L
angit begitu gelap kala itu. Begitu suram oleh tak kuasanya menahan tangis yang kini dengan derasnya berjatuhan. Saling dengan deras menerjang bebatuan hitam yang melayang di udara tepat di bawah kelabunya awan. Kala itu derasnya air langit saling bercampur baur dengan genangan darah manusia yang membanjiri penjuru bongkahan hitam yang terbebas dari gravitasi.
Begitu banyak mayat manusia yang dengan tragis terbunuh, hancur oleh kuasa jahat yang coba mereka singkirkan. Tak ada satu pun di sana yang masih berdiri dan mencoba melangkah… melangkah menembus sisa-sisa hancurnya suatu bangunan hitam yang menjadi tujuan mereka yang mati di sana. Semuanya mati. Kecuali satu. Satu yang takkan pernah mati. Satu yang terkutuk.
Di antara genangan air yang berpadu dengan darah, Pria itu terbaring… terbaring penuh luka sayatan pedang yang tak pernah usai mengalirkan darahnya. Pria itu terbaring penuh rintihnya, menatap kelabunya langit yang kian deras meneteskan tangis. Merasakan tetes hujan yang bagaikan hujaman ribuan jarum tajam pada raganya yang telah sedemikian pedih. Dahinya berdarah dan tiada henti melumuri mata kirinya dengan darah itu sendiri.
Begitu seenaknya,… begitu seenaknya mereka menjatuhkan hukuman hancur bagi duniaku… begitu seenaknya mereka menuliskan takdir musnah pada buku kehidupan untuk duniaku…
Ingin rasanya ia berteriak, namun keadaan raganya kala itu tak mengizinkannya. Berpaling ia menatap puluhan mayat yang terjatuh tertikam oleh puluhan mata panah. Menatap penuh amarah tatkala mampu ia kenali sosok-sosok yang terbujur kaku dalam hujan.
Padahal sebisa mungkin kami berusaha meniadakan takdir itu… padahal kami telah sejauh ini melangkah, tapi kenapa semuanya berakhir seperti ini?... kenapa tragedi ini muncul kala duniaku begitu damai?... kenapa orang-orang itu muncul… muncul dan mengambil kendali dari buku takdir yang tertambat pada Kahyangan Hitam ini?...
Laksana amukan Setan, halilintar menyambar sedemikian kerasnya, membuat tempat itu sekejap begitu terang, sebelum terangnya kembali hilang.
Begitu entengnya mereka menuliskan takdir musnah pada buku takdir… hanya untuk terwujudnya keegoisan mereka…
Sesaat matanya terpejam, membiarkan mata itu bersembunyi di balik kelopak matanya dari tetes hujan. Mengabaikan semua perih yang ia rasakan.
Kenapa takdir ini begitu pelik?... kenapa hanya aku?... kenapa hanya aku yang ditakdirkan mampu menembus kuasa jahat Kahyangan Hitam?... tapi kenapa pula aku yang ditakdirkan tak akan mampu merobek lembar takdir musnah pada buku takdir?... lalu apa gunanya aku menembus tempat ini bila tak mungkin aku robek lembar takdir?...
Dipaksa raga yang begitu perih itu untuk terduduk. Beriring rintihnya, ia mengangkat raganya dan menatap sebilah pedang yang telah berlumuran darahnya sendiri. Bersandar ia penuh perih pada sebuah batu hitam di belakangnya. Menatap refleksi wajah pada bilah pedang yang kini digenggamnya.
“Kenapa harus aku yang memiliki stigma kutukan ini?... kenapa harus dengan stigma ini aku abadi?... kenapa dengan stigma ini aku tak mampu mengoyak takdir?”
Dialihkan tatapannya. Lekat kini ia menatap bercak hitam pekat yang membentuk Ankh pada punggung telapak tangan kirinya. Menyesali saat dulu dengan entengnya ia menerima stigma untuk merubah hidupnya dari seorang pengemis kecil menjadi seseorang yang lebih ber-uang.
“Lalu setelah perang ini akan berakhir… hanya aku yang tersisa. Hanya aku yang tersisa dan tak mampu meniadakan takdir hitam. Tak mampu mengembalikan kedamaian dunia di bawah sana.”
Perlahan dengan bantuan pedang pada genggamannya, ia berdiri. Terdiam sejenak menatap betapa mengerikannya tempat itu. Amis darah yang begitu menusuk tercium bercampur dengan ledakan emosi pilunya. Terpejam matanya erat, menahan hasrat yang pedih yang berkecamuk pada jiwanya.
“Kurang ajar…” umpatnya kesal.
Cepat ia menatap langit. Membiarkan wajahnya menerima hujaman air langit yang begitu deras. Tak lagi mampu menahan hasrat pedihnya, maka menjerit ia begitu keras. Membahana di segala penjuru beriring dengan kerasnya Guntur menyambar. Keras ia berteriak menyerukan kepiluannya yang begitu tak berdaya.
“Tuhan cabutlah hidupku!... ambil nyawaku saat ini jua! Bila tidak,… setidaknya izinkan aku meniadakan takdir itu!”
Keras ia membanting pedangnya. Terjatuh berlutut seraya mencengkeram rambut biru berlapisnya yang begitu basah oleh hujan. Mendesah ia begitu kesal menunjukkan sirnanya asa.
“Bila tidak… biarkan aku menghapus takdir!”
Pelan diucapkannya kalimat itu. Sekejap matanya menajam merefleksikan hasratnya. Perlahan kembali ia berdiri. Meraih gagang pedangnya dan dengan tertunduk melangkah menembus hujan. Melangkah di antara mayat-mayat yang berlumur darah. Perlahan dan pasti ia melangkah menuju sisa-sisa hancurnya bengunan hitam.
“Apapun yang terjadi,… kan aku sirnakan takdir busuk itu… akan kumusnahkan atau bahkan kugantikan takdirnya.”
Langkah yang mulanya perlahan, kini berubah menjadi larinya. Cepat ia berlari menembus reruntuhan ke arah semacam meja batu di mana di sana tergeletak sebuah buku hitam penuh dengan relief-relief terjalnya. Dihunus pedangnya ke arah buku itu. Terus berlari di antara kian derasnya hujan. Tergesa ia berlari, mencoba untuk secepat mungkin mencapai ujung langkahnya.
“Hentikan, Zurra!”
Sekejap oleh suara itu, dia yang abadi, terhenti. Begitu tercengang saat menyadari adanya sebilah pedang yang kini tepat menahan lehernya. Matanya melirik ke arah bilah kemilaunya yang memantulkan wajah seseorang di belakangnya. Mentap Pria dengan wajah penuh sayatan pedang yang nampak tak asing olehnya.
“Arrezh—“
“Cukup sampai di sini usahamu, Zurra!”
Potong Arrezh pelan. Dari suaranya yang bergetar, terlihat jelas bahwa kini ia begitu tak berdaya.
Sesaat mereka membisu, membiarkan derasnya hujan kian membasahi mereka. Membiarkan keheningan itu saling memberi celah bagi mereka berpikir. Maka terpejam mata Zurra, mengabaikan sosok Arrezh yang kian menekankan pedangnya.
“Dengar!... ada kota dan dunia di bawah sana yang harus dihindarkan dari takdir busuk ini…”
Pelan Zurra melantunkan kalimatnya dengan mata yang enggan ia buka. Membiarkan sejenak Arrezh terdiam penuh konsentrasi.
“Apa peduliku?... dengan sirnanya dunia ini… maka aku dapat hidup bahagia dengan Emely sekali lagi—“
“Jadi kau tetap menjaga harapan itu?...”
Begitu keras Zurra memotong ucapan Arrezh. Sesaat membungkam mulutnya yang terlumuri darah.
“Kau berniat menukar nyawa, dan kedamaian dunia di bawah sana hanya untuk satu nyawa yang telah mati?... hanya untuk mewujudkan keegoisanmu, kau sampai tega menuliskan takdir hitam pada lembar takdir?..”
Maka terbuka begitu lebar kedua belah matanya. Menunjukkan amarah tentang kebodohan dari sahabat lamanya.
“Diamlah!...” sergah Arrezh begitu keras mengimbangi bentak dari Zurra. “Dengan musnahnya dunia ini… selain Emely akan kembali muncul, maka kedamaian pun akan sendirinya datang… aku perlu merubah dunia ini, aku perlu memusnahkan peradaban manusia yang telah begitu kejam di dunia ini…akan aku kembalikan kedamaian dunia ini bersama Emely, itulah tujuan mulia yang tengah aku upayakan—“
“Mulia katamu?” bentak Zurra begitu keras. “Apa menurutmu membunuh, menyiksa, dan menyakiti itu mulia?... apa menurutmu hanya milikmu kebahagiaan di dunia ini?... apa kebahagiaan selain milikmu sama sekali tak berarti?”
Keras di ujung ucapan Zurra, Guntur menyambar. Sesaat membelalakkan kedua mata Arrezh dalam membahananya bentak Zurra.
“Sadarlah dirimu!... apa yang selama ini kau lakukan adalah sebuah kekeliruan… bukan kemuliaan seperti dalam benakmu.”
Kian menekan bilah pedang Arrezh pada leher Zurra usai ia mendengar ucapan yang nampaknya menyinggung jalan pikirnya.
“Dengar… aku tak akan pernah bisa merobek lembar itu. Karenanya sadarlah!... robek lembar hitamnya! Olehmu pasti takdir itu akan—“
“Kau pikir aku akan memusnahkan takdir yang susah payah aku ciptakan?”
Pelan Arrezh memotong ucapan Zurra. Kian ia tekankan bilah pedangnya pada leher Zurra yang nampaknya mulai tersayat. Maka membisu Zurra di antara ancaman Arrezh.
“Maka maafkan aku bila aku membunuhmu serta takdir kejimu—”
“Bisakah kau?” sergah Arrezh memotong ucapan Zurra. Perlahan mulai ia sayatkan bilah pedangnya pada leher Zurra. Membuat darah lain dari tubuh Zurra mengucur.
“Maka matilah!”
Sekejap usai ucapan pelan Zurra, secara mengejutkan saling terhempaslah bentang energi yang begitu kuat beserta desingnya dari tubuh Zurra. Membuat Arrezh yang begitu dekat dengan Zurra terkena dampak begitu kuat. Terhempas ia begitu cepat oleh bentang energinya bersambut dengan terlepasnya bilah pedang yang ia genggam. Terhempas berlawnan arah darinya.
Sejenak usai upayanya Zurra terdiam. Sebelum akhirnya telinganya yang tajam mampu menangkap suara gesekan suatu benda dengan udara yang melesat cepat dari belakangnya. Sigap ia berpaling, tepat waktu untuk menghindari sayatan pedang Arrezh yang dengan cepat kembali ke arahnya oleh adanya rantai-rantai perak yang saling menyambung bagai benang dari gagang pedang hingga ke suatu bagian yang tersembunyi di balik jubah Arrezh.
Cepat Arrezh meraih pedangnya. Cepat pula ia hempas pedang itu ke arah Zurra. Melesat bagai mata panah, pedang itu kepada Zurra. Membuatnya yang segera menyadarinya, merunduk ke belakang layaknya gerakan kayang untuk menghindari tikaman pedang yang saat itu melesat di atas tubuhnya dan tertikam pada tiang batu di belakangnya.
Sadar oleh hal itu, bagaikan terbang Arrezh melompat ke arah Zurra yang masih merunduk ke belakang. Tepat di atasnya, segera ia hujamkan pukulan keras kepada Zurra. Cakap menyadarinya, Zurra menahan derasnya pukulan Arrezh dengan sisi bilah pedangnya. Memicu terbentangnya getaran energi begitu kuat tatkala keduanya berterjangan. Meski demikian, keadaan berpihak pada Arrezh. Seketika Zurra jatuh terkulai tepat di bawah Arrezh. Maka cepat ditarik pedang yang tertikam pada tiang batu. Cepat pula ia berupaya menikam Zurra dari atas. Tak lalai oleh hal itu, menyambut datangnya tikaman, berusahalah Zurra untuk menangkis arah tikaman dengan bilah pedangnya. Cepat usahnya berhasil. Tikaman yang mulanya tertuju tepat ke jantungnya, mampu ia alihkan hingga menikam lantai batu tepat di samping lehernya. Cepat Zurra menerjangkan tendangannya yang dengan telak menghujam perut Arrezh. Menghempasnya begitu jauh ke suatu reruntuhan tiang batu.
Cepat Arrezh berpijak pada kemiringan tiang batu, bertambat ia beberapa saat sebelum ia menghempas raganya cepat ke arah Zurra dengan ancang-ancang untuk menebasnya. Segera Zurra yang menerima ancaman itu, menahan tebasan Arrezh dengan pedangnya begitu kuat.
Saling keduanya berupaya menghempas, sebelum akhirnya keduanyalah yang saling terhempas berlawanan arah. Terhempas begitu cepat hingga membuat Arrezh jatuh tersungkur. Memberi celah bagi Zurra yang telah berdiri tegak untuk dengan keras menikamkan pedangnya ke lantai batu. Maka menyambut upayanya, saling meretak dan berterbangan begitu cepat lantai batu yang segaris dengan Arrezh. Cepat lantai batunya saling meretak, berterbangan ke arah Arrezh selanjutnya.
Cakap menyadarinya, lagi bagaikan terbang Arrezh melompat menembus bongkah-bongkah batu yang terhempas ke arahnya. Saling melompat dari bongkah-bongkah batu ke batu begitu cepat ke arah Zurra. Di tengah upayanya saling mendekati Zurra, lagi dihempasnya bilah pedang yang kala itu melesat menembus bongkah bebatuan ke arah Zurra. Cepat Zurra menebas bilah pedang yang nyaris menikamnya, membuat bilah itu sendiri terhempas jauh ke belakang Zurra. Namun kala pedangnya yang terhempas mampu menerpa suatu tiang batu, terhempas pedangnya kembali ke arah Zurra dari belakang. Sedikit lalai oleh hal itu, terlambat Zurra untuk menghindari lesatan pedang Arrezh, hingga pedangnya mampu menyayat telinga kanan Zurra. Tak terhenti disana, benang rantai yang menghubungkan pedang dengan Arrezh, seketika itu saling melilit leher Zurra. Mencekiknya erat beriring dengan begitu kerasnya halilintar menyambar.
Melompat Arrezh menjauh untuk mempererat cekikan rantainya. Membuat Zurra yang kala itu hampir tak mampu menghela nafas mulai merintih. Namun di antara rintihnya, otaknya berputar dan merencanakan sesuatu yang akan mengakhiri pertarungan.
Cepat diraihnya pedang dari Arrezh yang melilitkan rantainya. Erat kedua tangannya menggenggam sebilah pedang. Cepat ia melompat ke arah Arrezh seraya berputar hingga membuat benang rantai saling melilitnya. Cepat ia terhenyak di hadapan Arrezh dengan tubuhnya yang terlilit rantai. Cepat pula tubuhnya kala itu kembali bergetar membentangkan gelombang energi dalam hancurnya rantai-rantai yang sedemikian melilit raganya. Maka terhempaslah Arrezh yang saat itu pula disusul oleh melesatnya bilah pedang yang dengan cepat menghujam menembus dada Arrezh. Terjatuh ia begitu keras bersimbah darah bersambut dengan maha dahsyatnya guntur menyambar.
“Dengan begitu kau akan bertemu dengan Emely .”
Terpejam mata Zurra tatkala mengucap kalimat itu, bersambut dengan langkah pelannya menghampiri diamnya buku takdir.
Terhenti ia tepat di hadapan buku takdir. Sejenak ragu untuk membukanya. Sesaat ia berpikir tentang hal yang akan ia lakukan, sebelum mulai ia julurkan lengan kanannya.
“Semoga takdir tentang stigmaku hanya—“
Seketika ucapannya terhenti tatkala dirasanya sebilah baja tajam nan dingin menembus dadanya. Begitu pedih saat ditatapnya ujung pedang yang menembus dada itu berlumur darahnya. Sekejap pula wajahnya berubah pucat di antara rintih yang ia lepaskan.
“Setidaknya bila hal ini tak mampu membunuhmu,… paling tidak aku mampu menyiksamu.”
Terdengar ucapan Arrezh begitu bergetar menahan pedihnya.
Terpaku Zurra dalam tertikamnya raganya. Berusaha sekeras mungkin menjerit namun hanya desah pilu yang mapu ia hempas dari mulutnya yang memuntahkan darah.
Kian dalam bilah itu menembus dada Zurra, mengiris mungkin kantung paru-parunya. Membuat jeritan Zurra kini benar-benar terlepas. Akan tetapi di antara tersiksanya raganya, cepat ia menjulurkan lengan kanannya ke arah buku takdir. Di antara nafasnya yang tersisa, ia berusaha menggapai buku takdir.
“Jangan berharap!”
Kian sadis Arrezh mengiris paru-paru Zurra. Membuat sesaat Zurra terjatuh berlutut. Maka kian kejam Arrezh mengoyak dada Zurra.
“Kenapa kau menghalangiku?... bukankah stigmaku ini tanda untukku tak mungkinnya aku meniadakan takdir—“
“Diamlah!...”
Diputar bilah baja yang masih menembus raga Zurra, sekejap membungkamkan mulutnya. Membiarkan sahabat lamanya itu tersiksa olehnya.
Sesaat Zurra memejamkan matanya erat. Menahan pedih yang mengoyak raganya. Tertegun ia mencoba untuk lolos dari siksaan yang kian membuatnya pedih.
“Bila dengan stigma ini aku tak mampu mengoyak takdir…”
Cepat direnggutnya bilah pedang yang telah menembus dadanya. Erat ia menggenggam bilahnya hingga menyayat telapak kanan yang mempererat genggaman. Membuat darahnya mengucur dari sela eratnya genggaman bersambut dengan kian derasnya langit menangis.
“Maka biarkan…” ucap Zurra hampir berbisik. Terpejamlah kedua matanya bersambut dengan kian ia tikamkan bilah pedang yang mengoyak dadanya. Keras ia menjerit dalam tertegunnya Arrezh yang pula telah bersimbah darah.
“Apa yang kau lakukan?”
Heran Arrezh menatapnya. Maka kian ia tikam raga Zurra, membuat pangkal bilahnya benar-benar menempel pada punggung Zurra.
Menahan pedih yang teramat sangat, Zurra perlahan menegakkan tubuhnya bersambut dengan rintih pelannya. Dalam matanya yang terpejam, ia terus berupaya berdiri seraya mempererat bilah pedang yang ia genggam serta menembusnya.
Maka tegak ia berdiri, membiarkan sejenak hening mendekap erat raga mereka. Akan tetapi sekejap hening terusik. Pecah oleh maha dahsyatnya petir menyambar.
“Maka biarkan stigma ini pergi!”
Cepat dijunjungnya lengan kirinya ke atas dalam terpejamnya mata. Sesaat membelalakkan mata Arrezh. Maka bersambut jeritannya, dihujamnya pergelangan tangan kirinya tepat pada bilah pedang hingga cepat darah terpancur dari pergelangan tangannya yang tersayat oleh bilah baja. Mengucur begitu deras hingga membuat jeritan Zurra berubah menjadi pekik pedihnya. Namun kala ia menyadari bahwa pergelangannya belum terpenggal, keras ia sayatkan bilah itu dengan pergelangannya, membuat darah yang bercucuran kian deras darinya bersambut dengan rintih pedihnya.
Sadar oleh apa yang coba Zurra lakukan, sigap Arrezh mencabut tikaman pedangnya terhadap raga Zurra. Namun oleh hal itu, justru membuat terpenggalnya pergelangan kiri Zurra. Keras Zurra merintih seraya menggenggam lengannya yang terpenggal berlumuran darah. Meniadakan stigma kutukan dari raganya.
Sadar oleh betapa buruk hal itu, cepat Arrezh kembali berupaya menikam Zurra. Sadar bahwa dengan tiadanya stigma, maka sirna pula keabadiannya. Namun Zurra yang sigap segera menjulurkan lengan kanannya tepat ke arah buku takdir. Membuat bukunya dengan keras bergetar. Membentangkan gelombang energinya yang maha dahsyat hingga menghempas Arrezh begitu jauh.
Cepat sampul hitamnya terbuka bersambut dengan munculnya bentang cahaya semu ke segala penjuru. Saling terbuka tiada henti halaman demi halaman dengan getaran kuat yang terbentang beserta cahaya semunya.
“Halaman takdir hitam!... terhentilah di sana!” pekik Zurra begitu keras dalam arus energi yang kian menekannya.
Maka merespon pekik Zurra, terhentilah pergantian lembar dari buku takdir. Terhenti tepat pada halaman-halaman terakhir yang kala itu saling bergejolak. Cepat Zurra merenggut lembarnya. Berupaya leras merobek lembar takdirnya. Saling beradu kuat dengan lembarnya yang memberontak. Namun kala itu saling bermunculanlah organisme-organisme hitam layaknya akar yang saling merambati buku takdir. Saling menjalar hingga merambati pula lembar takdir yang kian Zurra tarik. Cepat organisme itu kembali bermunculan dan kali ini saling melilit lengan Zurra.
Mengabaikan tentang akar-akar yang saling menghambat upayanya, kian keras upaya Zurra untuk mengoyak lembarnya, hingga perlahan sudut dari lembarnya mulai tersobek. Kian keras Zurra berupaya mengoyak lembar takdir yang kala itu saling menghitam. Menghitam dan memudarkan asap gelap.
Tak henti Zurra menjerit. Berupaya kian keras merobek lembar hitam yang mulai tercabut. Akan tetapi seketika Zurra merasakan adanya tekanan luar biasa kuat hingga mulai membuat upayanya sia-sia. Terkejut kala ditatapnya bercak-bercak hitam yang mulai bermunculan pada punggung telapak tangan kanannya.
Sadar bahwa bercak itu adalah stigmanya yang kembali muncul, maka kian keras upaya Zurra. Kian ia paksa lengannya yang kala itu begitu pedih dengan tersayat-sayatnya kulitnya oleh pisau takdir yang saling bermunculan tanpa terlihat.
Kian keras ia menjeritkan pedihnya dalam darah yang kian melumuri lengannya. Saling beradu kekuatan dengan lembar takdir.
Namun sadar bahwa nasib dunia tertambat pada pundaknya, Zurra memperkuat upayanya. Beradu cepat dengan stigma kutukan yang mulai memberinya abadi.
Maka dalam upaya terakhirnya, sesaat sebelum saling remuknya lengan Zurra oleh sayatan takdir, lembar hitamnya mampu ia koyak. Mampu ia robek hingga cahaya diseputarnya yang semula semu, kini berubah begitu benderang oleh sirnanya takdir hitam.
Terhempas dan tersungkur Zurra dalam bentang cahayanya. Membiarkan lembar yang terkoyak dan terhempas darinya mulai saling bergejolak di antara benderangnya cahaya.
Cepat dan begitu mengejutkan lembarnya hangus terbakar oleh munculnya kobaran-kobaran api yang kala itu dengan ganasnya saling berterbangan ke arah Zurra yang terjatuh pedih. Cepat kobarannya membelenggu raga Zurra. Saling menjilat dengan ganasnya menyiksa terjatuhnya Zurra. Saling bergejolak kian membara tatkala saling munculnya wajah iblis raksasa dari kobaran api dihadapan Zurra.
“Kau telah manghapus keberadaan takdir… maka Nerakalah tempatmu bersemayam.”
Keras laksana sambaran petir suara itu terdengar. Saling membahana dalam tertegunnya Zurra.
Seketika Sang wajah api membahanakan tawanya. Bersambut dengan petir yang menyambar, terhempaslah Zurra dalam terowongan api yang secara mengejutkan muncul di bawahnya. Dengan tenang ia membiarkan tubuhnya terjatuh begitu cepat melalui lorong api yang saling menjulurkan lidah-lidah apinya kepada Zurra.
“Dengan demikian dunia kan damai… dengan nyawaku sebagai penukarnya, dunia damai…”
Maka cepat melintaslah sekelebatan berjubah hitam dari bawah Zurra, melewatinya begitu cepat. Mengikutinya adalah menembus keluarnya bayangan jiwa Zurra yang tertarik Sang berjubah bagaikan awan virga.
Terus jiwaya tertarik Sang Malaikat Maut dalam terpejamnya mata Zurra. Terhempas seluruh jiwanya, meninggalkan raganya yang dengan keras terjatuh ke Jahanam. Sementara Firdaus telah bersedia menyambut jiwanya.
*****************************************************************
Terlepas dari semuanya, dunia temaram yang ditakdirkan musnah mulai tersinari oleh cahaya dari Kahyangan yang telah benderang. Membuat temaramnya dunia itu tergantikan oleh bentang cahaya yang kala itu mengembalikan damai. Semua jiwa yang tadinya musnah oleh kelamnya perang, kembali terhempas ke dunia itu. Semuanya kembali hidup. Hidup seutuhnya kecuali Zurra. Kecuali mereka yang tadinya menuliskan takdir musnah.
Sontak gegap gempita kebahagiaan mereka yang hidup dalam damai membahana di segala penjuru. Semua wajah tersenyum, melupakan pedih yang dulunya membelenggu mereka.
*******************************************************************
“Damai… dari temaram aku melangkah… tiada lelah maupun januh meniti jalan suram yang pada akhirnya aku temukan damai itu sendiri… membiarkan jiwa yang hidup di dunia sana menikmati damainya… membiarkan jiwa yang telah sedemikian lelah ini beristirahat panjang… selamanya…”
--(Zurra Vloreanth)--
…………….TAMAT…………………