi-yhi. Membuat seketika itu tatapan Yhi-yhi yang penuh keyakinan berubah menjadi keterkejutannya.
Sesaat keduanya kembali saling beradu kekuatan meski jelas terasa tak seimbang. Berujung dengan mudahnya untuk Hamba Delaev menghempas raga Yhi-yhi hingga terpelanting jauh menyusup di antara karang. Dan saat itulah raga dari Sang Hamba melebur dalam Eiden yang kala itu segera berterbangan menyusuri karang ke arah Yhi-yhi yang berupaya bangkit. Dan sesaat setelah Yhi-yhi berhasil berdiri, secepat itu pula wujud Eiden dari Sang Hamba merasuk paksa dan secara paksa pula menembus raga Yhi-yhi. Menorehkan luka-luka teramat pedih tanpa ada bekas luka yang tertinggal. Memaksa untuk Yhi-yhi untuk mencurahkan rasa pedihnya itu dalam sebuah jeritan. Dan kala itulah wujud Eiden dari Sang Hamba berpadu tepat di balik punggung Yhi-yhi. Membentuk sosok Sang Hamba begitu cepat yang kala itu mencengkeram erat kepala Yhi-yhi. Lebih erat lagi mencengkeramnya hingga jeritan Yhi-yhi tak lagi terbendung. Berujung dengan Sang Hamba yang dengan deras menghempas raga Yhi-yhi ke atas hingga melambung tinggi yang segera disusulnya dengan sebuah lompatan tingginya teruntuk merasuk paksa ke dalam raga Yhi-yhi dalam Eidennya. Bergejolak cukup lama di dalam raga Yhi-yhi hingga oleh perih yang seolah mengiris-iris raganya, jeritan Yhi-yhi kembali pecah. Berakhir pada menembus keluarnya sosok Eiden yang kala itu segera berpadu membentuk Sang Hamba tepat di atas Yhi-yhi. Mencengkeram erat leher Yhi-yhi kemudian sebelum dihempasnya raga Yhi-yhi hingga melesat dan tersungkur membentur karang terjal di bawahnya.
“Kubunuh kau!”
Bersambut teriak kerasnya yang membahana di penjuru daratan karang. Cepat laksana kilat Sang Hamba terbang ke arah Yhi-yhi dengan segenap kegelapan yang tertahan pada kepalan tangannya. Memaksa Yhi-yhi yang telah sedemikian tak berdaya hanya pasrah menanti hadirnya serangan terakhir itu.
Namun sekejap sebuah ledakan ruang dan waktu tercipta. Bersambut dengan berhamburnya puluhan bulu elang hitam dari pusat ledakan beserta luapan hitamnya yang mengejutkan Yhi-yhi. Lebih mengejutkan lagi kala di antara terjatuhnya helaian bulu hitam tersebut mampu pula ia rasakan hadirnya sebuah aura kejahatan yang maha tinggi. Menuntun mata biru Yhi-yhi untuk menyusup menembus hujan bulu elang yang tiada henti berguguran. Hingga dari balik beberapa helainya mampu ia tatap bahwa serangan Sang Hamba terhenti. Tertahan oleh suatu sosok yang muncul dan membendung amarah Sang Hamba. Namun alih-alih Malaikat Penyelamatnya yang membendung pukulan itu, justru adalah Sang Iblis yang selama ini mengincarnyalah dia yang membendung pukulan dari Sang Hamba Delaev.
“Kita mundur sekarang!”
Seketika curahan langit yang telah terbendung sedemikian lama tumpah dalam mahadahsyatnya halilintar yang menyambar membelah langit.
“Tuan!” ucap Sang Hamba kala sebuah jubah hitam dari sosok hitam di hadapannya terbentang menahan serangannya. Sebuah bentang jubah yang mampu mementahkan serangan maha tinggi Sang Hamba.
Sementara di bawah sana Yhi-yhi yang terhenyak tak berdaya hanya mampu berbicara dari tatapan matanya yang penuh tanya. Menuntutkan beribu ketidak mengertiannya atas peristiwa tersebut. Hingga kala itu pula pertanyaan dari tatapan itu disambut oleh tatapan iblis dari dia yang hitam. Dia yang menimbun jutaan hasrat jahat di balik jubah ketatnya yang ia gunakan untuk membendung ancaman Sang Hamba. Tatapan iblis yang seolah dipaksa untuk terlihat menyerupai tatapan Sang malaikat yang telah menyelamatkan hidup seseorang.
“Akhirnya kita berjumpa… Sang Pembawa Bunga!” sapa dia yang memberikan tatapan bagai Malaikat tersebut. Hingga seketika itu amukan Sang Angkasa kembali tercurah dalam gelegar cahaya yang terjatuh dari awan bersambut dengan amukan Sang Samudera yang menerjangkan gelombangnya terhadap hamparan karang. Memicu sebuah deburan keras yang membahana beriring dengan nuansa hujan yang muncul dari pecahnya gelombang oleh para prajurit karang. “Salam… aku Delaev!” seketika itu tubuh dari kedua yang berjubah hitam sirna dalam kelebat jubah hitam Sang Hamba Kegelapan. Berkelebat sedemikian cepat dan sirna menyusup ruang dimensi dan waktu. Menyisakan kini tersungkurnya Yhi-yhi menatap penuh keterkejutan dari kekosongan yang ditinggalkan oleh Sang Hamba Kegelapan dan Sang Hamba Delaev.
“Dia… De… Delaev…”
Seketika usai semuanya tatapan Yhi-yhi mulai buyar. Atau sebenarnya telah mulai buyar semenjak kehadiran Delaev. Berujung pada saling memudarnya semua wujud dari tatapannya. Saling melebur dan buyar sebelum semuanya berakhir dalam kegelapan yang menyambutnya.
***
--Goresan kesembilan--
(KETIDAKSADARAN)
“Bangunlah Yhi-yhi!”
Seketika di antara kegelapan yang menghampar di penjuru ruang waktu yang tak berdasar, sebuah suara yang mengalun damai terdengar. Menggema begitu indah dan tepat berasal dari sosok pria berjubah putih bercahayanya yang termenung di hadapan terkulainya Yhi-yhi yang masih enggan membuka matanya.
“Akhirnya kita berjumpa lagi!”
Kembali suara itu terlantun indah dari dia yang bercahaya. Dia yang berambut hijau dan seketika itu mengguratkan sebuah senyum teruntuk gadis yang kini terkulai dalam ketidaksadarannya.
“Kau telah menjadi gadis yang kuat… dan hal itu membuatku bangga…”
Perlahan direnggutnya pundak Yhi-yhi. Menyalurkan cahaya suci dari tubuhnya teruntuk gadis itu. memberikan kini sebuah sinar terang menyelimuti terpuruknya Yhi-yhi.
“Tetaplah teguh dengan keyakinanmu!... Fantasia telah tak begitu jauh darimu!”
Pria berambut hijau itu melepas renggutannya. Meraba kemudian dahi Yhi-yhi sebelum pada akhirnya cahaya Kesucian dari tubuhnya kian benderang. Lebih terang lagi dan tampak sedemikian syahdu. Menjadikan kini raga si pria mulai samar dalam bentang cahaya kemilau syahdunya seiring Yhi-yhi yang perlahan membuka matanya. Sesaat pria dalam bentang cahaya itu tersenyum teruntuk Yhi-yhi yang perlahan mulai sadar dan termenung menatapnya. Dan kala Yhi-yhi berupaya menggapai wajah si pria, terlebih dahulu cahaya mensirnakan raga si pria. Melebur menjadi lidah-lidah cahaya yang saling berterbangan menyelimuti raga Yhi-yhi.
“Yaiba?” ucap Yhi-yhi dengan segenap tenaganya yang mulai kembali.
Dan saat itulah lidah-lidah cahaya syahdu yang saling menyelubungi raganya mulai saling terpisah. Saling menjulur bagaikan selendang cahaya yang kemudian bergulir menjadi empat sosok pemuda berjubah yang berdiri melayang mengelilinginya dalam ketidaksadaran yang mendekap erat keempat pemudanya.
Siapa kalian?
Di antara empat pemuda bercahaya yang enggan membuka mata mereka itu, Yhi-yhi pun enggan untuk beranjak bangkit. Membiarkan sejenak syahdunya sinar dari keempatnya menyejukkan mata birunya.
Teruntuk menyembuhkan dunia ini,… aku rela berjalan jauh untuk bertemu denganmu pada Fantasia di ujung sana…
Seketika suara hati yang mengalun damai itu mampu tertangkap oleh Yhi-yhi. Membuat seketika itu oleh suara indahnya mata Yhi-yhi tertuntun dan menatap sosok pemuda dengan rambut ungu tegak lurus berlapisnya tersebut. Sebelum perlahan tatapannya tertuntun untuk menatap sosok pria dengan rambut cokelat berlapisnya kala suatu alunan suara hati yang melantunkan nada indah itu terdengar dari lubuk hatinya.
Agar aku termaafkan oleh kegagalan yang telah aku lakukan… kegagalanku yang menyebabkan banyak orang terluka… teruntuk hal itu aku berusaha menemuimu di ujung dunia ini,… teruntuk menebus kegagalanku!
Satu nyawa… untuk keegoisanku itu aku melakukan perjalanan ini… teruntuk menemuimu dan memintamu menghidupkan satu nyawa… satu nyawa saja!
Suatu curahan hati dari seorang yang lain terdengar. Kini tampak berasal dari sosok pria dengan rambut hitam berlapis tipisnya yang terjatuh lurus hampir menyentuh hidungnya. Hingga suara hati yang lain juga terdengar oleh Yhi-yhi.
Bukan tanpa alasan aku datang… meski kedatanganku tak cukup berkaitan denganmu, takdir telah menyatukan kita dalam sebuah rantai Kesucian yang akan membawa kita dalam kemenangnan sejati… kemenangan abadi yang akan mensirnakan jejak-jejak kegelapan.
Oleh suaranya tatapan Yhi-yhi beralih. Lekat kini menatap sosok pemuda berwajah teduhnya dengan rambut hitamnya yang berdiri.
Siapa kalian?
Membiarkan pertanyaan Yhi-yhi terjawab hening, keempat sosok pemuda bercahaya tersebut kini kembali sunyi. Tak lagi menyerukan kata hati mereka yang mengalun damai hingga pada akhirnya seberkas cahaya lain muncul dari kegelapan ruang waktu itu tepat di ujung mata Yhi-yhi. Cahaya syahdu yang perlahan kian mendekati terjatuhnya kini.
“Mereka berempat adalah mereka yang pernah kuceritakan padamu di awal perjalananmu, Yhi-yhi,”
Suara yang lagi-lagi menggema dengan indah itu terlantun dari arah cahaya syahdu yang kian mendekatinya. Hingga perlahan di ujung mata Yhi-yhi, sosok di antara benderang cahaya yang kian mendekat itu mampu tertabgkap sebagai sosok tua berjubah cahayanya.
“Sang Aruah!”
Perlahan langkah dari pria tua bercahaya kian melambat. Lebih lambat lagi sebelum pada akhirnya terhenti di hadapan Yhi-yhi yang kala itu raganya perlahan terangkat naik dan berdiri di hadapan pria tua yang bercahaya.
“Di manakah aku, Sang Aruah?... siapakah mereka berempat ini?” tuntut Yhi-yhi penuh ketidakmengertiannya.
Sesaat Sang Aruah menghela nafas. Membuangnya kemudian dalam desah pelannya sebelum ditatapnya satu demi satu dari keempat pria bercahaya yang kian sunyi dalam keterpurukan mereka. “Kalian semua dalam ruang ketidaksadaran kalian. Dari dalam kegelapan yang memenuhi ketidaksadaran kalian,… masing-masing dari kalian tertuntun untuk sampai dan bertemu denganku. Masing-masing dari kalian kini tengah berhadapan denganku dan menatap masing-masing dari sahabat kalian yang kalian tatap tengah terpuruk dalam ketidaksadaran.”
“Jadi maksud Anda, dari sudut pandang mereka yang kutatap tengah tak sadar diri ini,… masing-masing dari mereka juga menatap keadaanku yang tak sadar diri?”
“Benar…” jawab Sang Aruah membenarkan. “Dan dari sudut pandangku, kalian semua tengah terbaring lemah di antara kegelapan yang tak berdasar ini,” sambungnya.
“Lalu apa maksud dari kedatangan Anda?... siapa pula mereka, Sang Aruah?”
Kembali Sang Aruah membiarkan sesaat hening yang menjawab pertanyaan Yhi-yhi. Sejenak ia berpikir tentang apa yang akan ia ucapkan untuk menjawab pertanyaan Yhi-yhi. “Dengarkan aku!... kau ingat perkataanku yang menyatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh lain yang jua dalam jalan menuju Fantasia… yang keberhasilan mereka tak kalah pentingnya dengan keberhasilanmu?... itulah mereka.”
Seketika itu Yhi-yhi berpaling. Menatap satu per satu keempat pemuda gagah yang mengelilinginya. Menatap mereka dengan tatapan takjupnya.
“Lalu aku mendatangi kalian teruntuk mengatakan bahwa jalan menuju Fantasia telah dekat… telah sedemikian dekat untuk kalian gapai, namun langkah kalian selanjutnya akan ribuan kali lebih lambat dari sebelumnya,”
Seketika oleh suara yang mengalun merdu itu Yhi-yhi terperangah. Sedemikian terheran oleh ucapan dari Sang Penjaga Pertama tersebut. “Apa maksud Anda?”
“Ini semua berkaitan dengan para Invuriu yang terluka… sedemikian terluka oleh pertempuran dahsyat kalian teruntuk menghadapi Sang Hamba Delaev… oleh sebab itu Invuriu kalian ditarik menuju ruang cahaya teruntuk terobati…”
“Lalu seberapa lama?... berapa lama lagi mereka akan kembali pada kami?”
“Entahlah,” jawab Sang Aruah singkat. “Mungkin akan sangat lama… bahkan begitu lama. Oleh sebab itulah aku meminta kalian untuk kian teguh. Karena mulai saat ini perjalanan menuju Fantasia akan sepenuhnya bertumpu pada kaki kalian…”
Saat itulah segenap ruang waktu yang terdominasi oleh gelap sekejap berubah menjadi suatu tempat penuh oleh bentang cahaya menyilaukan yang kala itu menenggelamkan raga mereka di antara pancar cahaya kemilaunya. Membiarkan pertanyaan Yhi-yhi yang belum sempat ia ucapkan kembali ditelannya dalam-dalam.
***
--Goresan kesepuluh--
(LANGKAH YANG KIAN BERAT)
S
ecara samar seberkas sinar mentari yang mampu menyusup di antara dedaunan pepohonan mampu ditangkap oleh Rafstorm. Dalam kesadarannya yang mulai pulih, mampu pula ia sadari bahwa ia tengah terbaring di tengah rimbanya hutan. Dan perlahan ia berupaya bangkit. Merenggut sebuah batang pohon di sebelahnya untuk membantunya berdiri. Menahan segenap tekanan rasa pegal yang terbeban pada tubuhnya. Dan sembari memegangi bahu kirinya yang teramat sakit, ia melangkah. Begitu perlahan menyusuri pepohonan raksasa menuju sebuah aliran sungai jauh di hadapannya. Berusaha lebih cepat lagi kala mampu ditatapnya seseorang berjubah putih yang terhenyak tak berdaya di tepi sungainya. “Revelzent!”
Kian Rafstorm tergesa. Memaksa untuk berlari dan menjatuhkan dirinya di sebelah terjatuhnya Revelzent yang kini disadarinya masih pingsan. “Bangunlah!”
Perlahan Rafstorm mengguncang tubuh Revelzent. Berupaya membangkitkannya dari keterpurukannya. Hingga perlahan mata yang semula tertutup itu mulai terbuka.
“Rafstorm!” panggil Revelzent pelan sembari berupaya berdiri oleh bantuan Rafstorm.
“Kau baik?” tanya Rafstorm sesaat setelah Revelzent berhasil berdiri tegak.
“Kurasa,” balas Revelzent singkat. Perlahan ia mulai menoleh heran ke sekeliling. Menyiratkan tandatanya dalam mata itu. “Kita di mana?... mana Revanze dan Striverz?”
“Itu yang sedang kucari tahu,” balas Rafstorm datar dan juga berpaling menatap ke sekeliling.
Selanjutnya mereka berdua melangkah menyusuri rimbanya hutan. Melangkah penuh ketidakmengertian mereka. Hingga seketika sebuah suara memanggil mereka. Memaksa untuk keduanya berpaling mencari sumber suara yang pada akhirnya mereka temukan di antara pepohonan dan adalah Revanze sang pemilik suara.
“Revanze!” panggil Revelzent pelan teruntuk menyambut lari Revanze yang terhenti di hadapan keduanya.
“Bisa beritahu aku—“
“Kami sedang mencaritahunya,” potong Rafstorm dan Revelzent nyaris bersamaan. Membuat seketika itu Revanze terdiam menatap penuh heran kepada dua sahabatnya ini.
“Baiklah… mungkin masalah kita sekarang adalah di mana Striverz…. Jadi pasti langkah kita selanjutnya adalah mencarinya, benarkan?” ucap Revanze untuk membuatnya tampak tak kehabisan kata-kata.
***
Aku akan segera menghidupkanmu,… tenanglah! Kita akan kembali bersama.
Suara hati seseorang itu terdengar di antara kegelapan pekat yang menghampar tak berujung. Hingga perlahan kegelapannya sirna kala si pemilik suara hati membuka matanya. Suara hati dari seseorang yang duduk bersandar pada sebuah pohon raksasa untuk menyambut datangnya tiupan angin yang membelai pelan rambut hitamnya.
Namun tunggulah! Hingga kisah ini berakhir bahagia… kala keangkaramurkaan telah kami sirnakan. Karena aku tak mau bila kau harus menatap pertarungan kami nantinya. Akan kuhidupkan kau setelah damai singgah.
Kala dirasanya angin telah bersedia mengusaikan hembusannya, perlahan pria itu menundukkan kepalanya. Menatap kosong ke bawah hingga saat itulah sebuah kilatan cahaya yang muncul di balik pepohonan luput dari matanya.
“Jadi… kita berjumpa lagi…”
Suara itu terlantun dan menggema. Dan yang sedemikian mengejutkan adalah kala si pria yang tertunduk itu yakin bahwa itu bukanlah suaranya. Bukan juga suara dari ketiga sahabatnya yang keberadaannya entah di mana kini. Sebuah suara yang nampak tak asing baginya. Hingga hal itu memaksanya untuk sekejap menengadahkan kepalanya dan betapa ia terkejut kala saat itulah tempat di mana ia berada tergantikan. Menjadi sebuah tempat gelap layaknya malam dengan hamparan bongkah-bongkah Kristal biru yang bercahaya sejuk yang tertata tak beratur. Mampu pula ia tatap sebuah telaga di ujung matanya yang jua tak luput oleh lapisan cahaya pada permukaan airnya.
“Setelah selama ini,… akhirnya kita kembali bertemu, Striverz!”
Alunan suara itu kembali terdengar. Yang pada akhirnya menuntun mata Striverz untuk menyusuri Kristal-kristal biru berkilauan untuk menemukan keberadaan si pemilik suara. “Suara itu…”
Hingga akhirnya mata Striverz terhenti. Berpusat pada salah satu Kristal yang paling terang di ujung sana. Tepat berada pada bibir telaga.
“Masihkah mengingatku?”
Sesaat cahaya dari Kristal yang menjadi fokus utama Striverz kian benderang. Hingga dari cahayanya mampu secara perlahan membentuk sosok gadis bercahaya yang perlahan melangkah menuju Striverz yang terpatung oleh keterkejutannya.
“Emilie!...” ucap Striverz nyaris berbisik. Lehernya seolah tercekat oleh sebuah gejolak perasaan aneh yang menari-nari di relung hatinya.
“Benar… ini aku, Striverz. Aku Emilie!” balas gadis bercahaya yang kian mendekati terduduknya Striverz. Berjalan lebih cepat lagi hingga ia terhenti di hadapan Striverz yang enggan berdiri.
“Benarkah kau?...” secepat kedatangan gadis itu Striverz bangkit. Menatap lekat sosok gadis dengan rambut pirang yang jatuh lurus hingga menjuntai ke bahunya. “Benarkah kau Emilieku” ulang Striverz seraya merenggut kedua pundak Sang gadis.
“Iya… ini benar diriku… aku Emilie… Emilie milikmu,”
Sesaat hening mendekap erat keduanya. Membiarkan bentang cahaya dari para Kristal kian menerangi gelapnya tempat itu. Sebelum secara cepat hening yang sebelumnya mendekap erat raga Emilie tergantikan oleh dekapan erat Striverz. Mendekapnya sedemikian erat dalam haru yang ia curahkan. Membiarkan kini dekapan eratnya juga terdekap Sang sunyi berdampingan dengan nuansa syahdu yang dicipta oleh para lilin Kristal.
***
Pada suatu tempat yang cukup jauh dari hutan di mana para Fantasy kini berada, tepat berada di seputar perairan laut yang ganas, di antara beberapa karang yang saling bertumpuk dan terdapat sebuah lubang gelap yang bila disusuri lebih jauh akan kau temukan sebuah goa dengan cahaya dari bertambatnya obor-obor api di setiap sudut goa, seorang gadis bergaun putihnya terbaring tak sadar diri tepat di atas sebuah meja karang. Hingga perlahan gadis tersebut membuka matanya. Menatap penuh heran dengan mata birunya.
“Kau sudah sadar?”
Gadis bermata biru itu terkejut mendengar suara yang tiba-tiba muncul tersebut. Karenanya ia segera berpaling mencari sumber suara yang pada akhirnya ia temukan berasal dari seorang wanita berambut putih panjang dan mata sipitnya yang juga nyaris seputih rambutnya. Seorang wanita yang menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah dinding karang dan hanya membiarkan gadis bermata biru melihat kepalanya.
“Jadi benar… kau adalah dia yang berlari?” tanya wanita berambut putih itu lagi. “Yhi-yhi?...” sambungnya.
Gadis bermata biru itu hanya mengerutkan dahinya. Menjawab pertanyaan dia yang menyembunyikan tubuhnya di balik dinding karang dengan raut herannya. “Be-nar…”
Seketika si wanita berambut putih itu bernafas lega. “Syukurlah… syukurlah aku akhirnya bertemu denganmu,” ucap wanita dengan wajah pucat seperti mayat itu. “Salam, aku Levhina,” sambungnya pelan.
“Aku, Yhi-yhi,” sahut Yhi-yhi dengan matanya yang masih berusaha mencaritahu tentang hal yang tengah terjadi kala ini. “Di mana aku?”
“Kau tak begitu jauh dari tempatmu pingsan… aku menemukanmu dan berusaha mengobatimu,”
Seketika itu ingatan Yhi-yhi melayang. Terbang begitu cepat menyusuri waktu-waktu ketidaksadarannya dan terhenti pada peristiwa saat ia jatuh terhenyak di bawah dua sosok berjubah hitam.
“Kau beruntung Delaev tak membunuhmu!”
“Delaev?” sambar Yhi-yhi terkejut. “Kau tahu Delaev?”
Levhina mengangguk perlahan. “Sang Hamba Kegelapan. Pria busuk yang mengutukku menjadi seperti ini,” sambung Levhina.
“Seperti?...” tanya Yhi-yhi pelan. Tersirat dalam wajahnya suatu ketidak mengertian.
Perlahan Levhina beranjak. Mencoba menjauh dari dinding karang agar raganya mampu ditatap oleh Yhi-yhi. Namun bahkan derap kakinya pun tak terdengar, justru terdengar suara gesekan dua permukaan kasar. “Dia orang yang mengutuk diriku menjadi makhluk menjijikkan seperti sekarang ini,”
Levhina terhenti di hadapan Yhi-yhi yang menatapnya penuh terkejut. Penuh oleh ketidakmengertian yang lagi-lagi melayang-layang di benaknya.
“Kau…” kata Yhi-yhi terkejut. Entah takut atau justru iba melihat wujud dari Levhina yang sesungguhnya.
Wanita itu bertubuh begitu kurus dengan kulit pucat pasinya, memiliki dua lengan panjang yang menjuntai hingga mungkin melebihi lututnya bila ia punya. Setengah tubuh bawahnya bukanlah kaki melainkan separuh dari tubuh ular, atau ikan, atau mungkin belut. Tak sedemikian jelas apa itu yang menjadi setengah dari tubuhnya. Yang pasti berwarna putih pucat dan begitu panjang berkali-kali lebih panjang dari tubuh manusianya. Setiap jemari tangannya berupa semacam cakar-cakar berlendir dengan selaput tipis pada setiap jemarinya.
“Jangan takut, kumohon!” pinta Levhina kala menatap raut wajah Yhi-yhi.
Seketika Yhi-yhi menggeleng. “Aku hanya…” ucapan Yhi-yhi terpotong untuk sesaat menatap wajah Levhina.
“Bertanyalah!” Levhina menanggapi sesuatu yang tersirat dalam tatapan Yhi-yhi.
“Bagaimana bisa?...” ucapan Yhi-yhi kembali terpotong. “Maksudku, kau kenal Delaev sebelumnya?...” sambung Yhi-yhi.
Saat itulah Levhina berpaling. Membiarkan Yhi-yhi menatap punggungnya yang kurus. “Yang pasti dia telah mengutukku, tak peduli bagaimana aku dulu mengenalnya. Dan aku pergi ke tempat ini. Hingga suatu ketika datanglah padaku sosok tua bercahaya yang mengatakan bahwa aku akan dapat dipulihkan sepenuhnya,” Levhina sejenak memalingkan kepalanya ke arah Yhi-yhi. “Katanya dengan meminum darahmu!” sambungnya perlahan di antara taring-taring tajam yang muncul di antara rahangnya.
Menanggapinya, Yhi-yhi hanya terdiam. Menatap penuh damai kepada sosok Levhina yang menampakkan hasrat yang menginginkan darahnya. Sebelum seutas senyum muncul di sudut bibirnya. “Kalau memang demikian…” ucap Yhi-yhi sembari kian tersenyum teruntuk Levhina. “Ambillah darahku!”
Sontak oleh hal tersebut Levhina terperangah. Menatap penuh heran kepada sosok gadis yang tersenyum begitu lembut itu.
***
“Emilie!”
Di antara kegelapan yang terhiasi oleh kilauan cahaya indah dari para Kristal, suara itu menggema. Menuntun untuk terlihatnya sang pencetus suara yang berjalan perlahan menyusuri barisan Kristal dengan seorang gadis bercahaya yang digandengnya.
“Iya,” balas gadis bercahaya tersebut.
“Aku masih belum paham tentang apa yang terjadi… di mana aku?... kenapa aku dapat bertemu denganmu di sini?” pria itu terhenti dan berpaling teruntuk menatap lekat Emilie.
“Striverz, ini adalah perbatasan dunia hidup. Aku dapat bertemu denganmu, mungkin karena Tuhan berbaik hati kepadaku—“
“Tapi itu tak menjelaskan semuanya!” sergah Striverz keras. Namun alih-alih untuk membungkam Emilie, justru kala itu Emilie tersenyum sembari mendekap erat raganya.
“Perlukah alasan?... perlukah ada penjelasan masuk akal tentang semua ini?”
Striverz menghening. Membiarkan pelukan Emilie kian erat tanpa berniat sedikit pun membalas eratnya dekapan itu. “Kupikir harus!”
“Diam!” potong Emilie lembut. “Bukankah semua yang terjadi pada hidupmu setelah kepergianku penuh ketidak masuk akalan?... adakah semua yang kau lalui sebelum sampai pada tempat ini mempunyai penjelasan yang kau pahami?”
Kembali hanya sunyi yang menjawab pertanyaan indah itu. Membiarkan Striverz menundukkan kepalanya menahan segala sesuatu yang berkecamuk pada benaknya.
“Ada apa denganmu, Striverz?... tidakkah kau bahagia bertemu denganku?”
“Itu tidak benar!” sergah Striverz keras. “Aku sangat bahagia berjumpa denganmu. Karena memang untuk bersamamulah aku berjalan sedemikian jauh,” sambungnya pelan sebelum didekapnya raga Emilie yang bercahaya teduh itu. Seteduh cahaya para Kristal.
“Kalau begitu selesai masalahnya,” Emilie melepas dekapannya. “Mari kita lalui masa-masa kebersamaan kita!”
Striverz mengangguk. Menggenggam erat kemudian lengan Emilie untuk menuntunnya menyusuri tempat tak terbatas itu. “Apa saja hal-hal menakjupkan di sini?”
“Itulah yang ingin kucaritahu bersamamu,” balas Emilie dengan senyum lembutnya yang juga dibalas oleh senyum Striverz. Senyum yang mencerminkan kebahagiaan teramat sangat.
***
“Ambilah darahku!... bila dengan demikian kutukanmu sirna—“
“Jangan bergurau!” sergah Levhina keras. “Jangan berlagak sok menjadi pahlawan. Sebenarnya kau takut kan?... kau hanya berpura-pura bersikap tenang,” sambungnya.
Yhi-yhi menghening. Menatap heran ke arah Levhina yang tampak mengerikan oleh taring-taring tajamnya. “Aku tak bermaksud demikian, aku hanya mencoba membantumu.”
“Gadis bodoh!” hardik Levhina sembari memalingkan tatapannya dari Yhi-yhi. “Tapi baiklah,… bila memang mati yang kau kehendaki.”
Seketika Levhina berpaling ke arah Yhi-yhi. Menjalar begitu cepat hingga seketika itu ia terhenti tepat di sebelah Yhi-yhi dengan taring-taring tajamnya yang bersiap mencabik-cabik leher Yhi-yhi. Namun saat itulah Yhi-yhi memejamkan matanya teruntuk mencurahkan Kesuciannya yang kala itu terpancar teduh dari tubuhnya. Membuat seketika itu tubuh Levhina yang terkena cahayanya mulai saling memudarkan warna hitamnya. Berpudar lebih cepat lagi seiring cahaya Kesucian Yhi-yhi mampu merubah sosok Levhina menjadi sesosok gadis yang lebih manusiawi. Berubah wujud seiring sirnanya cahaya dan menjelma menjadi sesosok gadis cantik dengan rambut putih lurusnya yang menjuntai hingga ke bahunya. Tak lagi sekurus dalam wujud kutukannya. Jemarinya pun begitu indah dengan tiadanya selaput maupun lendir layaknya ia sebelum ini. Raga ularnya sirna. Tergantikan oleh sepasang kaki indahnya.
“Kenapa tidak kau hisap darahku saat aku masih pingsan?... kenapa kau harus menolongku?... kenapa harus menungguku sadar untuk kemudian berupaya meminum darahku?”
Sesaat Levhina tersenyum. Masih berdiri di tempat yang sama di sebelah Yhi-yhi. “Apakah kau telah mengetahuinya?”
“Bahwa kau tak benar-benar mengingikan darahku?... bahwa kau hanya membutuhkan Kesucianku untuk mematahkan kutukanmu?” ucap Yhi-yhi pelan. “Sesungguhnya aku baru mengetahuinya saat kutukan itu kupatahkan,” sambungnya.
“Hanya sesaat mematahkan!” sergah Levhina.
“Sesaat?” Yhi-yhi terperangah.
“Iya,” balas Levhina membenarkan. “Sang Aruah yang mendatangiku memintaku untuk berpura-pura menginginkan darahmu. Dia berkata bahwa bila kau dengan senang hati memberikan darahmu padaku, berarti Kesucianmu akan mampu menghentikan kutukanku sesaat. Setidaknya hingga Delaev sirna kutukan itu baru benar-benar terpatahkan,” sambungnya.
“Demikiankah?”
“Iya,” sekali lagi Levhina membenarkan. “Karena hal itu aku akan menemani langkahmu. Menemanimu menuju takdirmu yang akan mensirnakan Delaev.”
Seketika Yhi-yhi terperangah. Memalingkan kemudian wajahnya untuk menatap Levhina yang berada tepat di sebelah wajahnya. “Maksudmu?”
“Itulah yang diminta Sang Aruah,” potong Levhina datar. “Selain itu, aku ingin membalas dendam terhadap Sang Hamba Neraka itu,” sambungnya.
***
Perlahan di antara puluhan pohon raksasa yang saling berdesakan memberikan hijaunya, tiga sosok berjubah putih terlihat berjalan penuh waspada menyusup hutan. Saling dengan tenang melangkahkan kaki mereka di antara semak belukar yang menghadang laju mereka. Hingga di antara langkah waspada mereka itu Revanze terhenti. Menatap penuh fokus ke suatu titik nan jauh di hadapannya.
“Ada apa?” tanya Rafstorm sembari menatap tertegunnya Revanze. Sebelum perlahan tatapannya pun beralih dan menatap fokus utama Revanze.
“Striverz!”
Seketika itu ketiganya berlari sedemikian tergesa menyusuri pepohonan raksasa menuju ke suatu tempat nan jauh di hadapan mereka. Berlari lebih cepat lagi mengabaikan letih yang mencoba menguasai raga mereka. Mengabaikan pula ranting-ranting pepohonan yang sesekali menerjang mereka. Semuanya dilewati oleh ketiganya teruntuk mencapai ujung langkah mereka di mana di sana ma (Dipotong)
Langganan:
Postingan (Atom)