Heaven of Forbidden Dream

Tersebutlah suatu keajaiban yang menghantar manusia ke tempat ini….
Terhempas memasuki dunia penuh cahaya syahdu…
Di mana senyum bahagia menghiasi wajahmu tiada akhir…
Mampu menatap sempurnanya langit dengan uraian awan putih yang kian membuatnya indah…
Suatu tempat dimana kau akan melupakan kepedihan yang kau alami selama di duniamu…

………..-HEAVEN……….
***********************************************************************



Aku pernah terhempas memasuki dunia Kematian… dunia di mana semua orang yang telah mati, terlahir kembali ke dalam dunia Kematian,… menjalani kehidupan mereka menjadi seorang Atnaf dalam dunia yang juga disebut dengan “Forbidden Dream”, sebelum pada akhirnya mereka para Atnaf kembali harus meninggalkan suatu dunia ke dunia lain yakni Akhirat…
Aku mungkin beruntung selepas kepergianku dari Forbidden Dream aku tidak terjatuh ke Akhirat melainkan kembali ke dalam dunia kehidupan melalui gerbang yang disebut kematian sesaat atau mati suri oleh mereka yang masih hidup.
Atau juga mungkin tidak beruntung karena pada akhirnya aku harus kembali terhempas memasuki Forbidden Dream ketika aku mati nanti.
Namun entah apapun itu aku tak lagi peduli. Toh peristiwa itu sudah terjadi begitu lama saat aku berusia 6 tahun, sedangkan kini usiaku telah hampir menyentuh 19 tahun.
***************************
Aku pulang dari kampusku begitu larut malam karena ada beberapa pekerjaan merepotkan yang harusnya bukan menjadi tugas yang harus ku selesaikan. Aku melintasi malam yang begitu gelap hanya dengan berjalan kaki. Enggan rasanya untuk pergi ke halte dan menunggu datangnya bus.
Memperparah keadaan karena awan hitam yang sejak sore menggantung di langit tak lagi menampung air hujannya. Hujan yang begitu deras itu memaksaku mencari suatu tempat untukku terhindar dari derasnya serbuan hujan yang pastinya akan sedemikian membasahkan aku.
“Sial… kenapa harus hujan?...” umpatku penuh kekesalan.
Cepat aku berlari dan berteduh pada salah satu kios yang nampaknya tak lagi berpenghuni.
Nampakmya hujan ini akan sedemikian melarutkan pulangku. Nampaknya apabila keputusanku tadi jatuh pada menanti bus di halte, aku mungkin sudah sampai rumah tanpa harus terkena dampak dari hujan.
Kulirik jam digital pada layar ponselku. Terkejut ketika kini waktu telah mencapai perbatasan hari. Hal itu memaksaku untuk berlari menerobos hujan dan membiarkan seluruh tubuhku basah. Tak masalah karena saat ini aku tak menaruh hal-hal penting yang dapat hancur oleh air dalam tas punggungku. Mungkin hanya beberapa dokumen tugas yang apabila hancur pun aku masih mempunyai file-nya.
********************************
Basah kuyup seluruh tubuhku ketika aku menggapai pintu rumah. Kaget saat melihat adik perempuanku yang berusia 13 tahun masih terjaga di hadapan TV. Perlahan kudekati dia yang nampaknya belum menyadari kehadiranku.
“Melody!... kenapa kau belum juga tidur?”
Nampak kaget oleh suaraku, Melody menoleh terkejut ke arah ku.
“Ah, Kak Viola!, Kakak mengagetkan ku saja…” kata Melody dengan senyum simpul yang sejenak terlihat di sudut bibirnya.
“Maaf!... tapi kenapa kau belum juga tidur? Sudah pukul satu pagi lho”
Melody tersenyum menanggapi perkataanku.
“Selain karena besok libur, aku juga menunggu, Kak Viola…”
“Berarti karena Kakak sekarang sudah sampai di rumah, ayo kita tidur!” ajakku dengan memperlihatkan senyuman lebarku.
“Ya!... setelah, Kak Viola mandi tentunya…”
Ucapan Melody hanya ku balas dengan senyum hangatku. Sebelum kemudian kuputuskan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh adik manisku.
Tak berlalu begitu lama aku kini telah sampai pada kamarku. Nmencoba untuk mulai melupakan rasa penat yang telah membelenggu ku sejak tadi pagi.
Kurebahkan raga ini ke ranjang setelah kumatikan cahaya lampu yang menyala. Mataku menatap ke luar jendela menyaksikan jutaan butir hujan yang rasanya kian deras. Tersenyum sejenak sebelum kubiarkan mata ini terpejam dan telah bersedia untuk menyambut hadirnya MIMPI.
**************************************************************

Terlepas dari terlelapnya Viola, tak begitu jauh dari rumahnya, tepat di seberang jalanan yang begitu gelap, dua orang berjubah cokelat berkerudung mereka berdiri penuh keheningan menyambut derasnya hujan yang kian membasahi raga mereka.
“Akhirnya dia kita temukan…” ucap salah satu dari dua sosok tersebut begitu pelan seiring dengan derasnya hantaman hujan.
Perlahan mereka melangkah mendekati rumah yang kini begitu gelap oleh tiadanya lagi cahaya yang menyala.
Bagaikan terbang keduanya melompat begitu tinggi menerjang derasnya hujan hinggadengan begitu mudahnya wujud mereka mampu menapakkan kaki pada ujung jendela lantai dua di mana kamar Viola berada.
Bagaikan angin keduanya saling berkelebat hingga dengan mudahnya menembus masuk ke dalam kamar Viola. Mendapati heningnya Viola yang terlelap tanpa menyadari adanya dua sosok yang mengawasinya begitu dekat.
“Baiklah… sekarang apa yang harus kita lakukan?...”
Seorang dari keduanya membuka kerudung jubahnya. Menunjukkan rambut merahnya yang berlapis dan terjatuh lurus menutupi keningnya.
“Hanya dia yangt terhempas dari Forbidden Dream dan terhempas ke dunia ini,… menjadikan dia sebagai harapan terakhir kita untuk memusnahkan para Nezz yang telah mengambil alih Forbiden Dream…”
Berbeda dengan pria sebelumnya, ia enggan untuk membuka kerudung jubahynya yang begitu basah. Enggan menampakkan seperti apa sosok wajahnya.
“Lalu bagaimana cara kita membawa gadis ini ke Forbiden Dream?... dengan membunuhnya kah?...”
Di keluarkan oleh pria berambut merah sebuah belati tajam dari balik jubah cokelatnya yang segera dihunusnya ke arah jantung Viola, sebelum upayanya terhalangi oleh dia yang tak memperlihatkan wajahnya.
“Kita tak berhak melakukan hal itu,.. kita tak berhak untuk membunuh manusia di bumi hanya untuk menghempasnya ke Forbiden Dream” kata pria itu tenang. “Lagi pula apabila kita menghgempas gadis ini ke Forbiden Dream dengan jalan pembunuhan, hal tersebut akan berujung dengan terlahirnya dia menjadi pribadi baru dalam Forbiden Dream, tidak akan menjadi pribadi seorang Meredith seperti sosoknya dulu saat ia terlaghir pada Forbiden Dream…” sambungnya dan lagi-lagi begituy pelan.
“Lalu bagaimana cara kita membawanya ke Forbiden Dream?...” tuntut pria berambut merah.
Sejenak keheningan menjamah mereka. Deru angin mulai terdengar dari luar beriringan dengan kian derasnya tetes hujan.
“Mimpi… hantar dia melalui mimpinya mala mini… biarlah dalam mimpinya ia sampai pada Forbiden Dream dan membantu para kesatria untuk mengusir para Nezz atau untuk sebutan dunia ini bernama setan…”
Disentuhlah dahi Viola oleh Pria yang tak menampakkan wajahnya. Sejenak terdiam seraya berkonsenterasi.
Petir menyambar dengan kerasnya di antara derasnya hujan. Cahayanya sekilas mengusir kegelapan kamar Viola.
Dalam tidurnya, Viola mulai tampak gusar. Wajahnya pucat seolah mendapat ancaman dari mimpinya. Keringat mulai saling bermunculan di sekujur tubuh Viola.
“Terbanglah!... terbanglah menuju kematian Wahai Sang Pengembara!...”
Sekejap tubuh kedua Pria itu melebur dalam sekelebatan-sekelebatan cokelat yang kemudian sirna beriringan dengan menyambarnya petir tepat di halaman rumah. Memberikan cahaya terangnya beriringan dengan keresnya ledakan.
**********************************************************
Aku berlari menembus gelapnya malam menjauhi raungan-raungan jahat yang mengejarku. Rasa lelah ini tak lagi ku hiraukan oleh kian dekatnya aku dengan sosok hitam yang mengejarku.
Aku berusaha berteriak mencari pertolongan tapi rasanya suara ini enggan keluar dari ujung tenggorokan. Memaksaku berlari kian cepat.
Sesekali mataku mencoba melirik ke belakang, memastikan apakah sosok hitam tak lagi mengejarku. Namun kenyataannya justru berkata lain. Sosoknya kian dekat tiap kali ku melirik ke belakang. Memaksa langkah ini kian cepat menyusuri dalam kegelapan.
Entah berapa lama lagi langkah ini mampu menghindar dari ancaman itu. Nafasku seolah terlalu cepat keluar masuk dalam paru-paruku yang justru membuatku merasa sakit.
Benar-benar hampir sirna nafas ini,… membuat langkah cepatku perlahahan melambat. Panik aku akhirnya mampu berteriak. Ku tatap sosok hitam yang tak hentinya mengejarku. Ngeri rasanya membayangkan ragaku dimangsa oleh sosok itu.
Enggan menatapnya lebih jauh, kupalingkan wajahku ke depan. Tak cukup cepat untukku menyadari datangnya energi panas yang dengan cepat menerjang ragaku. Seolah saling menyayat tubuhku tanpa bekas luka yang terlihat. Menjeris keras aku sebelum terhempas dan terjatuh. Pasrah menerima apa yang terjadi sebelum mata ini mampu menatap kejadian yang begitu mengejutkan. Saat tiba-tiba tempat di mana aku terjatuh ini saling memudar dalam kegelapannya. Saling melebur menjadi suatu ruang gelap yang tak berdasar.
Secara perlahan raga yang terjatuh ini mulai terangkat naik. Mendekati semacam titik cahaya putih yang kian membesar.
Kutatap penuh tanda tanya cahaya yang kian membesar seiring dengan kian dekatnya aku melayang menuju sumber sinar.
Cahayanya terasa mulai menyilaukan mata dalam kegelapan ini,... memaksaku untuk menghalau cahayanya dengan telapak tanganku. Akan tetapi sedemikian rapatnya aku menghalau sinar yang kian dekat itu, semakin cahayanya menembus masuk ke dalam mataku,... membuatku mulai merasakan lelah yang begitu luar biasa.
Ketika cahayanya begitu terang dan tepat di hadapanku, seolah terbius aku melayang dan meraih cahayanya, hingga terangnya cahaya memenuhi seisi mataku. Membuatku tak menyadari apa pun yang terjadi setelahnya. Aku terpuruk dalam hilangnya kesadaran ini.
****************************************************
Kicau burung dengan indahnya terdengar olehku saat kesadaran ini mulai kembali. Mata ini masih saja terpejam saat seolah dating suatu sorot cahaya yang menerpa wajahku. Kicau burung kian merdu beriring dengan angin yang mendesir membelai raga yang terkulai lemas ini.
Ku izinkan kedua belah mataku terbuka. Kabur pandanganku saat mencoba memahami apa yang terjadi, hanya ada warna hijau kusam yang ada dalam pandanganku yang masih buyar. Ku kejap-kejapkan mata ini, mencoba untuk memperjelas pandangan ini.
Hingga ketika mata ini begitu sempurna untuk melihat, sorot cahaya mentari yang menembus dedaunan pohon sontak menyilaukan mataku. Ku halau sinarnya dengan telapak tanganku. Begitu terkejut saat aku menyadari bahwa aku tengah terkulai di dalam rimbanya hutan berkabut cukup tebal ini.
Saat semuanya jelas, barulah aku sadar tentang rasa sakit yang tergurat di leherku. Nampaknya berdarah ketika aku merabanya. Terasa begitu pedih.
Perlahan ku angkat raga ini untuk terduduk memandangi penjuru hutan yang kian berkabut.
Kembali ku kejapkan mata ini untuk memastikan kebenaran yang ku lihat. Tapi semua ini adalah kebenaran, bukan fatamorgana yang sempat ku pikirkan. Mata ini menyusup menembus kabut yang kian pekat untuk mencoba mencari tahu apakah ada suatu hal dari tempat ini yang aku ketahui. Tapi semuanya nihil, tak ada satu hal pun yang aku kenali di tempat ini. Semuanya begitu asing.
Perlahan aku berupaya berdiri dengan telapak tanganku yang memegangi guratan berdarah di leherku. Menoleh heran ke sekeliling mencoba untuk memastikan sekali lagi kebenaran dari semua ini. Tapi kembali aku menyadari bahwa tempat ini benar sebenar-benarnya.
Melangkah aku ke arah suatu pohon. Entah apakah ada sesuatu yang menarik terdapat di sana. Sejenak terdiam menatap gagahnya pohon pinus di hadapanku. Ku letakkan telapak tangan ini menyentuh kulit kasarnya. Kembali terdiam dan kali ini seolah ada sesuatu perasaan yang membuat ku tersenyum.
Akan tetapi perasaan itu sekejap sirna terganti oleh keterkejutanku. Merinding seluruh raga ini mengalirkan keringat dingin yang kini membasahi raga ini. Wajahku pucat dank u rasakan jantung ini berdegup cepat saat mendadak pohon di hadapanku hancur dalam pudaran hitam yang terhempas dari belakang. Begitu terasa adanya energy jahat yang memandangku dari belakang. Dengan terlingkupi rasa takut ini, perlahan aku menoleh memberanikan diri ke arah energy jahat yang rasanya telah bersiap menerjangkan serangannya.
Terkejut mata ini saat melihat sosok hitam dibalik kabut yang mulai menebal. Sosok hitam yang tak lagi terasa asing. Sosok yang memberi luka pada leherku. Sosok yang telah mengejarku dalam kegelapan hingga membuatku sampai di tempat ini. Sosoknya yang bagaikan naga hitam itu meraung keras hingga aku yang terkejut terjatuh.
Sosoknya melesat menembus kabut ke arahku dengan rahangnya yang terbuka menunjukkan taring-taring tajam yang akan mengoyak raga ini.
Erat mata ini terpejam menahan rasa takut yang begitu kuat dalm diri ini. Pasrah menanti serangan menyakitkan yang akan dating. Akan tetapi nyatanya serangan itu belum juga datang menghampiri ku. Bukankah logikanya untuk serangan secepat itu kini telah menerjangku? Haruskah aku kini merasa lega aku masih hidup? Atau haruskah aku menjerit panik apabila sebenarnya serangan itu begitu cepat menghampiri hingga tak ku sadari diri ini teloah terbunuh?
Wasa-was mata ini ku buka. Mencoba menyadari hal apa yang tengah terjadi. Hingga mata ini begitu terbelalak oleh apa yang ku lihat. Sulit ku sadari bahwa sosok hitam itu kini telah menjadi bangkai hitam yang terkulai bersimbah darah di hadapanku.
“Apa yang terjadi?”
Terdiam ku menatapnya. Heran melihat apa yang kini terjadi. Sebelum sebuah suara mampu terdengar oleh telinga yang begitu tajam di antara kesunyian ini.
“Kau baik Wahai orang asing?”
Sekejap aku menoleh ke arah pria berambut emas yang mengenakan jubah cokelatnya. Sebuah tongkat hitam ada pada genggaman tangan kanannya.
Aku tak segera menjawab. Justru malah terkesan bingung tentang apa yang terjadi.
“Apa yang terjadi?”
Rasanya pria itu justru heran mendengar pertanyaanku. Berhenti beberapa langkah di hadapanku seraya menggaruk kepalanya.
“A… bukankah harusnya aku yang menanyakan hal itu?... apa yang terjadi?”
Heran ia memandangiku. Seolah mencoba mencari sesuatu yang terdapat pada diriku.
“Baiklah terserah!... tapi di mana aku?... tempat apa ini?...”
Mendengar pertanyaanku Sang Rambut Emas terbelalak. Terkejut mungkin mendengar kekonyolan dari pertanyaanku. Ragu ia bersedia menjawab. Matanya bingung seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapnya.
“Ini… ini… Hutan kabut… Dunia ini disebut… a… disebut…”
Ragu ia menjawabnya. Tangan kanan yang memegang tongkat memainkan tongkat itu sendiri.
“Dunia?... dunia apa?... di mana ini?...” sergahku begitu penasaran. Membuatnya cepat menjawab.
“Forbiden Dream...”
Tak asing nampaknya nama itu. Forbidden Dream… seperti begitu akrab di telingaku.
“Apa itu?... apa itu… Forbiden Dream?...” tanyaku perlahan.
“Sungguh kau tak tahu?... benar?...”
Dahinya berkerut. Kubalas pertanyaannya dengan anggukan kepala.
“Surga dari mimpi terlarang… itulah istilah lain untuk dunia ini… dunia di mana Surga pernah menjadi bagian dari tempat ini…”
Bagaikan alunan lagu pria itu menjawab. Entah mengapa setelah mendengar penjelasannya, tubuh ini terasa hangat… seolah memancarjan cahaya yang begitu menyejukkan. Terpejam mata ini seolah merasakan kenyamanan yang begitu luar biasa. Rasanya dalam terpejamnya mata ini, ragaku melayang begitu tinggi dan bercahaya.
“Forbiden….. Dream….?”
Perlahan ku buka mata ini. Dan begitu terkejut bvahwa semua yang ku rasakan benar terjadi. Raga ini melayang di udara dengan cahaya syahdu yang terpancar. Terbelalak mata ini saat meliht ke bawah. Di mana disana telah berkumpul beberapa berjubah mereka yang tertunduk padaku. Perlahan raga ini kembali merendah bersambut dengan sirnanya cahaya.
Ku tapakkan kaki ini lagi pada permukaan tanah. Terdiam membisu aku menatap tertunduknya orang-orang ini.
“Anda telah kembali wahai Sang Meredith!”
Ku tatap pria berambut emas yang menyelamatkanku usai ia mengucapkan kelimat itu. Heran aku mendngarnya.
“Apa?... Meredith?... siapa dia?-“
“Anda!... Meredith adalah anda… bukan Meredith, tapi Sang Meredith…” sergah si rambut emas.
Sontak wajah ini tercengang mendengar ucapannya.
“Tapi… bukan… setahuku namaku adalah Viola… Viola Zhun.”
Bingung hati ini melihat apa yang tengah ku alami saat ini. Ku tatap satu demi satu sosok-sosok yang masih tertunduk kepadaku.
“Viola… adalah nama bumi-mu wahai Sang Meredith…”
Mata ini langsung tertuju pada wanita anggun berjubah cahaya yang muncul dari ketiadaan membelah kabut. Tongkat emas berhiaskan cincin-cincin peraknya adalah apa yang ia genggam saat ini. Berdecik taip kali tongkat itu dihentakkan ke tanah. Sekejap kagum jiwa ini melihat parasnya yang begitu bersahaja. Tertegun aku melihat kedatangannya yang terdampingi oleh dua gadis cilik bergaun kemilau perak.
Terhenti ia beberapa langkah di hadapanku yang menatapnya penuh kagum. Terlebih ketika ia beserta dua gadis pengiringnya merunduk member hormat yang tertuju padaku.
“Hormat kami wahai Sang Meredith…”
Bersahaja ucapan itu terdengar dan terngiang di telingaku.
“Tunggu-tunggu… ada apa ini?... siapa kalian?... kenapa kalian terus memanggilku Meredith?.... aku… hanya tersesat di hutan ini…”
Gusar mulai melanda otakku. Ku tatap lagi satu demi satu mereka yang tertunduk padaku.
“Sang Putih!... tidakkah ini aneh?... kenapa Sang Meredith-“
“Itu semua memang sangat mungkin, Sang Rambut Emas… mungkin saat dia dulu terhempas ke dunia sebelum dunia ini, ingatannya terhapus… atau saat ia kembali memasuki dunia ini, ingatannya terhapus. Ingatan tentang betapa ia berjasanya dulu dengan rekan-rekannya.”
“Sebentar!... sebenaranya apa yang kalian bicarakan?...” tanyaku menuntut.
Sesaat orang-orang ini saling bertatapan mencoba untuk saling berkomunikasi dangan tatapan mereka itu.
“Sang Penghantar!... apakah Sang Penjelajah, dan Sang Pendamping telah membunuh sosok Viola di Bumi untuk menghantarnya ke Forbiden Dream?”
Sekejap Sang Rambut Emas menoleh ke arah pria botak jauh di sampingnya.
“Tidak… tentu tidak… dengan membunuhnya berarti mereka telah mengirim Viola ke Forbiden Drem menjadi pribadi baru… pastinya Sang Penjelajah menghantar Viola melalui gerbang mimpi.”
Sontak tatapanku berpusat kepada pria botak yang dipanggil Sang Penghantar.
“Mimpi?... apakah semua ini mimpi?...” tuntutku begitu ketus.
“Tidak wahai Sang Meredith,… tapi melalui mimpimu-lah kau memasuki Forbidan Dream… tempat ini nyata senyata-nyatanya.”
Merdu suara dari dia yang disebut sebagai Sang Putih. Wanita anggun yang berjubahkan cahaya syahdu.
“Lalu apa semua ini?... apa alasannya aku di sini?... siapa kalian?...”
Sejenak Sang Putih terdiam. Tersenyum hangat ia padaku. Menatap mata ini begitu teduh.
“Kami adalah para Atnaf, Sang Meredith. Sebutan untuk Manusia di duniamu. Dan, tempat ini adalah Forbidem Dream-“
“Ok… aku sudah cukup kerap mendengar nama itu…” hardikku sebal. Sekejap membungkam Sang putih. Merubah raut wajahnya begitu derastis. Sebelum senyum itu kembali tergurat indah di wajahnya.
“Baiklah,… Forbiden Dream kita lewati…” sejenak terhentilah Sang Putih. Mengambil nafas panjang sebelum kembali melanjutkan. “Jauh sebelum kau berada di dunia ini saat ini… dulunya kau pernah terlahir di tempat imi… melewati masa kecilmu bersama Lima tokoh tetua serta Empat anak yang setakdir dengan-mu… kelima tokoh itu adalah mereka yang menyebut diri mereka Heaven… bersama sebelum menemukanmu, maupun keempat anak lainnya, mereka mengabdikan hidup mereka untuk mencari keberadaan dari Kristal Hitam. Karena dengan Kristal Hitam itulah Delaev mampu ditundukkan…”
“Tunggu!...” potongku cepat begitu aku mendengar istilah asing yang muncul di otakku. “Apa itu Delaev?”
“Bukan apa. Siapa?... Delaev adalah dia Sang iblis… iblis yang telah begitu lama membudakkan kami para Atnaf…membudakkan kami untuk melayani kebusukan hatinya… kejam ia dan kaumnya menyiksa kami… oleh hal itulah kelima tokoh Heaven menyadari adanya Kristal Hitam… sebuah Kristal yang menurut legenda mampu meruntuhkan kekuasaan Dela-“
“Lalu berhasilkah mereka?” sadar ia akan terus bercerita tanpa jeda apabila tak aku potong kalimatnya dengan pertanyaanku.
“Tidak…” singkat Sang Putih menjawab. Membuat wajah ini sontak bingung. Tercengang aku mendengarnya.
“Tidak akan bisa mereka menemukannya… hanya mereka temui petunjuk-petunjuk membingungkan tentang ketidak pastian letak dari Kristal Hitam…”
“Lalu?...” potongku penuh Tanya. “Lalu apakah yang mereka lakukan setelahnya?” nampaknya diri ini telah mulai tertarik dengan cerita yang baru kali ini terdengar olehku.
“Mereka terus mencari… mencari tanpa kapastian dengan terus menerus tiada henti. Hingga ditemukanlah oleh mereka suatu fakta… fakta yang mencengangkan mereka… fakta tentang tidak mungkin ditemukannya Kristal Hitam.”
Kian bingung benak ini mendengar apa yang diucapkan Sang Putih. Tak lagi mampu menangkap arah ceritanya.
“Fakta. Fakta tentang hanya dapat ditemukannya Kristal Hitam oleh kelima anak yang terlahir dengan tanda Kristal Hitam pada raga mereka…”
Mulai dapat lagi ku ikuti alur ceritanya. Mulai dapat lagi ku tangkap arah pembicaraannya. Namun enggan mulut ini untuk menyelakan pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan di benakku.
“Maka beralihlah pencarian mereka… maka mulailah mereka mencari ke pelosok Forbiden Drea, untuk menemukan kelima anak yang mempunyai tanda Kristal Hitam. Ditemukannya satu di antara kelima anak pemilik tanda Kristal Hitam yakni dirimu… Sang Meredith. Atau Violet-lah namamu di masa pengembaraanmu bersama keempat anak lain menemukan Kristal Hitam-“
“Lalu apakah dengan demikian keempat anak lain selain aku juga akan kembali pada Forbiden Dream saat ini?” ku sela ceritanya yang begitu membuatku tertegun dengan pertanyaanku.
“Tidak. Mereka tidak akan kembali. Hanya kau yang mampu kembali.”
Memicing mata Sang Putih ke arah ku bersambut dengan terbelalaknya mata ini.
“Tidak?... tapi kena-“
“Karena mereka semua mati. Mati setelah Delaev runtuh. Dan setelah kematian mereka, terhempaslah mereka menuju dunia akhir… berbeda halnya denganmu… oleh apa yang telah mampu terbaca oleh Zun Llatsyrc, maka ia menghempasmu kembali ke dunia sebelum dunia ini sesat sebelum kau wafat dulu…”
“Siapa? Zun Llatsryk?... siapa lagi dia?”
“Zun Llatsyrc, wahai Sang Meredith. Bukan seperti yang baru saja kau sebutkan itu. Ia adalah seorng di antara kalian yang pertama kali menggapai titik dimana Kristal Hitam berada dan bertarung dengan Delaev. Ia pula-lah yang mampu mengubah bongkahan-bongkahan Kristal Hitam menjadi sebilah pedang yang akhirnya mampu meniadakan hidup Sang Delaev…” tutur Sang Puti begitu syahdu.
“Lalu?... lalu untuk apa aku kembali lagi ke tempat ini?... bukankah dengan tiadanya Delaev harusnya mendamaikan dunia ini?... lalu untuk apa aku di sini?...”
“Kedamaian itu semua PALSU!...” pekik Sang Penghantar begitu keras. Membuatku menatapnya dengan bungkam.
“Telah kami rasakan kedamaian itu cukup lama sebelum kedamaian itu sendiri yang menghancurkan tenteramnya Forbiden Dream.”
Maka berdirilah dia Sang Penghantar dengan pekikkan yang sontak menamparkan rasa amarahnya padaku.
“Tenanglah, wahai Sang Penghantar!” ucap Sang putih meredakan amarah dari dia Sang Penghantar.
“Maaf!... tap apa yang kau maksud dengan kedamaian itu sendirilah yang menghancurkan?” tuntutku penuh penuh hasrat ketidak pahaman.
“Kedamaian. Kedamaian menghasilkan suatu ketentraman bagi dunia ini yang pula ketentraman itu sendiri menghasilkan kebahagiaan, kebahagiaan akan menghasilkan hasrat untuk selalu mencintai. Maka cinta, cinta menimbulkan hasrat untuk meraih segala sesuatu yang dicintainya. Maka dari sanalah muncul benci. Dari bencilah kejahatan muncul,… kejahatan yang akan memicu dengan kian kuatnya hasrat kegelapan…” tanpa jeda namun begitu syahdu Sang Putih bercerita. Sejenak membuatku ingin mengutarakan pertanyaan sebelum ternyata ceritanya masih belum berakhir. “Dari kegelapan yang menjadi ujung dari kedamaian itulah masalah dimulai. Dimulai dengan begitu pelik. Hal itulah yang telah mampu dibaca oleh Zun Llatsyrc. Hal yang berakibat pada saling munculnya sosok-sosok Nezz yang saling menjebloskan para Atnaf yang terhasut kebencian ke Neraka. Kini merajalela-lah sosok Nezz ke penjuru Forbiden Dream.”
Sebelumnya kutahan hasrat untuk bertanya ini. Namun kian ku menahannya, kian menggebu pula pertanyaan yang akhirnya tak lagi mampu ku tampung.
“Nezzz?... apa itu?... apa pula hubunganku dengan semua ini?...”
Terdiamlah Sang Putih sebelum mulai menjawab pertanyaan ini.
“Nezz. Adalah sama dengan yang kalian sebut di duniamu dengan nama Setan. Menyesatkan dan menjebloskan orang-orang yang terhasut ke Neraka… dan hubunganmu dengan semua ini begitu kuat… keadaan dimana para Nezz saling merajalela di Foebiden Dream yang menunjukkan kian lemahnya tanda-tanda kebaikan di dunia ini membuat Sang Pencipta memutuskan untuk menjatuhkan hari kehancuran pada Forbiden Dream… yang berarti pula tak memerlukan waktu lama dengan duniamu yang akan mengalami hal yang sama dengan hancurnya Forbiden Dream.” bergetar bibirnya usai ia mengutarakan hal itu, namun suasaranya masih saja terdengar mengalun merdu. Tak menunjukkan kegusaran yang rasanya mengusik hatinya. “Hanya ada satu jalan untuk merubah pemikiran Sang Pencipta. Yakni dengan menunjukkan kebaikan-kebaikan yang harus lagi dimiliki Forbiden Dream,.. dan jalan itu harus dicapai melalui kembali stabilnya Forbiden Dream. Kejahatan, kebencian, maupun kegelapan haruslah tetap ada dan berdiri sejajar dengan kebaikan, cinta, dan cahaya. Dengan demikian maka stabillah dunia ini-“
“Maaf menyela!... tapi lagi aku bertanya. Apa semua ini yang berkaitan dengan ku?”
Melangkah aku mendekati Sang Putih dan terhenti satu langkah di hadapannya. Berharap menemukan jawaban dari pertanyaanku.
“Lagi aku berkata bahwa kau adalah orang yang terhempas kembali ke dunia sebelum ini,.. kau adalah satu di antara lima sang pemilik lambing Kristal Hitam-“
“Dan itu semua tidak menjawab pertanyaanku?...”
Kesal lau aku memotong ucapan Sang Putih dengan pekik kerasku yang sejenak membungkamnya.
“Karena hanya kaulah, Sang Meredith… hanya kau lah yang bisa menstabilkan unsur kehidpan ini… hanya dari sang pemilik tandalah dunia ini akan stabil.”
“Dan… aku… tak… mempunyai… tanda yang KAU MAKSUD!!!...”
Keras kali ini aku menjerit sebelum terjatuh begitu lemas di tanah. Kesal hati ini mendapatkan kisah-kish yang terucap oleh sekumpulan orang yang nampaknya gila.
“Belum!... belum memiliki… tapi akan segera kau miliki begitu kau akan menyadari semua kebenaran yang aku ucapkan.”
Sontak ku tataplah Sang Putih yang tersenyum padaku. Tersenyum dalam rasa heranku saat secara mengejutkan saling bersinarnya punggung telapak tangan kiriku. Ku angkat di hadapan wajahku cahaya yang kian terang dan seolah meninggalkan pola-pola yang tak ku mengerti.
Semua orang atau di dunia ini disebut Atnaf yang sedari tadi diam, kini terbelalak. Menampakkan rasa terkejut mereka, terkecuali Sang Putih yang justru terdiam.
Maka sirnalah cahaya dalam bermunculannya guratan-guratan bilah Kristal hitam yang saling meruncing tak teratur pada punggung telapak tanganku. Terbelalak aku melihatnya. Memaksaku untuk mempercayai dongeng-dongeng yang telah diceritakan oleh Sang Putih.
“Jadi?... bagaimana?”
Menyeringai Sang Rambut Emas kepadaku. Membuatku yang sedari tadi melamun, kini menatapnya dengan rasa tak percaya.
“Kalau sudah sampai sejauh ini dan cerita itu terbukti benar oleh ku,… maka kali ni aku percaya… tapi aku—“
“Takut?... tidak siap?... atau ustru ragu?... itu semua akan sirna dengan berlalunya waktu wahai, Sang Meredith.” ucap Sang Penghantar dengan senyum di ujung ucapannya.
“Baiklah… lalu bagaimana caraku menstabilkan unsur kehidupan yang begitu tak seimbang ini?”
Perlahan ku abaikan tanda Kristal hitam yang muncul dan berdirilah aku tegak. Menatap mata Sang Putih.
“Kristal Hitam… adalah jawaban dari semua ini… Kristal Hitam adalah suatu wujud dari saling mengkristalnya unsure-unsur hidup oleh semacam sihir yang luar biasa. Dengan adanya Kristal itu pada tempat yang tepat, Kristal itu akan dengan sendirinya menstabilkan kehancuran dunia. Diambilnya Kristal Hitam oleh kalian dahulu untuk memperkuat unsure kedamaian membuat dunia ini perlahan menguat dari satu sisi—“
“Jadi maksudnya Kristal Hitam harus dikembalikan ke tempat yang tepat?” potongku cepat. Rasanya memang tak sopan tindakanku ini, tapi aku bukanlah orang atau disini Atnaf yang senang mendengarkan cerita panjang bertele-tele yang mempunyai arti singkat.
“Ya… itulah yang harus kau lakukan untuk menunda kehancuran dunia ini… toh memang akhirnya dunia ini juga akan hancur.” ucap Sang Putih dan masih juga dengan senyum teduhnya.
“Baik… tapi di mana harus aku mengembalikan Kristal Hitam?... di mana pula Kristal Hitam kini bertambat?...”
Sejenak suasana kembali hening. Keheningannya menjamah kami beriring dengan angin yang perlahan berhembus menerpa kami, menyibakkan rambut panjang para Wanita di sini tak terkecuali aku.
“Harus kau ambil Kristal Hitam yang bersemayam di makam Zhun. Dan harus kau stabilkan pula Kristal tersebut sebelum akhirnya harus kau tambatkan pada Mimbar Surya…”
Menoleh Sang Putih ke arah di mana Matahari bersinar. Menunjuk ke aarah di mana Matahari berasal dari semacam gunung tinggi bercahaya teduh jauh di ujung mata.
Maka ku tatap puncak gunung yang sebenarnya bukanlah sebuah gunung, melainkan gundukan batu terjal nan luas yang menjulang tinggi menembus langit dengan puncaknya yang berkilauan indah.
Tertegun kagum aku menatapnya. Kagum mata ini menatap megahnya tempat di mana Matahari bersinggah di malam hari.
“Memang nampaknya tempat ini penuh dengan keganjilan-keganjilan yang sulit diterima nalar olehmu. Matahari yang padam di malam hari dan bertambat di puncak gunung, hingga akan kembali membentangkan sinarnya dari tempat itu pula saat pagi muncul. Membentang dari Mimbar Surya dan mulai secara perlhan mengitari Forbiden Dream. Dan nampaknya masih begitu banyak lagi hal-hal ganjil yang tak mudah kau pahami.” tutur Sang Rambut Emas yang kini juga menatap titik sama dengan yang jua aku tatap.
“Baiklah lupakan!... kita kembali ke makam Zhun!... di mana itu?”
Ku abaikan kini mimbar surya yang tak henti berkilauan. Mata ini sekejap menatap Sang Putih yang juga menyambutku dengan tatapannya.
“Tak perlu begitu jauh untuk mencapai makamnya. Sang Penghantar akan menghantar kita sampai pada makam kalian.”
Tatapan Sang Putih beralih dariku.kini ditatapnya Sang Penghantar yang saat itu pula mengangguk.
“Aku hanya akan menghantar beberapa di antara kita. Atau hanya Aku, Sang Putih, Sang Meredith, dan Sang Rambut Emas. Selain kami silakan melanjutkan hari kalian!”
Ketus dan datar tanpa ekspresi. Itulah caranya berbicara mengatakan kalimat. Terdengar begitu tidak ramah untuk namanya yang bergelar ‘Sang Penghantar’. Apa itu hanya nama?
“Bersiaplah!” pinta Sang Penghantar. Menjulurkan tangannya ke langit dan memejamkan matanya tatkala berkonsenterasi.
Maka kabut yang menyelubungi hutan ini kian menebal. Sebelumnya mata ini begitu ringan untuk menatap menembus kabut., namun kini benar-benar sulit untuk menatapnya lagi. Suasana berubah begitu hening. Angin yang semula menderu kini sirna. Sosok-sosok `gagahnya pepohonan hanya terlihat layaknya bayangan hitam oleh mata.
Aku saling berputar khawatir. Khawatir karena rasanya hanya tinggal aku sendiri dalam pekatnya kabut ini. Ku pandangi bayangan-bayangan hitam dari sosok para Atnaf yang saat ini bagaikan lenyap terkikis oleh sayatan. Kini aku hanya menangkap tiga Atnaf selain diriku di sini. Tentu saja melalui bayangan hitam mereka. Perlahan ku arahkan tatapan ini kepada sosok-sosok hitam pepohonan yang rasanya mulai saling berputar pada porosnya begitu perlahan. Dan bersambut dengan rotasi mereka, perlahan wujud mereka seolah terhisap kedalam tanah yang saat itu pula berubah begitu gersang. Sepertinya. Menyusulnya, tanah terasa mulai saling bergeser. Bergetar dan sebagian jauh di seputar tempat ini terangkat naik begitu tinggi menjadi tebing cokelat di tengah kabut yang mulai menipis. Entah tebing itu yang terangkat naik atau dataran yang aku pijaki ini yang tertarik ke bawah. Yang pasti kini mulai dapat ku lihat dengan jelas bahwa tempat ini begitu gersang dengan dikelilingi tebing-tebing curam yang jua tak luput dari kegersangan.
Saling bermunculanlah di sekitarku gundukan-gundukan tanah yang diikuti dengan munculnya makam-makam tua yang Nampak memilukan hati di antara kian sirnanya kabut.
Maka di tengah rasa terkejutku yang muncul oleh pergantian tempat ini, suatu perasaan asing muncul saat menatap tempat gersang dengan tebing-tebing yang tak kalah gersangnya. Menatap penuh hening aku ke arah makam tua yang ku lihat ada sepuluh. Ya… memang ada sepuluh makam tua dengan guratan-guratan yang membentuk sketsa wajah di setiap nisan.
“Merasakan sesuatu?...” Tanya Sang Putih memecah heningnya diri ini.
“”Entahlah… rasanya ada suatu perasaan yang…” ucapanku terpotong. Mata ini terpejam menyambut datangnya hembusan angin yang membelai ragaku. Merasakan munculnya ingatan-ingatan yang rasanya belum pernah aku alami selama ini. Tentang hal-hal yang berkaitan dengan tempat ini, tentang seseorang yang kurasa dia adalah Zhun. Entah mengapa ada perasaan hangat yang muncul saat melihat kilatan wajahnya.
“Sang Meredith!”
Panggilan bersahaja Sang Putih membuyarkan lamunku. Ku buka mata ini dan mendapati Sang Putih menunjuk ke suatu makam.
Dalam diam aku mulai melangkah. Tepat mengarah pada salah satu makam di mana tertambat suatu pedang berkarat di belakang nisannya. Makam yang semakin ku dekati, membuat semakin pula hati ini hangat. Hangat namun kini diimbuhi pedih yang mulai muncul.
Terhenti langkah ini di hadapan makamnya. Tersenyum lebar seolah mengenang suatu ingatan yang tiba-tiba saja muncul bersambut dengan hembusan angin yang menyibak rambut ini.
“Zhun!” panggilku pelan. Melihat dalam ingatanku saat di mana pria itu tersenyum padaku.
Terjatuh aku dalam posisi berlutut. Menghusap batu nisan Zhun yang mengguratkan sketsa wajah Zhun. Entah mengapa saat itulah perasaan hangat hati ini kembali muncul. Menenteramkan diri ini.
Sebenarnya siapa dia?... siapa dan apa hubungannya denganku?... kenapa perasaanku begitu hangat?... perlukah aku menanyakannya?...
Tersenyum aku kian lebar dalam terpejamnya mata ini. Dalam hangat ini.
“Sang Meredith!”
Suara Sang Putih kembali membuyarkan lamunku. Membuat mata ini terbuka dan kembali menatap nisan Zhun.
“Kenapa?... kenapa kalian tak menyebut nama kalian?... kenapa hanya menyebut… julukan atau apa pun itu?...”
Ku lirikkan mata ini ke arah tiga Atnaf di belakangku. “Tidakkah kalian bernama?... selain julukan kalian?...”
Ketiganya tak segera menjawab pertanyaanku. Saling menatap satu sama lain sebelum membiarkan Sang Putih Menjawabnya.
“Kami bernama, Wahai Sang Meredith. Tapi itu jauh lampau silam. Saat di mana dunia ini masih stabil.” terhenti alunan suaranya sesaat untuk menerawang ke masa lalunya. “Akan tetapi saat semua prahara ini berlangsung, hanya kau dan dia Sang Zhaf-lah yang berhak menyandang nama…”
“Zhaf?...”
Semakin terpicing mata ini menanti jawaban.
“Dia adalah putra dari Delaev yang kini bersemayam di hati busuk para Atnaf.” tutur Sang Rambut emas.
“Bersemayam?... tidakkah dia masih hidup?” tanyaku. Kini bahkan aku palingkan tubuh ini dari makam Zhun.
“Semenjak Delaev runtuh, Sang Zhaf yang menjadi perwujudan kekuatan dari Delaev terbenam dan bersemayam di setiap hati para Atnaf. Dia tidak benar-benar hidup apabila hidup yang kau maksud adalah seperti keadaan kita saat ini. Zhaf adalah wujud dari perpaduan kebusukan Delaev. Karenanya Zhaf adalah disebut putranya.” kembali Sang Putih menerawang. Kosong nampaknya kali ini ia menerawang. Menghela nafas panjang yang segera dibuangnya. “Pada mulanya, saat pertama kalinya kedamaian mendominasi, perwujudan dari Zhaf begitu lemah,… namun pada masa kini,… masa di mana begitu banyak iblis yang bermukim di dalam hati, perwujudannya kian begitu kuat.”
“Lalu pada akhirnya?...”
Ku benamkan kepala ini, menunduk penuh diam di hadapan nisan Zhun.
“Saat pada akhirnya,… kegelapan dan kebusukan hati semua Atnaf mendominasi, maka jiwa iblis Zhaf akan cukup kuat untuk bangkit,… dan ialah yang diramalkan akan meniadakan kehidupan ini…”
Angin berhembus begitu cepat menerpa kami. Cukup lama berhembus sebelum sirna menjadi ketiadaan.
“Lalu apabila dunia ini telah stabil, mungkinkah Zhaf dapat ditiadakan?”
Sesaat deru angin terasa kian kencang dari ketiadaan. Cukup kuat untuk membuat jubah para Atnaf berkelebat dalam heningku.
“Di satu sisi… ya…, di sisi lain ia akan tetap bangkit pada akhirnya.”
Terbelalak mata ini kala mendengarnya. Segera ku tatap Sang Putih usai ia mengucapkan kalimatnya. Sesaat mata kami bertemu.
“Apa… maksudnya?” tanyaku penuh heran. Dahi ini berkerut untuk memprjelas keherananku.
“Pada akhirnya Zhaf akan tetap muncul. Meski keseimbangan dunia berhasil dikembalikan, pada akhirnya Zhaf akan tetap meniadakan hidup ini. Itulah hal yang pasti terjadi.”
Sejenak aku menunduk, mencoba mencerna kata-kata Sang Putih yang nampaknya merujuk pada satu arti yakni ‘Kiamat’. Zhaf akan muncul dan menyesatkan para Atnaf. Tak cukup berbeda dengan munculnya Dajjal yang akan menyesatkan manusia di duniaku.
“Lalu apa yang harus aku la-“
“Hanya kau yang mengetahuinya… hanya kau yang mengetahui cara untuk meraih Kristal Hitam.”
Tegas Sang Penghantar memotong ucapanku. Membuat rasa penasaranku memuncak. Kutatap matanya yang jua menatapku.
“Maksudmu-”
“Kami hanya dapat membantumu sampai di sini. Kaulah yang akan melanjutkannya sendiri saat ini.”
Lagi Sang Penghantar memotong perkataan yang belum sepenuhnya kuucapkan. Membuat mata ini terpicing ke arahnya.
“Itu tidak adil… kalian yang membawaku sampai di tempat ini, tegakah kalian membiarkanku melangkah sendiri?”
Kutatap ketiganya bergantian. Mencoba mendapat jawaban yang melegakan dari mereka. Namun hanya keheningan yang mereka berikan padaku.
“Itu semua jauh di luar kehendak kami wahai Sang Meredith. Karena hanya sampai pada tempat ini kami dapat membantumu.”
Kubuang nafas kecewa ini. Memejamkan mata dan berpaling dari mereka untuk sejenak menghening. Dalam terpejamnya mata ini aku berpikir. Memutar otakku agar dapat mencari jawaban dari masalah ini.
“Maka hanya keajaiban yang mampu membantuku.”
Masih terpejam saat kuucapkan kalimat itu. Menyambutnya adalah hembusan angin yang membelai pelan raga ini. Perlahan kujulurkan tangan kananku ke depan. Mencoba menggapai nisan Zhun. Akan tetapi terkejut saat tangan ini menggapai sesuatu yang lain. Terkejut dalam mata yang terpejam kala sesuatu itu mampu kugenggam erat.
Maka kubuka cepat mata ini. Terkejut oleh apa yang ada dalam genggaman tanganku. Itu adalah gagang dari sebilah pedang yang tertambat di balik nisan Zhun. Tertegun raga ini kala secara mengejutkan mampu kurasa adanya arus energi yang berhembus dari bilahnya.
“Inikah jawabannya?”